Lebih dari 80 orang meninggal dunia dalam perang antara suku Druze dengan Arab Badui di Suriah yang pecah beberapa hari terakhir.
Lembaga pemantau Hak Asasi Manusia (HAM) yang berbasis di Inggris, Syrian Observatory Human Right, melaporkan korban itu berasal dari berbagai pihak.
Lihat Juga : |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebanyak 46 anggota Druze, empat warga sipil Sweida (Suwayda), 18 anggota Badui, 14 pasukan keamanan, dan tujuh belum teridentifikasi," demikian laporan lembaga itu, Senin (14/7), seperti dikutip AFP.
Berikut kronologi perang suku Druze dan Arab Badui di Suriah.
Syrian Observatory melaporkan pertempuran suku yang berhaluan Sunni Badui dengan anggota Druze ini pecah pada Minggu (13/7) di selatan Sweida. Bentrok kemudian meluas ke wilayah lain dan berlangsung hingga hari ini.
Menurut lembaga itu, perang kedua pihak bermula setelah anggota Arab Badui menangkap penjual sayur Druze di jalan raya utama yang menghubungkan Sweida dan Damaskus. Insiden ini memicu kemarahan komunitas Druze hingga akhirnya aksi saling culik pun terjadi.
Setelah itu, bentrokan pecah dan tak terkendali. Pasukan keamanan pemerintah Suriah lantas dikerahkan ke lokasi untuk memulihkan ketertiban, namun hal ini dilihat Israel sebagai keberpihakan terhadap suku Badui.
Israel, yang kerap melancarkan serangan dengan dalih untuk mendukung Druze, kemudian terlibat bentrok dengan menyerang tank-tank militer di Suriah selatan. Bagi Israel, Druze merupakan kelompok minoritas yang loyal, yang rela bertugas di militer Zionis.
Druze adalah populasi mayoritas di Sweida, yang menempati wilayah itu hingga 90 persen. Sementara itu, Badui hanya memiliki sekitar tiga persen populasi.
Komunitas Druze memiliki sejarah sendiri dengan Israel. Di masa-masa kepemimpinan Sunni di Yerusalem, komunitas Druze berpihak ke Yahudi dalam perang 1948. Sejak saat itu, tentara Druze bertempur untuk Israel dalam setiap perang Arab-Israel.
Sejak jatuhnya rezim Bashar Al Assad, otoritas Sweida menandatangani perjanjian dengan pemerintah baru Suriah pimpinan Ahmed Al Sharaa, yang isinya membatasi peran pasukan keamanan eksternal sambil menetapkan tujuan jangka panjang untuk mengintegrasikan kaum Druze ke dalam pertahanan negara.
Karenanya, milisi bersenjata Druze seperti Men of Dignity memegang peranan keamanan utama di wilayah tersebut, dikutip dari New Arab.
Sementara itu, Arab Badui menjadi kelompok yang terkucilkan. Orang-orang Badui sering dituduh terlibat dengan kelompok kriminal atau ekstremis.
Bentrok terbaru ini menjadi tantangan bagi pemerintahan sementara Ahmad Al Sharaa yang menggulingkan Al Assad pada Desember 2024. Sejak menguasai Suriah, sederet bentrok terjadi di negara tersebut. Padahal, ia telah bersumpah akan membawa perdamaian ke negara itu.
Pada April lalu, bentrok antara Druze dengan pasukan keamanan juga sempat pecah. Imbas konflik itu, lebih dari 100 orang meninggal.
(blq/bac)