Mereka Bukan Orang Gila

CNN Indonesia
Kamis, 29 Jun 2017 09:25 WIB
Memahami orang-orang dengan gangguan jiwa. Banyak mereka yang dianggap gila lalu dipasung.
Sejumlah pasien penderita gangguan jiwa di Yayasan Galuh, Bekasi, Jawa Barat (Rachman Haryanto/detikcom)
Bandung, CNN Indonesia -- “Selamat malam untuk masalah yang tidak pernah selesai, dan selamat datang untuk permasalahan yang baru dimulai.” Kalimat klise nan provokatif tersebut jadi kalimat pembuka kertas kecil yang dibagikan ke pengunjung pada Berakal//Berkuasa—sebuah mini talkshow beberapa waktu lalu di Rumah Gerilya, Jalan Raden Patah, Bandung.

Malam itu, Rumah Gerilya penuh sesak. Sesekali terdengar gemuruh tepuk tangan apresiasi kepada mereka—ODS (orang dengan skizofrenia) akan cerita mereka melewati masa sulitnya sebagai khalayak yang sering dilupakan di tengah masyarakat.

“Yah, singkatnya mah saya sakit (skizofrenia) karena pingin sesuatu tapi enggak tercapai. Saya menyangka diri saya banyak sekali. Dari situ, saya diam di rumah. Merasa, melihat keluarga saya bukan keluarga saya. Saya sering kabur dari rumah. Yang saya rasain itu, ya, asli. Tapi orang enggak merasa begitu dan menganggap saya aneh. Awalnya (saya) ngga tau. Pernah coba bunuh diri beberapa kali. Minum obat warung, minum alkohol, sama coba potong urat nadi... Tapi da sieun maot (takut meninggal). He-he-he. Berdoa weh pingin sembuh.. Nerima keadaan seperti ini da gimana lagi. Beberapa tahun, ada bisikan, banyak pikiran negatif.. sampai akhirnya ketemu Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia ini. Proses sedikit demi sedikit, buat curhat misalnya,” tutur Shamyl lengkap dengan aksen Sundanya. Nadanya memang jenaka, namun menyiratkan ketabahan serta harapan.

Skizofrenia adalah gangguan kesehatan jiwa kronis & berat yang memengaruhi bagaimana seseorang berpikir, berperasaan, dan bertindak; seperti menyebabkan delusi (waham), halusinasi, gangguan pikiran, ataupun masalah dengan memori jangka pendek (National Institute of Mental Health).

Gangguan ini membuat penderita kesulitan membedakan kenyataan atau realitas dengan isi pikirannya sendiri. Berangkat dari gagasan bahwa remaja yang bisa memberi dampak, Atma Wimala Fest ditetaskan menjadi serangkaian acara untuk menyadarkan masyarakat tentang keberadaan mereka—Orang Dengan Skizofrenia (ODS), khalayak yang sering kali terlupakan karena masalahnya yang sulit dilihat. Dipaksa menjadi normal tanpa dimengerti sama sekali.

Atma Wimala Fest adalah festival kesehatan jiwa pertama di Indonesia—dipimpin oleh Shafira Fawzia Ahmad, seorang alumni Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Salah satu rangkaian di dalamnya adalah Berakal//Berkuasa: Ketika ODS Bercerita. Sebuah mini talkshow. Sebuah refleksi dan presentasi yang memperlihatkan ODS-ODS yang berhasil melewati masa kritisnya, masa pemulihannya, dan tetap berdaya untuk kemanusiaan (hidup). Kelima ODS yang berbicara pun masih dalam usia produktif.

Acara ini adalah proyek penjajakan dari Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI). Lewat acara ini, KPSI mengampanyekan kehadiran nyata dari ODS di tengah masyarakat. KPSI sendiri merupakan komunitas yang dibuat atas inisiatif anggota masyarakat untuk mendukung ODS-ODS yang mereka anggap belum belum ‘dimanusiakan’ oleh masyarakat.

Menyasar anak muda atau remaja dianggap efektif untuk memberi pengaruh akan kesadaran tentang ODS. “Tapi nggak menutup kemungkinan juga bahwa dewasa ini penderita gangguan kesehatan mental kebanyakan adalah anak muda,” lanjut Shafira.

Menurut laporan World Health Organization (WHO) tahun 2017, lebih dari 300 juta penduduk di dunia mengalami depresi tak teratasi. Di Indonesia sendiri, dari data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, serta Data Rutin dari Pusdatin dengan waktu yang disesuaikan, prevalensi gangguan mental yang ditunjukkan gejala-gejala depresi dan kecemasan sebesar 6 persen atau sekitar 14 juta penduduk untuk usia 15 tahun ke atas.

Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, skizofrenia, adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang. Laporan Human Right Watch tahun 2016 menyatakan bahwa lebih dari 57.000 ODS di Indonesia pernah mengalami pemasungan setidaknya sekali. Dan 18.800 penderita atau orang yang dianggap mengalami gangguan kejiwaan masih dipasung.

Salah satu ODS yang membagikan pengalamannya saat dipasung adalah Nita. Umurnya 25 tahun.

Gesturnya agak kikuk saat memegang mikrofon. Meski begitu,matanya berbinar saat mulai bercerita. Kisahnya diawali dengan kekagumannya pada Presiden RI silam, Susilo Bambang Yudhoyono. Hobinya membaca beberapa buku politik membuatnya bermimpi menjadi pemimpin yang tahu keadaan rakyatnya—khususnya para ODS seperti dirinya.

