Saat Penghuni Rusunawa Jatinegara Rindu Tempat Tinggal Lama

CNN Indonesia
Selasa, 17 Jan 2017 08:51 WIB
Meskipun rumah di Kampung Pulo bukan bangunan mewah, namun warga gusuran menganggapnya tempat hidup mencari nafkah. Lahir dan mati, mereka memilih di sana.
Seorang bocah berdiri di rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) Rawa Bebek, Cakung, Jakarta. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Gerimis masih mengguyur kawasan Jatinegara Barat sore itu. Anak-anak kecil usia 8-10 tahun berlarian menembus gerimis yang kian menit semakin lebat. Raut wajah mereka tampak sumringah mandi di bawah derasnya hujan. 

Pekik melengking para ibu terdengar dari arah rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) Jatinegara. Mereka memanggil anak-anaknya agar segera berteduh menghindari hujan. Seorang perempuan paruh baya meneriaki anaknya yang diketahui bernama Sofyan, dari jendela rusun di lantai tiga.

"Sofyan, balik lu! Enggak boleh lu hujan-hujanan. Kalo lu sakit emak juga nyang repot," teriaknya dengan aksen Betawi yang begitu kental. 

Jam masih menunjukan pukul 16.45 WIB. Ibu-ibu bergegas menyuruh anaknya kembali ke hunian mereka masing-masing. Semakin larut mereka pulang, maka semakin berdesakan pula mereka menaiki lift menuju rumah masing-masing. 

Rusun ini, jika dilihat dari luar tampak mewah dengan sapuan cat abu-abu yang membuatnya terlihat elegan. Apalagi dibubuhi berbagai pohon rindang yang menghiasi area depan rusun. Tak heran jika penampilan di luar rusun tampak seperti apartemen mewah di kawasan Jakarta.

Warga setempat memanfaatkan halaman kiri rusun untuk berjualan sembako dan jajanan. Mereka menganggap aktivitas dagang di area itu sebagai sumber mata pencaharian utama demi menyambung hidup di rusun tersebut. 

"Kalau enggak jualan ya enggak bisa makan, dan enggak bisa bayar sewa nanti," kata Lilik Nadifah.

Perempuan 42 tahun ini tinggal di Rusunawa Jatinegara selama lebih dari setahun, sejak rumahnya di Kampung Pulo digusur secara paksa oleh Pemprov DKI. Lilik bersama suami dan kedua anaknya meninggalkan kehidupan lama di Kampung Pulo yang menurutnya jauh lebih sejahtera. 

Tinggal di rusun, kata Lilik, tak ada yang gratis. Iuran keamanan, air, hingga listrik ditanggung mereka sendiri. Padahal menurutnya, saat pertama pindah ke rusun, dia dijanjikan akan mendapat subsidi pemerintah. 

"Subsidi apanya, makan saja kami susah," kata Lilik. 

Selain Lilik, Suhendi juga menyatakan beban hidupnya bertambah ketika tinggal di rusun tersebut. Hidup di rusun, menurutnya, tak senyaman tinggal di rumah petak bantaran kali. Kini, dua anaknya harus rela putus sekolah. Berbekal ijazah SMP, anaknya terpaksa bekerja sebagai pelayan kios di Pasar Jatinegara. 

Suhendi mengatakan, sekolah bagi kedua anaknya hanya cerita lama. Sejak tahun lalu, Suhendi tak ingin mengungkit kembali hal itu. 

"Pokoknya dia sudah enggak bisa sekolah, tinggal di sini harus bayar Rp500 ribu, belum makan, banyaklah, saya enggak sanggup biayain sekolah," kata dia.

Insiden lift yang sering mati, air yang tidak higienis, serta sulitnya bersosialisasi dengan warga rusun lainnya, bagi Lilik dan Suhendi, adalah hal paling menyiksa mereka. 

"Apalagi kalau sudah mati keenam liftnya, enggak kuat saya," kata Suhendi. 
Semenjak dipimpin oleh Gubernur Joko Widodo, Pemprov DKI Jakarta kembali melirik konsep hunian vertikal sebagai solusi relokasi.Semenjak dipimpin Gubernur Joko Widodo, Pemprov DKI Jakarta kembali melirik konsep hunian vertikal sebagai solusi relokasi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Meskipun rumah di Kampung Pulo bukan bangunan mewah seperti apartemen, namun bagi Lilik dan Suhendi, rumah itu adalah tempat hidup untuk mencari nafkah. Lahir dan mati, mereka memilih di sana.

"Memang air kali, banyak nyamuk, tapi kami tidak dicekik biaya sewa dan ketakutan, bangunan tinggi ini bisa saja tiba-tiba roboh," kata Suhendi. 

Saat debat kandidat Pilkada DKI Jakarta pekan lalu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menyatakan kebijakan untuk merelokasi masyarakat yang tinggal di bantaran kali ke rumah susun, bertujuan baik. Selain untuk mengurangi kemiskinan, relokasi itu juga untuk memuluskan program normalisasi sungai yang tengah digalakkan Pemprov DKI Jakarta.

"Justru tindakan yang lebih tidak manusiawi adalah membiarkan warga tetap tinggal di bantaran kali dan terus kebanjiran," kata Ahok saat debat kandidat.

Dia mengatakan, kehidupan di rusun lebih manusiawi dibandingkan tinggal di pinggir kali. Sebelum melakukan relokasi, Ahok menyatakan, kondisi rusun layak huni, berukuran 36 meter persegi dengan dua kamar. Subsidi berupa pendidikan, kesehatan, dan transportasi juga ditanggung pemerintah.

"Orang-orang yang tinggal di bantaran kali, bahkan sampai puluhan tahun itu salah, berbahaya, bisa-bisa tenggelam. Makanya harus dipindahkan ke tempat yang lebih layak, yaitu rusun," ujar Ahok.

Pasangan nomor urut dua ini mengatakan, kondisi manusiawi di rumah susun dilengkapi berbagai fasilitas, seperti tempat ibadah dan arena bermain anak untuk tumbuh dengan baik.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER