Jakarta, CNN Indonesia --
Pendudukan Jepang di tanah air yang seumur jagung (3,5) tahun, menimbulkan korban nyawa yang tak terkirakan.
Salah satu yang paling terkenal adalah kerja paksa (romusha). Namun itu saja belum cukup, Jepang pun mengoperasikan unit laboratorium dengan eksperimen mengerikan, dengan tenaga romusha dan para tahanan sebagai kelinci percobaan. Salah satunya adalah yang dikenal dengan peristiwa Klender.
Kematian 900 Romusha
Kevin Baird, Profesor Malariologi di Departemen Kedokteran Nuffield, Universitas Oxford, yang pernah menjabat sebagai Kepala Unit di Unit Penelitian Klinis Eijkman-Oxford di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang modern di Jakarta, pernah menulis di jurnal Asia-Pacific Journal: Japan Focus pada 2016 tentang kasus ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pada pukul sembilan pagi hari Minggu, 6 Agustus 1944 , telepon berdering di Rumah Sakit Pusat di Jakarta. Penelepon yang panik dari kamp transit romusha di Klender beberapa mil jauhnya memohon bantuan medis. Ratusan romusha berubah menjadi postur aneh dan mengerang kesakitan. Sebuah tim medis dikirim untuk menyelidiki apa yang mereka duga sebagai wabah meningitis," begitu Baird menulis.
Sejumlah tim yang meneliti para romusha itu mendapati bahwa para romusha bukan terkena meningitis tapi tetanus akut. Dan tetanus yang masuk ke dalam tubuh itu disuntikkan ke dalam tubuh mereka beberapa hari sebelumnya.
Para dokter Jepang memang diketahui menyuntikkan vaksin campuran TCD (Thypus, Cholera, Disentri) ke para pekerja paksa itu. Salah seorang dokter pribumi yang ikut memeriksa adalah dokter Bahder Johan, yang kemudian menjadi guru besar dan rektor di Universitas Indonesia.
Dalam catatan Jepang, dari 900 romusha yang tewas mencapai 400 orang. Hasil pemeriksaan mengungkapkan, basil Clostridium tetani yang menghasilkan toksin tetanus, menjadi penyebab kematian, bukan bakteri itu sendiri.
Tentara Jepang kemudian menyegel kamp di Klender dalam beberapa jam setelah kasus terjadi. Permintaan untuk menerima lebih banyak pasien untuk perawatan ditolak.
Tentara Jepang memindahkan mayat-mayat dari rumah sakit, mungkin untuk pemakaman massal dengan orang yang meninggal dan sekarat di Klender. Kenpeitai menyelidiki peristiwa tersebut selama Agustus dan September sebelum akhirnya melakukan penangkapan pada awal Oktober.
Penangkapan tersebut mencakup dua dokter Indonesia dari dinas kesehatan kota yang telah memberikan suntikan, bos mereka Dr Marzoeki, dan sebagian besar staf ilmiah Lembaga Eijkman.
Marzoeki selamat dan menulis memoar yang kuat tentang kekejaman perlakuan terhadapnya di penjara Kenpeitai. Namun Ahmad Mochtar yang menjadi kepala Laboratorium Eijkman justeru ditangkap.
Kenpeitai mulai bertugas mengorek pengakuan dari para tenaga medis yang ditangkap melalui penyiksaan sistematis dan berat. Perlakuan mereka meliputi pemukulan, wash boarding, waterboarding, pembakaran, sengatan listrik, penangguhan berkepanjangan dalam posisi yang menyiksa, dan pemberian ransum kelaparan.
Semua ini berlangsung selama dua bulan sebelum seorang dokter meninggal dunia akibat penyiksaan. Beberapa penyintas mengenang jenazah dokter Arief yang termutilasi diarak di depan sel mereka pada awal Desember 1944. Jenazah dokter Arief dipenuhi bekas puluhan luka bakar rokok dari ujung kepala hingga ujung kaki, wajahnya dipukuli hingga tak dapat dikenali, dan kakinya dibentangkan dari mata kaki hingga bokong akibat penyiksaan wash boarding.
