Rencana Presiden Prabowo Subianto agar Indonesia menampung 2.000 warga Jalur Gaza di Pulau Galang, Kepulauan Riau, dinilai malah memuluskan cita-cita Amerika Serikat demi membantu sekutunya, Israel, lebih leluasa menduduki tanah Palestina.
Salah satu kritikan itu disampaikan oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam diskusi Head to Head bersama CNN Indonesia, Hikmahanto menyampaikan alasan pemerintah menampung ribuan warga Gaza untuk merawat yang terluka dan membutuhkan pengobatan tidaklah tepat.
Sebab, rencana menampung ini sama saja memindahkan warga Palestina keluar kampung halaman dan tanah airnya. Di sisi lain, menurut Hikmahanto, warga Gaza sendiri telah menyatakan tak ingin meninggalkan tanah airnya, meski harus mempertaruhkan nyawa di sana.
Lebih dari itu, Hikmahanto menilai rencana mengevakuasi warga Palestina keluar dari Gaza juga sejalan dengan agenda Israel, yakni menguasai sepenuhnya Jalur Gaza.
"Program Netanyahu ada lima. Salah satunya adalah menguasai Gaza. Bagaimana bisa menguasai Gaza kalau misalnya, menurut mereka, ada Hamas di sana? Maka, dalam salah satu poinnya itu adalah Netanyahu minta agar nantinya ada pemerintahan, tapi pemerintahan itu harus dikeluarkan, Hamas tidak boleh ada di situ, dan otoritas Palestina yang ada sekarang," ucap Hikmahanto, dalam diskusi Head to Head, Kamis (14/8).
Hikmahanto berujar agenda Israel ini padahal sudah banyak dilaporkan oleh media-media asing. Ia lantas curiga bahwa Indonesia sengaja mau menampung warga Gaza sebagai konsensi atas negosiasi dan kesepakatan dengan Amerika Serikat.
"Di media-media yang saya monitor di Israel, bahkan ada teman-teman dari media-media asing menyampaikan pada saya, dan minta komentar pada saya, terkait dengan ada keinginan dari pemerintah Israel berbicara dengan Steve Witkoff, utusan khusus dari Presiden (AS Donald) Trump, yang minta agar mohon difasilitasi negara-negara, termasuk Indonesia, yang akan menerima rakyat Palestina yang ada di Gaza," ucapnya.
"Salah satunya adalah petinggi Mossad, yang namanya David Barnea. Dikatakan di dalam berita bahwa dia sudah bicara dengan Steve Witkoff, dan minta kepada AS memberikan insentif bagi negara-negara yang mau menerima," lanjutnya.
Hikmahanto berasumsi keputusan RI menampung warga Gaza ini bak insentif bagi AS karena akhirnya mau menurunkan pengenaan tarif impor yang semula 32 persen menjadi 19 persen.
Ia menilai penurunan tarif ini bisa dinilai besar oleh Indonesia, padahal juga sama dengan yang didapat Malaysia selaku negara tetangga yang juga pendukung Palestina.
Tapi, Hikmahanto berujuar bedanya Malaysia tidak "menggadaikan kedaulatan".
"Sekarang kita di Indonesia, seolah-olah kita diperintah-perintah. Mana itu kedaulatan? Ini kan jadi permasalahan," ujar Hikmahanto.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam Hasibullah Satrawi. Dalam diskusi yang sama, Hasibullah mengatakan penampungan warga Gaza di Pulau Galang cuma memuluskan rencana Israel untuk menguasai daerah kantong tersebut.
Pemerintah Indonesia sempat menyatakan bahwa warga Gaza hanya akan dirawat di RI dan akan dipulangkan begitu sudah sehat. Meski begitu, tak ada jaminan bahwa warga Gaza bisa benar-benar kembali ke tanah air mereka, jika mengingat kembali peristiwa Nakba.
"Apa jaminannya? Kalau tanahnya sudah dibangun dan dikuasai oleh mereka, mau kembali kemana?" ucap Hasibullah.
"Jangan lupa, kita memiliki pengalaman Nakba I. Di mana penderitaan besar 1948, lalu warga Palestina keluar meninggalkan tanahnya. Ada yang ke Mesir, ada yang ke Jordan, ada yang ke Lebanon, dan tempat-tempat lain. Sampai sekarang mereka tidak bisa kembali ke tanahnya," lanjutnya.
Hasibullah pun berpesan kepada pemerintah RI untuk "tidak polos" menuruti begitu saja permintaan maupun bujukan pihak lain.
Menurutnya, menolak warga Gaza dibawa ke RI bukan artinya Indonesia tidak ingin membantu Gaza. Melainkan, ini adalah sikap RI menegaskan kedaulatan Palestina atas tanahnya.