Sementara David Graeber dalam Fragments of an Anarchist Anthropology menegaskan bahwa anarkisme pada dasarnya berarti "tanpa penguasa" (without rulers).
Prinsipnya adalah kesepakatan sukarela, bantuan timbal balik, organisasi mandiri, dan demokrasi langsung. Graeber menolak anggapan bahwa anarkisme hanya kerusuhan atau "chaos", tetapi ia melihatnya sebagai etika praktik revolusioner yang menolak segala bentuk kekerasan struktural dan dominasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mencontohkan bagaimana komunitas adat di Madagaskar bisa mengatur kehidupan sosial tanpa negara, serta jaringan global perlawanan terhadap utang internasional dan lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia yang bekerja secara horizontal dan berbasis solidaritas.
Jadi yang dimaksud Graeber adalah anarkisme bukan berarti chaos atau kekacauan, melainkan bisa dilihat dalam praktik masyarakat yang mampu mengatur dirinya tanpa negara, atau dalam gerakan global yang bekerja tanpa struktur kekuasaan formal tapi tetap solid dan terkoordinasi.
Secara historis, anarkisme muncul sebagai bagian dari gerakan kelompok anarko dari pekerja abad ke-19. Mereka dengan tegas menentang eksploitasi dan negara otoriter.
Di banyak tempat, anarkisme kelompok itu diwujudkan dalam aksi kolektif, serikat buruh, hingga komunitas yang mengedepankan kesetaraan.
Dengan demikian, ketika Kapolri melabel sejumlah demonstrasi di Indonesia sebagai "anarkis", istilah itu lebih merujuk pada tindakan kekerasan atau pelanggaran hukum dalam unjuk rasa.
Padahal, dalam tradisi pemikiran politik, anarkisme memiliki makna jauh lebih kompleks, bukan identik kerusuhan, melainkan cita-cita tentang masyarakat tanpa dominasi dan penuh solidaritas.
(zdm/bac)