Media sosial memainkan peran kunci. Algoritma menciptakan ruang gema yang memperkuat bias, menjauhkan pengguna dari sudut pandang berbeda. Di negara dengan lebih dari 75 juta pengguna media sosial dan literasi digital yang rendah, informasi emosional lebih cepat menyebar dibanding fakta.
Masyarakat Pakistan, yang cenderung mencari afirmasi ketimbang kebenaran, menjadi sasaran empuk bagi kampanye disinformasi yang dirancang untuk meneguhkan prasangka dan memperkeras polarisasi. Bahkan, lembaga pemeriksa fakta pun dianggap memiliki afiliasi politik, sehingga kepercayaan terhadap informasi objektif melemah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus Muhammad Qasim dari Lahore menunjukkan dimensi baru yang mengkhawatirkan. Lewat teknik deepfake, ia mengklaim mendapat wahyu ilahi dan menyebarkan video yang menggambarkan dirinya sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan.
Video tersebut bahkan menampilkan deepfake Barack Obama yang seolah mendukung klaim Qasim, serta rekaman suara palsu ulama terkenal seperti Mufti Menk dan Zakir Naik.
Narasi apokaliptik dan peran "Islam murni" yang diproyeksikan Pakistan menjadi bagian dari kampanye teologis yang memikat dan berbahaya, terutama bagi generasi muda yang teralienasi.
Dalam lanskap seperti ini, perang melawan ekstremisme kekerasan tak lagi sekadar pertempuran fisik, tapi juga pertarungan narasi dan persepsi. Di Pakistan, disinformasi bukan hanya membuka jalan menuju radikalisasi, tapi juga memperkuat keyakinan radikal yang sudah ada.
Dalam ekosistem yang terbiasa dengan rumor, polarisasi menjadi mata uang sosial utama, dan fakta sering dikalahkan oleh emosi serta afiliasi ideologis.
Disinformasi di Pakistan bukan lagi pengecualian, melainkan gejala dari krisis persepsi kolektif: kebenaran menjadi relatif, dan kepalsuan menjadi norma melalui repetisi.
Pakistan kini berada di persimpangan antara keterpurukan yang lebih dalam atau upaya kolektif membangun masyarakat digital yang tangguh, inklusif, dan melek informasi.
(dna)