Hidup Tanpa Hari: Cerita Kelam Tahanan Palestina di Israel

CNN Indonesia
Minggu, 09 Nov 2025 19:40 WIB
Jurnalis foto asal Gaza ungkap kisah kelam penahanan berbulan-bulan tanpa dakwaan di bawah hukum 'kombatan ilegal' Israel.
Ilustrasi. Banyak warga sipil Palestina ditahan Israel. (REUTERS/Hatem Khaled)
Jakarta, CNN Indonesia --

Shady Abu Sedo hanya mengingat kegelapan, kabur, rasa sakit, serta kehilangan arah dan waktu. Selama berbulan-bulan, jurnalis foto asal Palestina itu mengatakan dirinya hidup dalam 'lubang hitam' ketika ditahan oleh otoritas Israel di tengah perang Gaza.

Pria berusia 35 tahun itu ditangkap pada Maret 2024, lima bulan setelah perang pecah akibat serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023. Saat itu, Abu Sedo tengah bekerja di Rumah Sakit Al-Shifa, Gaza City, ketika pasukan Israel menahannya dan membawanya ke penjara militer Sde Teiman, fasilitas yang digunakan untuk menahan warga Gaza selama perang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kompleks Al-Shifa sendiri menjadi titik panas konflik. Israel menuduh Hamas menggunakan rumah sakit tersebut sebagai pusat komando, sementara lembaga kemanusiaan menuding Israel melanggar hak asasi manusia dalam operasi militernya di sana.

Abu Sedo ditahan berdasarkan hukum Israel tentang 'kombatan ilegal', yang memungkinkan penahanan tanpa dakwaan selama berbulan-bulan bagi orang yang dicurigai sebagai bagian dari kelompok 'musuh'.

"Bayangkan, 100 hari dari pukul lima pagi hingga sebelas malam, duduk berlutut, tangan diborgol, mata tertutup, dan dilarang bicara," katanya kepada AFP melalui sambungan telepon setelah dibebaskan pada 13 Oktober di bawah perjanjian gencatan senjata yang ditengahi Amerika Serikat.

"Kau tidak tahu waktu, tidak tahu hari, tidak tahu di mana dirimu berada."

Dia mengaku disiksa bahkan sebelum identitasnya dikonfirmasi. "Setelah 100 hari penyiksaan, mereka baru memeriksa siapa saya. Mereka menyiksa saya tanpa tahu siapa saya," ujarnya, seraya menyebut mengalami cedera pada mata dan telinga.

Setelah itu, Abu Sedo dipindahkan ke penjara militer Ofer di Tepi Barat yang diduduki Israel. Di sana, menurutnya, kondisi 'tak terbayangkan'. Selama masa penahanan, dia hanya dua kali diizinkan berbicara dengan pengacaranya.

Dia juga mengatakan tidak pernah didakwa secara resmi dan penahanannya terus "diperpanjang otomatis tanpa penjelasan".

Militer Israel menolak berkomentar terkait kasusnya. Sementara itu, Lembaga Pemasyarakatan Israel menyebut semua tahanan "ditahan sesuai prosedur hukum, dengan hak-hak termasuk akses ke layanan medis dan kondisi hidup yang layak tetap dijaga."

Hukum 'kombatan ilegal'

Istilah 'kombatan ilegal' mengacu pada seseorang yang terlibat dalam kelompok bersenjata, namun tidak memenuhi syarat hukum untuk diakui sebagai kombatan perang. Istilah ini pertama kali populer di Amerika Serikat pasca-serangan 11 September 2001 dan kemudian diadopsi Israel pada 2002.

Hukum tersebut memberi celah bagi Israel untuk menahan tersangka tanpa dakwaan. Di awal perang Gaza, undang-undang itu bahkan direvisi untuk memperpanjang masa penahanan tanpa proses hukum dari 96 jam menjadi 45 hari, dan tanpa sidang pengadilan dari 14 hari menjadi 75 hari, dengan kemungkinan diperpanjang hingga 180 hari.

Amnesty International pada Juli 2024 menyerukan agar hukum itu dicabut. Menurut lembaga tersebut, aturan itu digunakan untuk "menahan warga sipil Palestina secara sewenang-wenang dan melempar mereka ke dalam lubang hitam hukum tanpa bukti ancaman keamanan apa pun."

Dilarang dihubungi dan dikunjungi

Pada akhir Oktober, Israel juga melarang Komite Internasional Palang Merah (ICRC) mengunjungi tahanan yang ditahan sebagai 'kombatan ilegal'. Langkah itu pada praktiknya mengukuhkan kondisi yang sudah berlangsung sejak awal perang Gaza.

ICRC mengatakan tidak dapat mengunjungi para tahanan, kecuali untuk wawancara menjelang pembebasan dalam kesepakatan gencatan senjata atau pertukaran tahanan.

Sejumlah organisasi HAM mengecam praktik tersebut sebagai bentuk penahanan tanpa komunikasi, yang menghambat pembelaan hukum para tahanan. Diperkirakan, Israel kini menahan sekitar 1.000 orang dengan status 'kombatan ilegal' di penjara militer dan sipil.

"Bagi mereka, pengacara adalah satu-satunya penghubung dengan dunia luar," kata Naji Abbas dari kelompok Physicians for Human Rights.

Dia menambahkan, 18 dokter dan puluhan tenaga kesehatan dari Gaza masih mendekam di penjara tanpa dakwaan.

"Butuh berbulan-bulan hanya untuk mendapat jadwal kunjungan. Dan ketika akhirnya bisa, waktu yang diberikan tak sampai setengah jam," ujarnya.

Sejumlah lembaga HAM telah mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung Israel agar Palang Merah diizinkan kembali mengunjungi para tahanan, namun belum ada tanggal sidang yang ditetapkan.

(tis/tis)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER