Peristiwa Mochtar kemudian terkubur selama puluhan tahun, dikutip dari Asia Pacific Journal.
Bahkan Presiden Soekarno sendiri meyakini Mochtar sosok yang bersalah. Lembaga Eijman yang pernah dipimpin Ahmad Mochtar ditutup pada 1965. Namun sejumlah komunitas medis termasuk mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta menolak tudingan Jepang.
Asisten dokter Ahmad Moctar, dokter Ali Hanafiah, membuat memoar tentang apa yang sesungguynya terjadi. Salah satu bahan yang dia kumpulkan adalah kliping dari surat kabar Australia yang dicetak pada tahun 1951 yang melaporkan tentang pengadilan kejahatan perang dokter angkatan laut Jepang Nakamura Hirosato, yang dituduh membunuh 15 tahanan Indonesia yang dihukum di Surabaya pada awal tahun 1945.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hirosato membunuh para tahanan dengan cara yang tidak biasa, yaitu memasukan virus tetanus. Transkrip persidangan yang diperoleh pada tahun 2010 mengungkapkan alasan strategis medis teknis dan militer kala itu, yaitu menyuntikkan virus ke tubuh tahanan sebagai kelinci percobaan.
Nakamura adalah Kepala Dokter dari Armada Angkatan Laut Laut Selatan Ekspedisi ke-2 yang bermarkas di Surabaya dan bertanggung jawab atas kesehatan dan kesiapan tempur lebih dari 100.000 tentara angkatan laut Jepang yang menduduki pulau-pulau terluar Indonesia.
Pada awal tahun 1945, Jepang menganggap serangan amfibi Sekutu dalam skala besar di Indonesia akan segera terjadi. Dan atas perintah Tokyo, dia diminta untuk bersiap dengan segala cara.
Sebagai dokter dia memilih virus tetanus sebagai uji coba sebab tetanus merupakan ancaman mematikan bagi pasukan yang terluka dalam pertempuran dan Nakamura tidak dapat memperoleh stok yang memadai dari pengobatan standar untuk tetanus akut.
Dia mulai memecahkan masalah ini dengan membuat vaksinnya sendiri menggunakan toksin tetanus yang dimodifikasi secara kimia, yang disebut toksoid, teknologi yang sama yang digunakan dalam vaksinasi modern terhadap tetanus.
Setelah serangkaian dua vaksinasi eksperimental dari 17 tahanan, tim peneliti Nakamura mencari bukti kemanjuran vaksin mereka dengan menyuntikkan toksin tetanus yang dimurnikan ke dalam subjek tahanan mereka yang sehat dan divaksinasi. Hanya dua yang selamat dari percobaan setelah terapi plasma anti-toksin yang agresif. Sebanyak 15 tahanan tewas.
Kasus ini kemudian membawa kenangan pada kematina 900 romusha di Klender 1944. Faktanya, virus yang disuntikkan kepada para romusha bukan buatan Eijkman tapi buatan Institut Pasteur yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat.
"Sementara Lembaga Eijkman tidak membuat vaksin," kata Sangkot Marzuki, Kepala Laboratorium Eijkman ketika dihidupkan kembali di era Presiden BJ Habibie.
Menurut penuturan Sangkot, yang berbicara dalam acara peluncuran buku "Bom Bakteri dan Vaksin Maut: Romusha, Maruta dan Unit 731" di Jakarta pada Agustus lalu, vaksin yang disuntikkan kepada para romusha di Klende memang diinapkan sehari di Eijkman tapi tidak pernah diapa-apakan.
"Tidak ada fasilitasnya," lanjutnya.
Dengan demikian, terungkap bahwa vaksin TCD yang disuntikkan memang dibuat oleh para ilmuwan Jepang sendiri di Institut Pasteur yang ketika di jaman Jepang (1942-1945) diberi nama Bandung Boeki Kenkyushoo dan dipimpin oleh Kikuo Kurauchi. Perubahan nama ini merupakan bagian dari restrukturisasi institusi kesehatan oleh pemerintah militer Jepang.
Kevin Baird, melalui beberapa penelitian dan dokumen menemukan bahwa apa yang terjadi pada romusha di Klender adalah percobaan yang gagal dari para dokter tentara Jepang. Mereka awalnya merancang vaksin secara diam-diam untuk menguji keefektifan vaksin toksoid tetanus improvisasi mereka dengan menggunakan romusha sebagai subjek uji.
"Hasil yang mengerikan dan tak terduga ini, beserta konsekuensi politiknya yang mendalam, membuat para dokter tentara tidak dapat melakukan eksperimen tetanus lebih lanjut pada marmut manusia untuk memahami mengapa vaksin mereka gagal melindungi romusha," kata Baird.
Dari pengakuan Nakamura, maka kondisi dokter dokter Ahmad Mochtar jelas tidak bersalah.
"Mochtar tidak bersalah," kata Sangkot.
Kala itu, dengan kematian para romusha ada kambing hitam, dokter Mochtar yang menyuntikkan vaksin itu.
"Lembaga eikman terlibat untuk membuat vaksin TCD. Eijkman tidak mungkin karena tidak punya fasilitas. Hanya jadi kambing hitam," ujarnya.
Sangkot pun menyebutkan bahwa unit 731, sebuah lembaga eksperiman biologi milik Jepang adalah yang paling bertanggungjawab. Situs National Library of Medicine mengungkapkan, Unit 731 dipimpin oleh Shiro Ishii didirikan pada tahun 1936, di China. Unit 731 terdiri dari 3.000 personel, 150 bangunan, dan kapasitas untuk menahan 600 tahanan sekaligus untuk keperluan eksperimen.
Unit ini punya cabang di Singapura dan Indonesia. Ribuan lainnya terbunuh di cabang lain dari program perang biologis dan kimia Jepang yang ekstensif. Kemungkinan besar, jumlah total yang akurat tidak akan pernah tersedia.
Eksperimen Unit 731 melibatkan infeksi tahanan, terutama tawanan perang dan warga sipil, secara sengaja dengan agen infeksius, dan memaparkan tahanan pada bom yang dirancang untuk menembus kulit dengan partikel infeksius. Tidak ada korban selamat yang diketahui dari eksperimen ini.
Selain di Klender dan Surabaya, unit ini juga sempat beroperasi di Palembang, Sumatera Selatan yang menewaskan 128 romusha dan 77 di Kalimantan.
Namun sayang setelah Jepang kalah, para dokter di unit 731 tidak ada yang dibawa ke pengadilan. Bahkan sebagian ada yang menduduki lembaga-lembaga kedokteran di Jepang.
Setelah perang usai dan Jepang kalah, investigasi terhadap unit 731 dilakukan. Namun sedikit yang terungkap. Salah satu penyelidik Amerika Letnan Kolonel Arvo T Thompson misalnya, tidak mampu mendapatkan informasi yang akurat, tetapi pada Mei 1946 ia semakin yakin bahwa kebenaran telah disembunyikan.
Kepala unit 731 Jenderal Ishii memberi tahu Thompson bahwa perang biologis adalah "tidak manusiawi" dan akan "menodai kebajikan dan kemurahan hati Kaisar" (jika Jepang melakukan penelitian semacam itu).
Ini adalah pernyataan yang jelas dari sumber Jepang, meskipun disampaikan dengan sinis, bahwa eksperimen perang biologis tidak etis.
Kelompok Ishii kemudian memberikan laporan rinci tentang program eksperimen tersebut kepada para ilmuwan Amerika, termasuk daftar 8.000 slide patologi dan ratusan gambar berwarna.
Namun setelah semua terungkap, AS memberikan kekebalan hukum bagi semua ilmuwan top di uni 731 sebagai imbalan atas penelitian mereka, yang ingin mereka jauhkan dari tangan Soviet.
Menurut Sangkot, sekutu yang menang perang tidak mengangkat kasus romusha setelah Jepang kalah, mungkin karena sebagai orang Indonesia kita tidak dianggap.
(imf/bac)