Kasus Pencemaran Sungai Kafue Seret Nama Perusahaan Tambang China

CNN Indonesia
Sabtu, 13 Sep 2025 04:58 WIB
Zambia terancam risiko kesehatan usai Sungai Kafue di negara itu diduga tercemar limbah beracun.
Ilustrasi. Foto: Istockphoto/Mantaphoto
Jakarta, CNN Indonesia --

Lebih dari 60 persen penduduk Zambia kini terancam risiko kesehatan dan lingkungan serius setelah sebuah perusahaan tambang asal China diduga menutup-nutupi salah satu bencana pencemaran terburuk dalam sejarah negara itu.

Pada Februari 2025, Sino Metals Leach Zambia Limited, anak usaha dari perusahaan milik negara China Nonferrous Metal Mining Group, melepaskan 1,5 juta ton limbah beracun ke Sungai Kafue. Jumlah tersebut, menurut temuan investigasi, 30 kali lebih besar dibanding laporan awal perusahaan.

Tumpahan itu disebut meracuni sungai yang menjadi sumber air, listrik, dan mata pencaharian bagi jutaan warga. Aktivis lingkungan Chilekwa Mumba menyebut peristiwa ini sebagai "bencana lingkungan dengan konsekuensi yang sangat menghancurkan," sementara Menteri Lingkungan Zambia Collins Nzovu mengakui tragedi itu seharusnya dapat dicegah jika prosedur keselamatan dijalankan dengan benar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Investigasi oleh perusahaan Afrika Selatan, Drizit, menemukan kadar berbahaya sianida, arsenik, timbal, kadmium, kromium, tembaga, dan seng dari 3.500 sampel air.

Enam belas dari 24 jenis logam berat yang diuji melebihi ambang batas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Para peneliti memperingatkan dampak kesehatan jangka panjang, termasuk kerusakan organ, kanker, hingga cacat lahir.

Kontaminasi menyebar hingga 100 kilometer ke hilir, mengganggu pasokan air di Kitwe dan membuat 700 ribu orang berisiko terdampak.

"Sungai ini dulunya penuh kehidupan. Sekarang semuanya mati-dalam semalam, sungai ini mati," ucap seorang warga lokal, Sean Cornelius.

Kelompok masyarakat sipil menuding bencana ini sebagai bukti nyata kelalaian korporasi. Koalisi Keadilan Lingkungan Zambia mendesak perusahaan terlibat diproses hukum.

"Warga menyaksikan mata pencaharian mereka hancur, sementara pihak yang bertanggung jawab masih bebas beroperasi," kata Raymond Mutale dari Transparency International Zambia.

Kemarahan publik semakin memuncak setelah terungkap tambang lain milik China melaporkan kebocoran serupa beberapa hari kemudian, dan lagi-lagi disertai upaya menutupinya.

Para korban kini menuntut kompensasi sebesar USD420 juta, sementara gugatan hukum tengah dipersiapkan. Amerika Serikat dan Finlandia bahkan mengimbau warganya meninggalkan wilayah terdampak, menegaskan betapa seriusnya situasi.

Pemimpin masyarakat sipil juga menuntut transparansi penuh atas laporan investigasi.

"Kurangnya keterbukaan ini adalah pengkhianatan terhadap rakyat. Mereka yang bertanggung jawab harus diadili," ujar Solomon Ngoma dari Acton Institute di Zambia.

Tragedi Sungai Kafue ini bukan sekadar bencana lingkungan, tetapi juga krisis tata kelola. Selama ini, perusahaan tambang asing dituding beroperasi tanpa memperhatikan keselamatan, hak pekerja, maupun standar lingkungan. Kini, rakyat Zambia menuntut akuntabilitas, kompensasi, dan reformasi sistemik agar pengkhianatan semacam ini tidak terulang.

(dna)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER