Jakarta, CNN Indonesia --
Keinginan Israel untuk mencaplok seluruh wilayah di Palestina tak pernah surut.
Terbaru, lewat parlemen, negara zionis ini menyetujui tahap awal rancangan undang-undang (RUU) yang akan menerapkan kedaulatan Israel atas wilayah Tepi Barat yang diduduki.
Bila lolos, maka langkah ini dianggap setara dengan aneksasi wilayah Palestina dan memicu kecaman luas dari komunitas internasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melansir Al Jazeera, 23 Oktober, RUU tersebut disetujui dengan suara tipis 25-24 di Knesset, parlemen Israel yang beranggotakan 120 orang. Jika disahkan dalam empat tahap pembacaan, kebijakan ini akan mengakhiri prospek solusi dua negara sebagaimana diamanatkan oleh resolusi PBB. Namun sejumlah negara barat bereaksi atas perilaku agresor Israel ini.
Presiden Prancis Emmanuel Macron misalnya, memperingatkan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu setiap rencana dan usaha Israel mencaplok Tepi Barat Palestina akan memicu reaksi dari Eropa.
Pernyataan itu disampaikan saat Presiden Palestina, Mahmud Abbas, berkunjung ke Paris pada Selasa (11/11), satu bulan setelah gencatan senjata rapuh antara Hamas dan Israel.
Macron bahkan menilai setiap upaya Israel menganeksasi Tepi Barat merupakan tindakan keluar batas yang akan memicu konsekuensi nyata. Ia memperingatkan agar Israel tidak melanjutkan rencana aneksasi di Tepi Barat, menyusul meningkatnya kekerasan di wilayah tersebut.
"Rencana aneksasi, baik sebagian maupun seluruhnya secara hukum maupun de facto merupakan garis merah yang akan kami tanggapi dengan tegas bersama para mitra Eropa kami," ujar Macron dalam konferensi pers bersama Abbas.
Tepi Barat dipenuhi pemukim ilegal
Sejak lama pemerintah Israel membiarkan para penghuni Yahudi illegal datang dan menetap di sana.
Al Jazeera menuliskan, sejak Israel melancarkan kampanye pengeboman brutal di Gaza pada 7 Oktober menyusul serangan mematikan Hamas, serangan pemukim terhadap warga Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang diduduki telah meningkat lebih dari dua kali lipat dari rata-rata tiga menjadi delapan insiden sehari, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Lonjakan serangan pemukim telah memaksa ratusan warga Palestina meninggalkan rumah mereka dalam tiga minggu terakhir di tengah pemboman Israel di Gaza yang telah menewaskan lebih dari 9.500 orang.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Pemukim adalah warga negara Israel yang tinggal di tanah pribadi Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang diduduki. Sebagian besar permukiman dibangun, baik seluruhnya maupun sebagian, di atas tanah pribadi Palestina.
Lebih dari 700.000 pemukim, 10 persen dari hampir 7 juta penduduk Israel, sekarang tinggal di 150 permukiman dan 128 pos terdepan yang tersebar di Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang diduduki.
Permukiman diizinkan oleh pemerintah Israel, sementara pos terdepan dibangun tanpa izin pemerintah. Pos terdepan dapat berupa gubuk kecil yang dihuni beberapa orang hingga komunitas yang berpenduduk hingga 400 orang.
Beberapa pemukim pindah ke wilayah pendudukan karena alasan agama, sementara yang lain tertarik oleh biaya hidup yang relatif lebih rendah dan insentif keuangan yang ditawarkan pemerintah. Sepertiga dari seluruh pemukim adalah penganut Yahudi Ultraortodoks.
Agresi di Gaza digunakan sebagai dalih untuk memperkuat kebijakan perampasan tanah di Tepi Barat atas nama "keamanan dan perlindungan."
Pada 2024 saja, Israel mengajukan rencana untuk 28.872 unit permukiman baru dan menyita 24.000 rumah di tanah Palestina-setengah dari seluruh tanah yang disita sejak penandatanganan Perjanjian Oslo (1993). Sementara pada 2025, jumlahnya telah melampaui 21.000 unit hanya dalam beberapa bulan.
Permukiman legal harus dibangun di atas tanah negara, memiliki izin mendirikan bangunan dari pemerintah, dan didirikan berdasarkan resolusi pemerintah.
Situs israelpolicyforum.org menulis, dengan mengizinkan dan mendorong pembentukan komunitas Yahudi di Tepi Barat, wilayah sengketa yang tidak berada di bawah kedaulatan Israel, prioritas awal pemerintah Israel adalah keamanan. Dengan menempatkan warga sipil Israel di wilayah-wilayah tertentu untuk memperkuat kendali Israel, Israel berusaha memastikan bahwa masa depan politik wilayah tersebut akan sejalan dengan kebutuhan keamanan yang dirasakan negara tersebut.
Populasi pemukim sipil juga dapat bertindak sebagai garis pertahanan pertama melawan invasi. Dengan pendekatan ini, Israel menetapkan wilayah-wilayah strategis tertentu di Tepi Barat untuk pemukiman Yahudi, sementara pada awalnya melarang pembentukan komunitas sipil di wilayah-wilayah yang lebih padat penduduknya.
Seiring waktu, ideologi Zionis Religius Mesianik berkembang sebagai pendorong utama gerakan permukiman, berdasarkan gagasan tentang keharusan religius bagi orang Yahudi untuk menetap di seluruh Tanah Israel.
Permukiman yang didirikan sebagai bagian dari gerakan keagamaan ini seringkali ditempatkan di wilayah dengan populasi Palestina yang besar untuk mengamankan dominasi Yahudi atas wilayah tersebut, mencegah berdirinya negara Palestina, dan mengamankan seluruh Tepi Barat untuk Israel.