Presiden Indonesia Ini Minta Hak Veto DK PBB Ditinjau Ulang
Hak veto adalah hak istimewa yang dimiliki oleh lima anggota tetap Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations Security Council.
Hak veto dalam PBB adalah hak yang bisa dipakai untuk membatalkan keputusan, ketetapan, atau rancangan peraturan anggota Dewan Keamanan oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB tersebut adalah Amerika Serikat (AS), China, Prancis, Rusia, dan Inggris.
Hak veto merupakan salah satu ketentuan yang disepakati dalam Piagam PBB pada 1945. Hak veto ini dimaksudkan untuk memberikan kekuatan kepada lima negara pemenang Perang Dunia II.
Kelima negara tersebut mendapatkan hak veto karena berperan besar dalam pembentukan PBB serta memainkan peran penting dalam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.
Dengan hak tersebut, anggota permanen Dewan Keamanan PBB dapat menolak resolusi substantif yang dibuat oleh negara lain. Namun Hak Veto ini seringkali disalahgunakan oleh negara seperti Amerika Serikat, terutama dalam kaitan dengan Israel dan Palestina.
Karena itu, Indonesia pernah meminta agar Hak Veto ditinjau ulang. Hal itu disampaikan langsung oleh Presiden kedua RI Soeharto pada sidang Mejelis Umum PBB September 1992.
Presiden Soeharto mengingatkan, kini sudah saatnya keanggotaan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB) untuk diperluas, dengan masuknya anggota-anggota baru.
Di samping itu, sudah tepat waktunya untuk meninjau kembali secara konstruktif cara-cara hak veto yang sekarang ini dilaksanakan.
"Sekiranya kepada anggota-anggota DK PBB itu tidak dapat diberikan hak veto, setidak-tidaknya kepada mereka perlu diberikan status sebagai anggota tetap," kata Presiden Soeharto dalam pidatonya pada Sidang Majelis Umum Ke-47 PBB di New York, Amerika Serikat.
Ia menambahkan bahwa masuknya negara-negara baru menjadi anggota DK PBB perlu didasarkan atas kriteria yang relevan, yang lebih cermat mencerminkan keadaan dunia yang sebenarnya dewasa ini.
Itu berarti bahwa kriteria tersebut harus juga memperhatikan konsep yang lebih luas mengenai keamanan, dengan memperhatikan aspek-aspek ekonomi dan sosial, di samping aspek-aspek militer.
Soeharto kemudian menyebutkan bahwa di masa lalu perhatian utama PBB memang dapat diarahkan pada upaya pencegahan timbulnya perang dunia dan pembebasan bangsa-bangsa dari penjajahan politik. Tetapi dewasa ini, perhatian dan usaha dunia, seyogyanya harus mengacu pada perjuangan bangsa-bangsa untuk pembangunan nasionalnya.
"Perhatian ini harus dicerminkan dalam karya PBB maupun komposisi dan dinamika badan-badannya, terutama Dewan Keamanan," kata Kepala Negara.
Menurut Soeharto, PBB serta badan-badan utamanya perlu melakukan proses peninjauan dan penggairahan kembali secara berkala, agar tetap dapat mengadakan penyesuaian dinamis terhadap realitas yang berkembang dalam hubungan internasional.
Dengan demikian, organisasi dunia itu dapat terus memainkan peranannya yang efektif sebagai pusat penanganan berbagai masalah global yang kritis dewasa ini.
Dikutip dari Soeharto Library, Presiden mengungkapkan, ketika Piagam PBB dirumuskan dan badan-badan didirikan tahun 1945, perhatian utama negara-negara pendirinya memang setepatnya tertuju pada usaha untuk mencegah timbulnya lagi bencana perang yang akan memusnahkan umat manusia. Sebab itu mereka, merancang suatu sistem keamanan bersama yang diharapkannya dapat mencegah terjadinya lagi perang dunia.
Tapi sejak itu dunia berubah secara mendasar. Namun selama 47 tahun belakangan ini sejumlah besar negara telah mencapai kemerdekaannya dan menjadi anggota berdaulat PBB. Masuknya negara-negara itu mencerminkan perjuangan semesta bangsa-bangsa di dunia untuk membebaskan diri dari belenggu kolonialisme.
Presiden mengemukakan, dunia dewasa ini masih jauh dari suasana damai, adil dan aman. Perlu disadari bersama bahwa kini perdamaian dan keamanan juga banyak tergantung pada faktor-faktor sosio-ekonomi di samping faktor militer.
Pupusnya harapan bagi kemajuan ekonomi dan sosial, pengangguran dalam skala besar, kemiskinan, gejala migrasi lintas-batas secara besar-besaran dan pencemaran udara.
(imf/bac)