Amerika Serikat pernah mencatat dua kasus bunuh diri yang langka atau tak biasa imbas sesak napas karena sumbatan di hidung dan mulut akibat ditutup lakban.
Kementerian Kehakiman AS merilis jurnal ilmu Forensik yang ditulis Stephen Deroux dkk berjudul "Sesak Napas Akibat Sumbatan Hidung dan Mulut dengan Lakban: Dua Kasus Bunuh Diri yang Tak Biasa" pada November 2009.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari jurnal tersebut, salah satu kasus adalah laki-laki berusia 47 tahun yang didiagnosis skizofrenia paranoid dan punya keinginan bunuh diri. Ibunya menemukan dia tewas di ruang bawah tanah rumah mereka.
Saat ditemukan, wajah kondisi laki-laki tersebut tertutup lakban. Lakban ini terpotong-potong dan ditempelkan secara berlapis di bagian hidung dan mulutnya.
Tangan dia juga dalam kondisi terikat di belakang dengan tali tipis. Beberapa catatan bunuh diri ditemukan di tempat kejadian.
Sang ibu lantas bergegas melepas lakban itu dan meminta bantuan orang lain. Untuk menyelidiki lebih lanjut, autopsi pun ditempuh.
Hasilnya, hipertrofi jantung atau otot jantung menebal dan membesar, tak ada bintik merah, dan darahnya mengandung konsentrasi terapeutik difenhidramin, olanzapin, dan lorazepam.
"Kematian dia dikaitkan dengan asfiksia yang disebabkan penyumbatan hidung dan mulutnya dengan lakban," demikian laporan jurnal itu.
Di kasus kedua, laki-laki berusia 52 tahun ditemukan tewas oleh seorang pelayan hotel di kamarnya.
Saat ditemukan, kepala dan wajahnya terbalut rapat lakban. Tak ada ikatan lain. Setelah lakban dilepas saat autopsi, terlihat kulit memucat di area yang dibalut.
Setelah diselidiki lebih lanjut, tak ada bintik merah dalam wajah atau mata, terdapat stenosis arteri koroner dan hipertrofi.
"Kematian disebabkan oleh asfiksia yang disebabkan sumbatan hidung dan mulut dengan lakban," lanjut laporan tersebut.
Salah satu keluarga dari laki-laki kedua itu mengatakan mendiang punya masalah judi dan mengalami depresi.
Dalam laporan statistik AS pada 2022, sebanyak 22,2 persen kasus bunuh diri disebabkan mati lemas.
Berdasarkan laporan sebelumnya, mayoritas asfiksia bunuh diri tanpa gantung diri dilakukan dengan memasang plastik di kepala, demikian dikutip situasi Institusi Kesehatan Nasional AS.
Indonesia belakangan ini juga digegerkan kasus kematian misterius diplomat Kementerian Luar Negeri Indonesia, Arya Daru Pangayunan. Ia ditemukan tak bernyawa di kosan Gondangdia pada 8 Juli dalam kondisi wajah terlilit lakban.
Tim gabungan Ditreskrimum Polda Metro Jaya kemudian memastikan Arya Daru meninggal dunia bukan karena aksi pembunuhan atau tindak pidana. Namun karena mati lemas dan tidak ada peristiwa pidana.
Hal tersebut berdasarkan hasil autopsi forensik dan sejumlah pemeriksaan, seperti histopatologi hingga toksikologi. Termasuk, pemeriksaan psikologi forensik.
"Hasil pemeriksaan tersebut disimpulkan indikator kematian dari ADP mengarah pada indikasi meninggal tanpa keterlibatan pihak lain," kata Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Wira Satya Triputra dalam konferensi pers, Selasa (29/7).
Polisi juga menemukan riwayat pengiriman email dan percakapan ponsel yang pada intinya menjurus pada niatan yang semakin kuat untuk melakukan bunuh diri karena masalah yang dihadapi.
Meski demikian, pihak keluarga meyakini kematian Arya Daru bukan disebabkan bunuh diri.
"Kami meyakini bahwa almarhum tidak seperti itu," kata kakak ipar Arya Daru, Meta Bagus saat ditemui di kediamannya, Banguntapan, Bantul, DIY, Selasa (29/7) petang.
(isa/rds)