Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia Sya'roni Rofii juga punya penilaian serupa.
"Kebijakan yang dikeluarkan Amerika Serikat cenderung menguntungkan Israel. Sebab penyerahan tahanan diikuti dengan penarikan pasukan Israel secara bertahap. Artinya pasukan Israel akan tetap berada di Gaza selama dibutuhkan," kata Sya'roni.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pernyataan itu merujuk poin-poin awal usulan Trump. Di poin pertama, proposal tersebut berisi jika kedua pihak sepakat, perang akan berakhir. Pasukan Israel akan mundur sebagian untuk mempersiapkan pembebasan sandera.
Semua operasi militer, lanjut poin itu, akan ditangguhkan dan garis pertempuran bakal tetap di tempat hingga kondisi untuk "penarikan bertahap sepenuhnya" pasukan Israel terpenuhi.
Di poin selanjutnya, dalam waktu 72 jam usai Israel secara terbuka menerima proposal, semua sandera termasuk yang hidup dan mati akan dipulangkan.
Lalu, setelah seluruh sandera dibebaskan, Israel akan membebaskan 250 tahanan Palestina yang menjalani hukuman seumur hidup ditambah 1.700 warga Gaza yang ditahan usai serangan dadakan 7 Oktober 2023.
Di kesempatan ini, Sya'roni mengatakan proposal tersebut tak punya perspektif Palestina karena yang mengusulkan bukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau negara pendukung Palestina.
"Sehingga solusi ini boleh jadi akan menjadi kesempatan bagi tindakan pelanggaran Hukum internasional oleh Israel," ungkap dia.
Lebih lanjut, Sya'roni mengatakan seharusnya solusi untuk agresi Israel di Palestina merujuk ke Deklarasi New York, yang sudah diadopsi PBB pada awal September.
Dalam Deklarasi New York tertera secara spesifik bagian-bagian yang harus dilaksanakan untuk menciptakan perdamaian.
Sya'roni juga mengkritik terminologi soal orang-orang yang terafiliasi dengan Hamas diberi koridor untuk keluar dari Gaza. Menurut dia, usulan tersebut berpotensi menyuburkan pandangan dan menciptakan stigma seluruh warga Gaza bagian dari Hamas.
"AS harus menerima realitas bahwa semua warga Gaza adalah warga Palestina. Karena itulah konsep self determination [menentukan nasib sendiri]," ungkap dia.
AS, lanjut dia, juga perlu melibatkan Organisasi Kerja Sama Islam dan Liga Arab untuk menyelesaikan isu Palestina. Tidak bisa hanya mendengar aspirasi Israel.
(isa/bac)