Asia Termasuk RI Krisis Lapangan Kerja, Banyak Sarjana Nganggur

CNN Indonesia
Senin, 04 Agu 2025 18:27 WIB
Krisis lapangan kerja terutama di kalangan anak muda semakin mengkhawatirkan di Asia, termasuk Indonesia, sejak awal 2025.
Pengangguran semakin besar di RI dan negara-negara Asia. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Pemerintah Tiongkok telah mengeluarkan subsidi dan insentif untuk perusahaan yang mempekerjakan lulusan baru, namun hasilnya masih belum signifikan.

Sun (21), mahasiswa jurusan Ekonomi di Central University of Finance and Economics di Beijing, mengaku optimistis meski kenyataan pasar kerja menunjukkan tantangan besar.

Ia menyebutkan bahwa banyak lulusan dari kampusnya memilih melanjutkan ke jenjang pascasarjana karena gelar magister kini dianggap sebagai syarat minimum untuk melamar kerja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fakta ini diperkuat oleh laporan Washington Post yang menyebutkan bahwa pendidikan tinggi kini mengalami inflasi nilai, dengan gelar magister menjadi "standar dasar" untuk posisi awal.

Zhang (24), lulusan Central Academy of Drama, bahkan harus memilih untuk terus melanjutkan studi ke jenjang doktor karena sulitnya mencari pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya di bidang seni drama tradisional.

Ia menolak pekerjaan kantoran dengan jam kerja tetap karena merasa tidak cocok dan memilih jalur pendidikan sebagai cara untuk keluar dari tekanan tersebut.

Daniel (21), mahasiswa Ilmu Komputer asal Guangzhou yang kini tinggal di Hong Kong, justru memilih jalur wirausaha.

Setelah merasa tidak cukup "berbakat" untuk bersaing di industri teknologi, ia mendirikan perusahaan perdagangan elektronik bekas dengan bantuan modal dari orang tuanya.

"Universitas tidak akan mengajarkanmu cara cari uang," kata Daniel.

Namun, tidak semua lulusan seberuntung Daniel. Di kota-kota dengan tingkat ekonomi lebih lemah seperti Harbin, lulusan seperti Han (25) harus menunggu lebih dari setahun untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pengurus komunitas, pekerjaan yang tidak sesuai dengan jurusannya di bidang manajemen pariwisata.

Dengan gaji kurang dari US$500 per bulan, ia tetap bertahan karena tinggal bersama orang tuanya dan bekerja di lingkungan sekitar rumah. "Saya ingin kerja baru, masih di Harbin, tapi jelas pekerjaan lain," ujarnya.

Sementara itu, di Indonesia, kondisi serupa juga terjadi.

Dilansir dari The Independent Singapore, jutaan pemuda menghadapi tantangan serupa. Salah satunya adalah Tarismaul "Aris" Pinki (24), lulusan sekolah menengah atas asal Yogyakarta yang kini bekerja sebagai tukang bangunan.

Meski pekerjaan tersebut berat dan dilakukan di bawah terik matahari, Aris lebih memilihnya karena penghasilannya lebih tinggi dari pekerjaan kantoran yang hanya menawarkan sekitar Rp2,5 juta per bulan.

"Kalau kerja lembur maksimal, saya bisa dapat Rp3 juta dalam dua minggu," ujar Aris.

Namun, pilihan Aris bukan karena panggilan hati, melainkan kebutuhan. Ia termasuk dalam sektor tenaga kerja informal yang menyerap 60 persen angkatan kerja di Indonesia, sektor yang dikenal minim perlindungan sosial dan jaminan kerja.

Data tahun 2023 menunjukkan hampir 10 juta pemuda Indonesia (usia 15-24 tahun) tidak bekerja, tidak bersekolah, dan tidak menjalani pelatihan, mewakili lebih dari setengah total pengangguran nasional.

Asep Suryahadi dari SMERU Research Institute memperingatkan bahwa tren ini akan berdampak jangka panjang. "Karena orang bekerja di bawah kapasitasnya, produktivitas jadi lebih rendah dari potensi sebenarnya," ujarnya.

Krisis ini bukan hanya terjadi di Indonesia dan Tiongkok. Di India, tingkat pengangguran pemuda mencapai 45,4 persen menurut Centre for Monitoring Indian Economy pada 2023. Banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak memiliki keterampilan sesuai kebutuhan industri seperti energi terbarukan dan teknologi finansial.

Meski pemerintah di negara-negara Asia telah meluncurkan berbagai inisiatif, mulai dari program magang di India, insentif pajak di Tiongkok, hingga dukungan wirausaha muda, upaya ini belum cukup meredam laju pengangguran.

Sementara itu, pemuda seperti Aris, Daniel, Han, dan jutaan lainnya terus berjuang dalam pasar kerja yang sempit dan tidak pasti. Tanpa perubahan sistemik yang besar, jutaan lulusan S1 berisiko terus terjebak dalam pekerjaan yang jauh dari harapan, bahkan menjadi "kuli" di negeri sendiri.

(zdm/bac)

HALAMAN:
1 2
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER