Jakarta, CNN Indonesia --
Para penduduk desa di Suriah ini tercatat sebagai penutur terakhir bahasa Yesus dalam keyakinan kristiani atau nabi Isa dalam agama Islam.
Sebagian besar penduduk desa Maaloula masih menggunakan bahasa Aram atau Aramaic, bahasa yang diyakini digunakan Yesus atau Nabi Isa. Desa tersebut terletak sekitar 60 kilometer di timur laut Kota Damaskus, Suriah.
Istilah Jesus dalam bahasa Inggris atau Yesus dalam bahasa Indonesia, disebut Isa dalam bahasa Arab, sedangkan dalam bahasa Aram disebut Isho (dialek Suriah timur) atau Yeshua (dialek Suriah bagian Barat/Palestina).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lonceng Gereja Saint George terdengar bergema di lereng berbatu di desa kuno Maaloula pada Minggu April lalu.
Hanya sedikit orang yang tersisa di gereja tersebut, seiring makin surutnya penduduk desa terpencil yang jaraknya 60 kilometer dari Damaskus itu.
Beberapa tetua desa terlihat mengobrol sambil duduk di bangku-bangku yang menghadap ke jendela toko kelontong yang tutup. Tak jauh dari sana, Ryad Wehbi pemilik toko kecil yang menjual barang elektronik, produk kebersihan, dan perlengkapan sekolah, terdengar berbincang dengan seorang pelanggan.
Nada-nada Semit terdengar familier selama percakapan singkat keduanya, namun sulit untuk memahami secara utuh percakapan mereka, termasuk untuk warga Suriah sendiri yang berbahasa Arab.
Ya, Wehbi dan pelanggannya sedang berbicara bahasa Aram, bahasa kuno masyarakat Timur Tengah dan menjadi bahasa populer di masa Yesus atau Nabi Isa masih hidup.
"Kami menggunakan bahasa itu sepanjang waktu, dalam rapat, di toko. Seseorang akan berbicara kepada saya dalam bahasa Arab, dan saya menanggapi dalam bahasa Aram," kata Wehbi dikutip dari newlinesmag.com.
Dalam satu jam, empat atau lima pelanggan mampir ke tokonya. Mayoritas berbicara kepadanya dalam bahasa Aram.
Di desa tersebut, yang sepertiga penduduknya beragama Kristen dan dua pertiganya beragama Islam Sunni, beberapa keluarga telah melestarikan bahasa tersebut sebagai alat komunikasi utama mereka.
Meskipun beberapa Muslim dapat berbicara bahasa Aram, sebagian besar penutur bahasa di Maaloula beragama Kristen. Di rumah tangga Wehbi, bahasa Arab tidak digunakan untuk komunikasi, penggunaannya hanya terbatas untuk interaksi di luar rumah.
"Orang tua dan kakek nenek kami berbicara bahasa Aram, bahasa ini selalu diwariskan dari generasi ke generasi. Maaloula adalah desa yang sangat sulit diakses di masa lalu. Saya berbicara tentang 100 tahun yang lalu. Tidak ada yang pergi, dan hanya sedikit yang datang dari luar. Begitulah cara bahasa tersebut dilestarikan dan warisan tersebut diwariskan," jelas Wehbi.
Bahasa Aram diyakini merupakan salah satu bahasa Semit dan menjadi lingua Franca, bahasa pergaulan di kawasan yang membentang dari Suriah barat daya hingga Mesopotamia Hulu di Turki selatan dan Irak utara.
Dikutip dari biblicalarchaeology.org, selama beberapa abad berikutnya (abad kesepuluh hingga kedelapan SM), jangkauan geografis bahasa Aram terus berkembang. Sebagian besar disebabkan oleh perluasan Kekaisaran Neo-Asyur dari Mesopotamia utara melalui Aram dan ke Levant selatan meliputi Lebanon, Suriah, Yordania, Israel, dan Palestina.