Melanjutkan kisahnya, dua kali kuliahnya terhambat akibat penyakitnya ini. Skizofrenia yang diidapnya diketahui saat ia menyiksa ibunya, tetapi keesokan harinya setelah meminta maaf ia akan berubah drastis menjadi anak yang baik lagi. Tetapi tingkahnya berpola. Diulang-ulang hingga keluarganya jadi resah.

Penanganan medis  dijalani Nita, berpindah rawat jalan dari Klinik Grahita Husada, Bandung dan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, Cisarua, Bandung. Namun tidak membuat keluarganya atau Nita sendiri merasa puas. Akhirnya Nita dibawa ke sebuah pesantren di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Agama yang dianggap sebagai ‘obat mujarab’ mengobati ‘penyakit’ (yang katanya berasal dari roh jahat) malah jadi delusi belaka. Tiga hari tiga malam dirinya dipasung. Dipaksa masuk ke dalam ruangan berjeruji di pesantren dengan kaki dan tangan terikat. Makanannya dilemparkan begitu saja. Obat bekalnya dari psikiater tidak diberika. Selama tiga hari tiga malam itu pula Nita tak bisa tidur karena antidepresannya tak diberikan.

Nita bahkan tak diperbolehkan ke jamban. Setelah diperbolehkan bertemu dengan orang tuanya oleh pihak pesantren, Nita langsung menghampiri ayahnya dan menceritakan pengalamannya bahwa ia dipasung. Ayahnya geram dan langsung membawanya pulang. “Kami bukan gila, tapi sakit. Harusnya diobati dengan ‘logis’, dengan tanganan medis,” ujarnya tegas. Diskriminasi pada ODS begitu sudah keterlaluan, bahkan untuk lembaga seperti pesantren.

Stigma “haram” untuk pergi berobat ke psikolog terpatri begitu jelas sampai-sampai gejala-gejala psikologis dari orang di sekitar malah dianggap remeh. Menurut dr. Benny Ardjil, selaku dewan penasihat KPSI Bandung, skizofrenia sudah dipandang sebelah mata, diolok-olok, bahkan penderitanya dianggap sebelah mata. “Bentuk ekspresi ODS berbeda dengan orang kebanyakan. ODS cenderung menarik diri, seperti berada dalam rumah kaca. Menarik diri karena pikiran mereka enggak sama dengan realitas di sekitarnya,” jelasnya dengan nada tenang.

Ada sebab ada akibat. Mereka, ODS yang menarik diri, ini adalah bukti bahwa masyarakat tak mau ambil pusing soal penyakit mereka. “Aku dibully sama satu sekolah, dianggapnya aku aneh. Aku pernah dipukulin dan ditelanjangin karena aku dianggap aneh,” cerita ODS lainnya, David.

Ia adalah penderita bipolar—gangguan perasaan. Sama seperti ideologi atau iman, jiwa yang tak terlihat ternyata lebih riskan kalau abai. Sayangnya, orang lebih percaya akan sesuatu yang dapat dilihat. Lebih enak dinalar kalau dapat dilihat mata.

“Gue ngeliat orang sakit perut, mengeluh pusing berkali-kali, ya gue maklum. Tapi kenapa mereka malah ngerendahin waktu melihat orang menangis tanpa sebab yang jelas?” kata Reza Aditya, salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, yang masih sadar tentang kesehatan jiwa.

Shafira juga mengakui bahwa beberapa orang juga sempat meremehkan program ini. “Orang juga bilang, ah, untuk apa buat acara seperti ini? Karena itu saya pilih Rumah Gerilya yang minimalis,” katanya. Namun, di luar dugaan Rumah Gerilya penuh sesak mahasiswa dari berbagai kalangan. Berpuluh pasang mata takjub sekaligus mengapresiasi lima ODS yang berani mengemukakan refleksinya melewati masa beratnya di panggung kecil.

Pluralisme yang menghujani Indonesia nan multikultur punya penanganan yang berbeda-beda untuk para pengidap gangguan jiwa. Paradigma akan stigma pada diri ODS atau ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) masih lengket.

Secara kasar mereka biasa disebut “orang gila”, “sinting”, dan sebagainya. Hal inilah yang mengakibatkan rasa minder dari yang bersangkutan. Pun saat ini, dilansir dari Tirto.id, bahwa Indonesia baru memiliki sekitar 451 psikolog klinis (0,15 per 100.000 penduduk), 773 psikiater (0,32 per 100.000 orang) dan perawat jiwa 6.500 (2 orang per 100.000). Padahal WHO menetapkan standar jumlah tenaga psikolog dan psikiater dengan jumlah penduduk 1 banding 30 ribu orang.

Angka yang tergolong kecil tersebut juga harus diupayakan dengan sinergi dari masyarakat, khususnya generasi muda yang bisa menyadari akan isu ini sekaligus bersuara dan bertindak. ODS-ODS yang hanya sedikit potongan kecil masyarakat juga adalah orang-orang yang ingin hidup baik, sama seperti orang kebanyakan.

Mereka memiliki hak asasi yang sama, ingin diakui, diperlakukan sebagai manusia. “Jangan pernah anggap remeh! Jangan anggap kami gila! Karena kami penuh karya!” kalimat itu diucapkan David berulang-ulang dengan lantang setelah ia menunjukkan prestasi-prestasinya dalam bidang seni, seperti mendongeng, menggambar dan melukis, membuat cerita pendek, serta membuat 350 puisi dalam waktu satu jam.

Acara pun diakhiri dengan penampilan Yam Nirwan, salah satu ODS juga yang menceritakan pengalamannya selama 17 tahun mengidap skizofrenia. Lewat lagu Surat Cinta Untuk Starla milik Virgoun juga dia bercerita dia diselamatkan dari kehidupan dan menemukan cinta sejatinya.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER