Genosida terhadap warga sipil Maya di Guatemala, yang sering disebut sebagai Holocaust Senyap. Tindakan itu mencakup pembunuhan sistematis dan kekejaman yang dilakukan selama perang saudara Guatemala dari tahun 1960 hingga 1996.
Periode tragis ini ditandai oleh keyakinan militer Guatemala bahwa komunitas Maya menyembunyikan pejuang gerilya, yang mengakibatkan penghancuran lebih dari 600 desa dan kematian lebih dari 200.000 orang, yang sebagian besar adalah warga sipil Maya yang tidak bersenjata.
Genosida tersebut semakin intensif di bawah kepemimpinan Jenderal Efraín Ríos Montt pada awal 1980-an, yang menerapkan kebijakan bumi hangus yang bertujuan untuk membasmi penduduk asli Maya. Jenderal Efrain Rios sendiri adalah sekutu dekat Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencari keadilan bagi mereka yang bertanggung jawab atas genosida Guatemala. Pada November 1998, tiga mantan anggota patroli sipil-warga sipil yang membantu militer-diadili atas tuduhan genosida.
Mereka, bersama 42 orang lainnya, membunuh 77 perempuan dan 107 anak-anak. Para petugas patroli sipil tersebut dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati. Ini merupakan kasus pidana pertama yang muncul akibat genosida tersebut.
Pada bulan September 2009, mantan komandan militer Felipe Cusanero Coj menjadi orang pertama yang dihukum karena penghilangan paksa selama perang saudara.
Cusanero dinyatakan bersalah atas penghilangan enam petani dan dijatuhi hukuman 150 tahun penjara (25 tahun per orang). Bahkan setelah dinyatakan bersalah, Cusanero menolak memberikan detail keberadaan mereka kepada keluarga korban, demikian dikutip dari ebsco.com.
Lihat Juga : |
Kamboja adalah negara di Asia Tenggara yang mengalami genosida akibat perang saudara. Pada April 1975 pasukan Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot berbaris menuju Phnom Penh dan memulai revolusi sosial mereka. Atas nama Angkar (Organisasi Tinggi), Khmer Merah memasuki kota-kota, memaksa semua penduduk meninggalkan rumah mereka dan mengungsi ke pedesaan.
Para kader melakukan eksekusi mati tanpa pengadilan terhadap semua mantan penentang Khmer Merah dan mereka yang dianggap memusuhi rezim. Khmer Merah mengklaim bahwa mereka "memurnikan" seluruh penduduk dengan memindahkan mereka ke pedesaan untuk mencapai "Lompatan Jauh ke Depan" dan menjadikan semua orang Kamboja sebagai petani.
Pol Pot dan Khmer Merah berupaya mentransformasi Kamboja secara sosial dengan mengubah suprastruktur ideologis, institusi, dan sistem politik, yang akan mengubah relasi sosial dan kehidupan sehari-hari. Mereka ingin menghancurkan semua yang ada sebelumnya dan "memutar balik waktu" serta memulai dari "tahun nol".
Namun dampak dari perubahan struktur sosial dan ideologi ini sangat mengerikan, sekitar 1,5-2 juta orang tewas dalam kurun 1975-1979.
Sekjen PBB Antonio Guterres saat berkunjung ke Museum Genosida Tuol Sleng, Kamboja pada 2022 menggambarkan tragedi mengerikan tersebut.
"Inilah yang terjadi ketika kebencian merajalela. Inilah yang terjadi ketika manusia dianiaya, dan hak asasi manusia diabaikan," kata Guterres.
(imf/bac)