Memang, wilayah Aram berbatasan langsung dengan sebagian besar kekaisaran besar ini; fakta bahwa bahasa ini tidak diambil alih oleh bahasa Akkadia, bahasa pergaulan awal membuktikan penggunaan bahasa ini secara luas dan daya tahannya.
Dan kini Maaloula adalah salah satu dari sedikit tempat di dunia yang penduduknya masih berbicara bahasa yang digunakan Yesus itu sehari-hari.
Mau tahu lebih dalam? Baca di halaman berikutnya...
Kota ini juga merupakan rumah bagi dua biara tertua yang masih aktif di Suriah. Namun, sejak jatuhnya mantan Presiden Bashar Assad dalam serangan pemberontak akhir tahun lalu, beberapa penduduk khawatir masa depan mereka tidak menentu.
Menurut anggota pendiri Masyarakat Studi Suryani yang berbasis di Paris Dominique Gonnet, bahasa Aram yang digunakan warga Maaloula, bukan kelanjutan bahasa Aram kuno di masa Yesus 2000 tahun silam. Namun, bahasa Neo-Aram yang sudah mengalami modernisasi.
"Pada kenyataannya, penduduk setempat berbicara Neo-Aram Barat. Sulit untuk berpikir bahwa ada kesinambungan dengan bahasa yang digunakan Yesus, karena itu adalah dialek yang berkembang setelah zamannya, muncul selama Kerajaan Osroene," jelas Dominique Gonnet, yang juga peneliti bahasa Ibrani dan Aram.
Osroene adalah kerajaan Mesopotamia yang bertahan hingga abad ketiga.
Meskipun bahasanya tidak persis sama dengan yang digunakan Yesus, namun tetap punya kemiripan.
"Jelas bahasa itu (Neo-Aram) adalah bahasa yang paling mirip dengannya (Aram kuno) di dunia modern kita," tegas Gonnet.
Di Maaloula, serta di dua desa tetangga, Jabadeen dan Bakha, bahasa Aram digunakan setiap hari oleh sebagian penduduk.
Hadapi ancaman
Namun yang paling dikhawatirkan bagi warga Maaloula saat ini adalah konflik bersenjata imbas dari keruntuhan rezim Bashir Al Ashad.
Bahkan saat terjadi konflik horisontal imbas "Arab Springs" 15 tahun terakhir, Suriah benar-benar luluh lantak. Harta budaya yang masih hidup ini kini terancam punah.
Pada 2013 misalnya, perebutan wilayah oleh pejuang Front Nusra, cabang Al Qaeda di Suriah saat itu, dan penculikan 12 biarawati dari sebuah biara di desa itu meninggalkan bekas luka dalam di hati masyarakat.
"Semua orang meninggalkan kota itu setidaknya selama sembilan bulan selama pertempuran 2013, ke luar kota ke Damaskus atau Beirut atau ke mana-mana. Tidak ada seorang pun di Maaloula," kenang Wehbi.
Setelah beberapa bulan pertempuran, desa itu akhirnya direbut kembali oleh pasukan pemerintah yang didukung oleh milisi Syiah Lebanon, Hizbullah. Dua belas biarawati itu pun dibebaskan dengan tebusan. Namun bekas lukanya masih terlihat jelas.
Menara masjid yang hancur masih menonjol dari cakrawala kota, bersebelahan dengan gereja-gereja yang terbakar. Banyak rumah masih hancur, pemiliknya tidak pernah kembali.
"Ada banyak kerusakan di mana-mana. Kami perlahan-lahan mencoba membangun kembali, tetapi sudah 11 tahun berlalu, dan masih banyak kerusakan," keluh Wehbi.
Ia berbicara dengan getir dan menyesalkan kerusakan yang dialami desa tersebut selama perang dan berjuang untuk memahami alasan di baliknya, bahkan dengan nada menuduh.
"Hubungan antara warga Sunni dan Kristen telah memburuk. Beberapa warga Sunni memihak kelompok Salafi," katanya.
"Di Maaloula, tidak banyak yang terjadi - kota itu kecil, tidak ada kehadiran tentara, tidak ada yang membenarkan serangan. Namun, beberapa orang memilih untuk bergabung dengan faksi bersenjata - entah itu Tentara Pembebasan Suriah atau Jabhat Al Nusra - dan itulah yang menyebabkan kehancuran Maaloula," ucapnya.
Padahal, kata Wehbi, hubungan warga Kristen-Islam di desanya sudah ratusan tahun terjalin harmonis.
Kini di bawah rezim baru Suriah yang dipimpin Ahmed Al Sharaa, warga desa kecil itu berharap kembali menemukan kedamaian. Pendeta Jalal Ghazal mengatakan, dia sudah berkirim surat kepada pemimpin baru itu.
"Yang harus kita lakukan adalah mencoba mengurangi terjadinya insiden ini," kata Jalal dikutip dari Arabnews.
Sebab tidak ada petugas polisi yang terlihat di kota tersebut baru-baru ini. Semua senjata dan amunisi di kantor polisi Maaloula dijarah dalam kekacauan perayaan setelah jatuhnya Assad.
Perang telah meninggalkan lubang peluru pada simbol dan artefak keagamaan. Lukisan dan mosaik Yesus dan tokoh Kristen lainnya telah rusak. Sekarang penduduk dan pendeta berharap bahwa para pemimpin baru Suriah akan melindungi mereka dan upaya mereka untuk mewariskan tradisi Kristen dan bahasa Aram.
Banyak orang yang telah meninggalkan kota tersebut belum kembali. Pada akhir Desember, beberapa pasukan keamanan datang dari ibu kota selama liburan Natal untuk melindungi orang-orang Kristen yang mendekorasi rumah dan menyalakan pohon di alun-alun kota.
"Mereka tidak tinggal lama. Mereka datang selama dua atau tiga hari lalu pergi," kata Ghazal yang tampak putus asa.
"Namun, suara kami didengar," ujarnya lagi.
Menebar Harapan
Di tengah luka mendalam akibat perang saudara dan perebutan rezim, masih ada suara yang menebar harapan. Pastor Fadi Bargeel dari Gereja Santo Sergius dan Bacchus yakin bahwa bahasa Aram dan penduduk desa Maaloula masih akan bertahan.
Bargeel mengatakan bahwa ia mencoba untuk melihat ke masa depan. Ia ingin mendorong lebih banyak orang, terutama anak-anak, untuk belajar bahasa Aram atau menjadi lebih fasih.
"Saat seorang anak lahir, bahasa Aram akan digunakan di rumah," katanya sambil menyalakan lilin sebelum memeriksa reruntuhan bangunan gereja yang rusak.
"Ketika kami mulai bersekolah sebagai anak-anak, kami tidak tahu bahasa Arab," ia melanjutkan.
Sekarang bahasa tersebut sebagian besar diajarkan di rumah dan digunakan lebih luas oleh generasi yang lebih tua.
Gereja tersebut menghadap ke sisa-sisa hotel mewah yang terbengkalai yang menjadi pangkalan militer de facto bagi pemberontak bersenjata.
Meskipun kota kecil tersebut sebagian besar kosong, penduduk yang tersisa mencoba untuk melanjutkan hidup. Pohon Natal masih berdiri di alun-alun sisa perayaan Desember silam.
Beberapa anak memberi makan anjing dan kucing liar yang berkeliaran di dekat toko roti. Salah seorang warga yang pernah kabur karena ketakutan perang, Thabet, mengatakan dia percaya kepada Tuhan bahwa nasib mereka akan lebih baik.
Dia memiliki keyakinan bahwa para pemimpin baru Suriah akan menjadikan negara itu sebagai negara sipil yang inklusif bagi dirinya dan umat Kristen lainnya.