Namun di tengah minyak bumi di perut Venezuela, negara ini juga menghadapi persoalan kemiskinan warganya dalam beberapa tahun terakhir. Laman Centre on Foreign Relations menuliskan, Venezuela memiliki cadangan minyak terbesar di dunia, merupakan studi kasus tentang bahaya menjadi negara petro.
Sejak ditemukan di negara itu pada tahun 1920-an, minyak telah membawa Venezuela pada perjalanan naik turun yang menggembirakan namun berbahaya, yang menawarkan pelajaran bagi negara-negara kaya sumber daya lainnya. Puluhan tahun tata pemerintahan yang buruk telah mendorong negara yang dulunya merupakan salah satu negara paling makmur di Amerika Latin ini menuju kehancuran ekonomi dan politik.
Misalnya, dikutip dari situs Council on Foreign Relatioan (cfr.org), pada tahun 1973, embargo OPEC selama lima bulan terhadap negara-negara pendukung Israel dalam Perang Yom Kippur melipatgandakan harga minyak dan menjadikan Venezuela negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di Amerika Latin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama dua tahun, keuntungan tak terduga ini menambah US$10 miliar ke kas negara, membuka jalan bagi korupsi dan salah urus yang merajalela. Para analis memperkirakan bahwa sebanyak $100 miliar telah digelapkan antara tahun 1972 dan 1997 saja.
Namun masa emas booming minyak itu perlahan surut. Venezuela perlahan mengalami keruntuhan ekonomi. Produksi minyak menyusut secara signifikan dan hiperinflasi yang merajalela menyebabkan kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok, seperti makanan dan obat-obatan.
Sementara itu, salah urus pemerintah dan sanksi AS telah menyebabkan penurunan drastis dalam produksi minyak dan kurangnya investasi yang parah di sektor tersebut.
Meskipun Washington melonggarkan beberapa sanksi terhadap sektor minyak dan gas Venezuela pada tahun 2023, yang menandakan potensi détente, kegagalan Caracas untuk memenuhi syarat-syarat pemilihan yang adil mendorong pemerintah AS untuk memberlakukan kembali sanksi pada tahun 2024
Kutukan sumber daya alam juga berdampak pada tata kelola pemerintahan karena negara-negara petro lebih bergantung pada pendapatan ekspor dan lebih sedikit pada pajak.
"Sebagian besar negara-negara petro menjadi bergantung pada minyak bumi saat atau setelah mereka membangun demokrasi, lembaga-lembaga negara, layanan sipil dan sektor swasta yang independen, serta supremasi hukum," kata Terry Lynn Karl, seorang profesor ilmu politik di Universitas Stanford dan penulis The Paradox of Plenty.
Sementara para pemimpin di sana dapat menggunakan kekayaan sumber daya alam negara untuk menekan atau mengkooptasi oposisi politik.
Krisis ekonomi yang dihadapi warga mulai memuncak pada 2015 silam. Inflasi gila-gilaan membuat warga tak mampu membeli makanan. Banyak toko tutup karena pasokan berkuirang. Puncaknya warga Venezuela kehilangan pekerjaan hingga pergi ke luar negeri. Data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan lebih dari tujuh juta warga Venezuela telah meninggalkan tanah air mereka sejak 2015 di tengah krisis ekonomi dan politik.
Kemiskinan di Venezuela pada 2025 menurut laporan Human Rights Watch menyebut Lebih dari 20 juta warga Venezuela, dari total populasi 28,8 juta, hidup dalam kemiskinan multidimensional akibat ketidakstabilan ekonomi dan buruknya layanan publik, setelah kehilangan mata pencaharian dan penghidupan mereka secara permanen, dan 14,2 juta menghadapi kebutuhan kemanusiaan yang parah.
Organisasi kemanusiaan Venezuela, Convite, memperkirakan bahwa setidaknya beberapa obat-obatan penting tidak tersedia di 28,4 persen apotek di negara tersebut, dan beberapa obat yang tersedia pun tidak terjangkau bagi banyak orang.
Warga Venezuela menghadapi kelaparan, yang memengaruhi 5,1 juta orang. Pelapor Khusus PBB tentang hak atas pangan mengidentifikasi sanksi ekonomi dan instrumentalisasi politik program pangan negara sebagai faktor yang menghambat terwujudnya hak atas pangan.
Krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung memaksa banyak orang untuk mengadopsi strategi bertahan hidup ekstrem, seperti menghemat anggaran, meningkatkan beban kerja, melewatkan makan, menukar barang dengan seks, atau melarikan diri dari negara tersebut.
Hingga kini, krisis ekonomi di Venezuela belum mereda dengan tingkat inflasi mencapai 200 persen. Venezuela, negara kaya minyak itu kini terseok-seok menghadapi krisis multidemensi akibat salah urus sejak lama.
(imf/bac)