Sebuah skiripsi tentang sejarah Yahudi di Indonesia yang ditulis oleh Wardani Dwi Jayanti dari Universitas Sebelas Maret Solo, menjelaskan periode emas komunitas ini yaitu pada 1926-1942.
Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa Komunitas Yahudi di Indonesia pada tahun 1926 hingga 1942 mampu mengadakan dan mengorganisir pertemuan-pertemuan keagamaan dan organisasi secara bebas tanpa tekanan dari antisemitisme.
Ibadah agama Yudaisme juga dijalankan oleh komunitas Yahudi pada tahun 1926-1942 secara personal maupun komunal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ditambah lagi padahal sensus penduduk yang digelar pemerintah kolonial pada tahun 1930 mencatat keberadaan 1.095 orang Yahudi di Hindia Belanda. Di akhir dekade 1930-an, jumlah itu meningkat hingga 2.500 di seantero Jawa, Sumatera dan sebagian kecil kawasan lain Hindia Belanda.
Catatan dari sutus Jewishvirtuallibrary menuliskan bahwa pada tahun tersebut banyak komunitas Yahudi datang dari Belanda, Bagdad dan Aden.
Sebagian besar Yahudi Bagdad menetap di Surabayah. Menurut catatan, kedatangan kaum Yahudi itu ke Indonesia untuk menghindari persekusi yang mulai meningkat di Eropa.
Di Surabaya misalnya, pada periode tersebut sudah ada 500 keturunan Yahudi. Pada periode tersebut, komunitas Yahudi Surabaya bisa menjalankan ibadah dengan tenang bahkan lebih khusyuk dari pada Yahudi di Eropa karena sentimen antisemit mulai meningkat. Di kota Pahlawan ini pula pernah berdiri sebuah sinagoge, tempat beribadah orang Yahudi.
Namun, kenyamanan Yahudi tanah air mulai terusik saat Jepang datang. Aliansi Jepang dengan Jerman di bawah Adolf Hitler membawa dampak besar bagi perlakuan Jepang yang menimbulkan antisemitisme terhadap komunitas Yahudi Indonesia yaitu Yahudi Ashkenazi, Sephardic, serta Mizrahi.
Kamp-kamp internir dibangun guna menahan tahanan perang Jepang termasuk Yahudi di Indonesia. Pendirian negara Israel pada 1948 dan konflik dengan Palestina, membawa pula dampak terhadap komunitas Yahudi di tanah air.
Kebiajakan luar negeri pemerintah Indonesia sejak kemerdekaan yang tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel, tak pelak berdampak pada penurunan komunita Yahudi di sini.
Gejolak pascakemerdekaan membuat sebagian Yahudi berdarah Belanda harus hengkang ke negeri mereka, Australia dan Amerika Serikat. Sebagian dari mereka ada yang kemudian berpindah ke Israel, menurut situs tersebut.
Sebagai sebuah komunitas agama, Yahudi tetap bisa menjalankan peribadatan mereka. Komunitas pemeluk Yudaisme di Sulawesi Utara, misalnya, tetap dapat beribadah di sinagoge. Di Indonesia, satu-satunya rumah ibadah Yudaisme berada di Tondano, Minahasa. Setiap shabbat, pemeluk Yudaisme dari Manado pergi ke Tondano untuk menjalankan ajaran mereka.
Konstitusi Indonesia dalam pasal 29 UUD 1945 memberi kebebasan kepada warga untuk beragama. Meski Indonesia hanya mengakui secara resmi enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu) namun keyakinan di luar yang enam tetap bisa berjalan.
Bunyi dari Undang-Undang ersebut adalah Pasal 29 Ayat 1 berbunyi: "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa."
Pasal 29 Ayat 2 berbunyi: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu."
Serangan brutal Israel ke Gaza dalam dua tahun terakhir yang menewaskan lebih dari 60 ribu rakyat tak berdosa, jelas berpengaruh terhadap hubungan Yahudi dan masyarakat Indonesia.
Mungkin itu pula yang membuat organisasi Yahudi di Israel mengajak komunitas Yahudi Tondano pindah. Namun Rabbi Yaakov yang menjadi pimpinan di Indonesia belum mau mengiyakan.
"Kalau saya sempat ditawari dari dulu tapi dari awal mengatakan bahwa karena masih ada hal penting yang harus saya lakukan yaitu mengurusi Synagogue dan Komunitas Yahudi Indonesia maka belum bisa melakukannya saat ini," kata Yaakov kepada CNN Indonesia.
(imf/bac)