Tak kuat dengan derita penyiksaan dan demi menyelamatkan para kolega lain, Mochtar kemudian membuat pengakuan bahwa dia lah yang telah memasukkan vaksin tetanus kepada para romusha sehingga menewaskan kematian massal. Mochtar kemudian dieksekusi pada 3 Juli 1944 dengan pedang. Jepang menyalahkan Ahmad Mochtar sebagai biang keladi peristiwa ini. Kematian ini bahkan tidak diberitahukan kepada keluarga dokter Mochtar.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Peristiwa Mochtar kemudian terkubur selama puluhan tahun, dikutip dari Asia Pacific Journal.
Bahkan Presiden Soekarno sendiri meyakini Mochtar sosok yang bersalah. Lembaga Eijman yang pernah dipimpin Ahmad Mochtar ditutup pada 1965. Namun sejumlah komunitas medis termasuk mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta menolak tudingan Jepang.
Asisten dokter Ahmad Moctar, dokter Ali Hanafiah, membuat memoar tentang apa yang sesungguynya terjadi. Salah satu bahan yang dia kumpulkan adalah kliping dari surat kabar Australia yang dicetak pada tahun 1951 yang melaporkan tentang pengadilan kejahatan perang dokter angkatan laut Jepang Nakamura Hirosato, yang dituduh membunuh 15 tahanan Indonesia yang dihukum di Surabaya pada awal tahun 1945.
Hirosato membunuh para tahanan dengan cara yang tidak biasa, yaitu memasukan virus tetanus. Transkrip persidangan yang diperoleh pada tahun 2010 mengungkapkan alasan strategis medis teknis dan militer kala itu, yaitu menyuntikkan virus ke tubuh tahanan sebagai kelinci percobaan.
Nakamura adalah Kepala Dokter dari Armada Angkatan Laut Laut Selatan Ekspedisi ke-2 yang bermarkas di Surabaya dan bertanggung jawab atas kesehatan dan kesiapan tempur lebih dari 100.000 tentara angkatan laut Jepang yang menduduki pulau-pulau terluar Indonesia.
Pada awal tahun 1945, Jepang menganggap serangan amfibi Sekutu dalam skala besar di Indonesia akan segera terjadi. Dan atas perintah Tokyo, dia diminta untuk bersiap dengan segala cara.
Sebagai dokter dia memilih virus tetanus sebagai uji coba sebab tetanus merupakan ancaman mematikan bagi pasukan yang terluka dalam pertempuran dan Nakamura tidak dapat memperoleh stok yang memadai dari pengobatan standar untuk tetanus akut.
Dia mulai memecahkan masalah ini dengan membuat vaksinnya sendiri menggunakan toksin tetanus yang dimodifikasi secara kimia, yang disebut toksoid, teknologi yang sama yang digunakan dalam vaksinasi modern terhadap tetanus.
Setelah serangkaian dua vaksinasi eksperimental dari 17 tahanan, tim peneliti Nakamura mencari bukti kemanjuran vaksin mereka dengan menyuntikkan toksin tetanus yang dimurnikan ke dalam subjek tahanan mereka yang sehat dan divaksinasi. Hanya dua yang selamat dari percobaan setelah terapi plasma anti-toksin yang agresif. Sebanyak 15 tahanan tewas.
Kasus ini kemudian membawa kenangan pada kematina 900 romusha di Klender 1944. Faktanya, virus yang disuntikkan kepada para romusha bukan buatan Eijkman tapi buatan Institut Pasteur yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat.
"Sementara Lembaga Eijkman tidak membuat vaksin," kata Sangkot Marzuki, Kepala Laboratorium Eijkman ketika dihidupkan kembali di era Presiden BJ Habibie.
Menurut penuturan Sangkot, yang berbicara dalam acara peluncuran buku "Bom Bakteri dan Vaksin Maut: Romusha, Maruta dan Unit 731" di Jakarta pada Agustus lalu, vaksin yang disuntikkan kepada para romusha di Klende memang diinapkan sehari di Eijkman tapi tidak pernah diapa-apakan.
"Tidak ada fasilitasnya," lanjutnya.
Dengan demikian, terungkap bahwa vaksin TCD yang disuntikkan memang dibuat oleh para ilmuwan Jepang sendiri di Institut Pasteur yang ketika di jaman Jepang (1942-1945) diberi nama Bandung Boeki Kenkyushoo dan dipimpin oleh Kikuo Kurauchi. Perubahan nama ini merupakan bagian dari restrukturisasi institusi kesehatan oleh pemerintah militer Jepang.
Lalu apa hubungannya dengan Klender?
Kevin Baird, melalui beberapa penelitian dan dokumen menemukan bahwa apa yang terjadi pada romusha di Klender adalah percobaan yang gagal dari para dokter tentara Jepang. Mereka awalnya merancang vaksin secara diam-diam untuk menguji keefektifan vaksin toksoid tetanus improvisasi mereka dengan menggunakan romusha sebagai subjek uji.
"Hasil yang mengerikan dan tak terduga ini, beserta konsekuensi politiknya yang mendalam, membuat para dokter tentara tidak dapat melakukan eksperimen tetanus lebih lanjut pada marmut manusia untuk memahami mengapa vaksin mereka gagal melindungi romusha," kata Baird.
Dari pengakuan Nakamura, maka kondisi dokter dokter Ahmad Mochtar jelas tidak bersalah.
"Mochtar tidak bersalah," kata Sangkot.
Kala itu, dengan kematian para romusha ada kambing hitam, dokter Mochtar yang menyuntikkan vaksin itu.
"Lembaga eikman terlibat untuk membuat vaksin TCD. Eijkman tidak mungkin karena tidak punya fasilitas. Hanya jadi kambing hitam," ujarnya.
Sangkot pun menyebutkan bahwa unit 731, sebuah lembaga eksperiman biologi milik Jepang adalah yang paling bertanggungjawab. Situs National Library of Medicine mengungkapkan, Unit 731 dipimpin oleh Shiro Ishii didirikan pada tahun 1936, di China. Unit 731 terdiri dari 3.000 personel, 150 bangunan, dan kapasitas untuk menahan 600 tahanan sekaligus untuk keperluan eksperimen.
Unit ini punya cabang di Singapura dan Indonesia. Ribuan lainnya terbunuh di cabang lain dari program perang biologis dan kimia Jepang yang ekstensif. Kemungkinan besar, jumlah total yang akurat tidak akan pernah tersedia.
Eksperimen Unit 731 melibatkan infeksi tahanan, terutama tawanan perang dan warga sipil, secara sengaja dengan agen infeksius, dan memaparkan tahanan pada bom yang dirancang untuk menembus kulit dengan partikel infeksius. Tidak ada korban selamat yang diketahui dari eksperimen ini.
Selain di Klender dan Surabaya, unit ini juga sempat beroperasi di Palembang, Sumatera Selatan yang menewaskan 128 romusha dan 77 di Kalimantan.
Namun sayang setelah Jepang kalah, para dokter di unit 731 tidak ada yang dibawa ke pengadilan. Bahkan sebagian ada yang menduduki lembaga-lembaga kedokteran di Jepang.
Setelah perang usai dan Jepang kalah, investigasi terhadap unit 731 dilakukan. Namun sedikit yang terungkap. Salah satu penyelidik Amerika Letnan Kolonel Arvo T Thompson misalnya, tidak mampu mendapatkan informasi yang akurat, tetapi pada Mei 1946 ia semakin yakin bahwa kebenaran telah disembunyikan.
Kepala unit 731 Jenderal Ishii memberi tahu Thompson bahwa perang biologis adalah "tidak manusiawi" dan akan "menodai kebajikan dan kemurahan hati Kaisar" (jika Jepang melakukan penelitian semacam itu).
Ini adalah pernyataan yang jelas dari sumber Jepang, meskipun disampaikan dengan sinis, bahwa eksperimen perang biologis tidak etis.
Kelompok Ishii kemudian memberikan laporan rinci tentang program eksperimen tersebut kepada para ilmuwan Amerika, termasuk daftar 8.000 slide patologi dan ratusan gambar berwarna.
Namun setelah semua terungkap, AS memberikan kekebalan hukum bagi semua ilmuwan top di uni 731 sebagai imbalan atas penelitian mereka, yang ingin mereka jauhkan dari tangan Soviet.
Menurut Sangkot, sekutu yang menang perang tidak mengangkat kasus romusha setelah Jepang kalah, mungkin karena sebagai orang Indonesia kita tidak dianggap.