Pada 2022, ketika banjir melanda, negara ini juga dihantam ketidakstabilan politik. Perdana Menteri saat itu, Imran Khan, membubarkan parlemen dengan tuduhan konspirasi asing, khususnya dari Amerika Serikat. Ia kemudian diberhentikan melalui mosi tidak percaya.
Proses pemilu yang terjadi setelahnya diwarnai dengan protes, tuduhan korupsi, hingga campur tangan kelompok militan seperti Tehrik-e-Taliban Pakistan.
Tak lama setelah krisis politik, Pakistan mengalami krisis finansial terburuk. Inflasi melonjak, mencapai puncaknya di angka 38 persen secara tahunan. Masyarakat miskin paling terdampak akibat kenaikan harga kebutuhan pokok: harga tepung gandum naik 106,7 persen, ayam 43,1 persen, kacang-kacangan 48,4 persen, beras 87,9 persen, susu 36,4 persen, dan minyak goreng 34,7 persen (April 2023 dibandingkan April 2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam upaya menurunkan defisit perdagangan, pemerintah membatasi impor. Namun, kebijakan ini justru memperburuk krisis.
Industri dalam negeri kesulitan mendapatkan bahan baku, menyebabkan pemutusan hubungan kerja dan kelangkaan barang mulai dari kulkas hingga film sinar-X. Celakanya, sejumlah pejabat pemerintah diberikan kewenangan untuk mencabut larangan impor secara sewenang-wenang, yang justru menekan bisnis kecil dan masyarakat miskin.
Anak muda menjadi kelompok yang paling terdampak, dengan sekitar 4,5 juta pengangguran berusia 15-24 tahun. Kini, Pakistan bergantung pada bailout Dana Moneter Internasional (IMF), yang setiap kali mencairkan dana disertai syarat baru yang memberatkan.
Faktor ketiga-dan yang paling krusial-adalah kebijakan anggaran Pakistan sendiri. Alih-alih meningkatkan belanja sosial, pemerintah terus menambah alokasi untuk sektor pertahanan.
Dalam anggaran terbaru, belanja militer dinaikkan 20 persen menjadi USD 9 miliar, sementara total belanja negara justru dipangkas 7 persen. Belanja pembangunan hanya dialokasikan sebesar 6 persen dari total anggaran. Kebijakan ini mengisyaratkan prioritas negara: drone ketimbang pembangunan.
Terkait perdebatan teknis mengenai kenaikan angka kemiskinan akibat perubahan garis kemiskinan, data tetap menunjukkan tren yang konsisten: kemiskinan meningkat.
Dengan menggunakan garis kemiskinan baru sebesar USD 3 per hari, angka kemiskinan menjadi 16,5 persen, naik dari 4,9 persen pada standar lama USD 2,15. Jika menggunakan garis USD 4,20 (yang sebelumnya USD 3,65), kemiskinan meningkat dari 39,8 persen menjadi 44,7 persen.
Dan karena kemiskinan bersifat multidimensional-meliputi pendidikan, kesehatan, dan standar hidup-Pakistan mencatat kinerja buruk di semua sektor tersebut. Berdasarkan Indeks Kemiskinan Multidimensional (MPI), sekitar 40 persen penduduk Pakistan hidup tanpa akses layak terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan kualitas hidup yang pantas.
Kinerja ekonomi Pakistan selama 50 tahun terakhir tergolong buruk. Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Selatan lain, peningkatan standar hidup di Pakistan berlangsung lambat.
Struktur sistemik seperti salah urus sumber daya, instabilitas politik, dominasi militer dalam kebijakan sipil, serta elite capture membuat Pakistan terus menjauh dari jalur pembangunan berkelanjutan. Kombinasi guncangan iklim, politik, dan ekonomi tidak hanya mendorong lebih banyak orang ke bawah garis kemiskinan, tetapi juga membuat mereka makin sulit bangkit.
Maka meski data resmi menyebut sekitar 45 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, data terkini yang lebih akurat kemungkinan besar akan mengungkap kondisi yang jauh lebih menyedihkan.
(dna)