Jakarta, CNN Indonesia --
Prancis dikejutkan lagi dengan keputusan Perdana Menteri Sebastien Lecornu yang mengundurkan diri pada Senin (6/10) meski belum sebulan diangkat oleh Presiden Emmanuel Macron.
Lecornu dan kabinetnya mengundurkan diri hanya beberapa jam setelah mengumumkan kabinetnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keputusan Lecornu resign ini menambah pelik krisis politik dan kepimpinan yang terus menggerus pemerintahan Presiden Macron.
Eks menteri pertahanan berusia 39 tahun ini merupakan perdana menteri kelima Macron sejak ia terpilih kembali menjadi presiden Prancis untuk periode kedua pada 2022.
Sementara itu, selama pemerintahan Macron, ada tujuh PM yang mengundurkan diri dengan alasan beragam.
Mulai dari perombakan kabinet hingga ketidakkompakan di parlemen.
Jabatan Perdana Menteri memang terbilang baru yakni sejak Fifth Republic berlaku dalam konstitusi Prancis pada 1958. Sebelum 1958, hanya adalah gelar semi-resmi "Presiden Dewan Menteri" (Président du Conseil de Ministres) yang dijabat salah satu dari para menteri di pemerintahan.
UU ini mengenalkan sistem pemerintahan baru di Prancis yakni semi-presidensial dengan kekuasaan tertinggi di tangan seorang presiden.
Dikutip dari situs pemerintahan Prancis, elysee.fr, konstitusi tahun 1958 adalah konstitusi yang mengatur sistem politik saat ini.
Perubahan konstitusi berlaku demi memastikan pemerintahan berjalan dengan stabil dengan landasan yang lebih kokoh dibandingkan konstitusi 1946.
Sebuah komite informal yang dibentuk oleh Jenderal de Gaulle mulai menyusun rencana tersebut pada tanggal 4 Juni 1958, dan pekerjaan persiapannya kemudian digunakan oleh komite konsultatif konstitusional yang mulai bekerja pada tanggal 15 Juli 1958.
Tujuh PM resign selama pemerintahan Macron, ada apa? baca di halaman berikutnya >>>
PM di Era Macron Sering Resign
Sudah tujuh Perdana Menteri yang mengundurkan diri dengan alasan beragam. Namun semuanya rata-rata berlandaskan pada alasan politik atau guncangan di parlemen.
Perdana Menteri Prancis, Francois Bayrou, misalnya resmi lengser dari jabatannya usai kalah dalam pemungutan suara mosi tidak percaya.
Sebanyak 364 anggota parlemen memberi suara penolakan untuk Bayrou dan 194 anggota mendukung dia. Ambang batas untuk bisa meloloskan mosi tak percaya ini 280, jauh lebih rendah dari pada jumlah penolakan yang didapat PM Prancis.
Kemudian Perdana Menteri Sebastien Lecornu yang terakhir mundur, meski kurang dari satu bulan menjabat posisi ini, juga karena tidak mendapat dukungan dari parlemen.
Dia mengatakan menjadi perdana menteri adalah tugas yang sulit, apalagi dalam kondisi saat ini. Namun, seseorang tak bisa menjabat sebagai perdana menteri jika persyaratan yang diperlukan tidak terpenuhi.
Dia menyoroti partai politik yang "berpura-pura" tak melihat keretakan dalam parlemen. Menurut Lecornu, parlemen bisa saja menggunakan Pasal 49 ayat 3 Konstitusi untuk meloloskan undang-undang tanpa menggelar pemungutan suara.
Keputusan Lecornu mundur membuat mereka tak punya alasan mengajukan mosi tidak percaya dan bisa fokus menjalan tugas sebagai legislator.
Perdana Menteri Prancis Michel Barnier, yang sebelumnya dikenal sebagai negosiator utama Uni Eropa dalam pembicaraan Brexit, pun harus menghadapi kenyataan pahit ketika pemerintahannya dijatuhkan dalam mosi tidak percaya.
Begitu pula dengan Jean Castex yang mengundurkan diri kepada Presiden Emmanuel Macron pada Senin, 16 Mei 2022. Dia mundur demi memmbuka jalan bagi perombakan kabinet yang telah lama ditunggu-tunggu.
Hal yang sama juga terjadi pada PM Edouard Philippe mundur dari posisi Perdana Menteri Prancis menjelang reshuffle kabinet oleh Presiden Emmanuel Macron pada 2020 silam.
Reshuffle itu sendiri merupakan bagian dari rencana Macron untuk memperbaiki kinerja dan citranya menjelang Pilpres Prancis. "Philippe akan menangani urusan pemerintahan hingga kabinet baru terbentuk," ujar pernyataan pers Pemerintah Prancis sebagaimana dikutip dari kantor berita Reuters, Jumat, 3 Juli 2020.