Jakarta, CNN Indonesia -- Suasana Jakarta pagi tadi sedikit berbeda. Ruas-ruas jalanan utama di jantung kota terlihat lengang nyaris seperti akhir pekan.
Keriuhan aktivitas perkantoran yang biasa terjadi di hari kerja kini tampak lebih lengang, termasuk sejumlah pertokoan belum menunjukkan geliatnya.
Ritme kota yang terasa lamban rupanya menyimpan nuansa bersahaja ketika CNNIndonesia.com menembus lebih dalam ke balik gang kompleks perumahan di Kelurahan Glodok, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat.
Di sana sejumlah aparat kepolisian tampak berjaga. Beberapa orang berpakaian putih sibuk menyiapkan kotak suara. Mereka adalah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Tempat pemungutan suara (TPS) 9 mereka dirikan persis di depan Vihara Dewi Sila Amerta di Jalan Kemurnian 5, RT 2 RW 4.
Sekitar pukul 07.00 WIB, warga mulai berdatangan ke TPS. Warga tampak antusias menyalurkan hak pilihnya. Mereka rela menunggu di luar TPS yang saat itu belum rampung dibenahi penitia. Tepat pukul 07.30 WIB, warga baru bisa bergantian mencoblos di bilik suara.
Benny Susanto, warga RT 02 yang sudah 50 tahun di Glodok, merupakan salah satu warga yang datang ke TPS sejak pagi. Dia tak mau suaranya raib. Satu suara menurutnya sangat penting menentukan nasib ibu kota.
Benny hanya ingin kondisi Jakarta kembali kondusif. Dia berharap usai Pilkada kali ini Jakarta kembali aman dan terbebas dari intrik konstelasi politik.
Dia mengatakan, warga cenderung tak mau ambil pusing dengan isu yang akhir-akhir ini berkembang. "Toleransi baik, terjaga. Di sini rukun-rukun saja," kata Benny.
Toleransi yang disinggung oleh Benny nampak pada keanggotaan KPPS yang terdiri dari beragam agama maupun Etnis. Salah satu anggota KPPS, Sumarni, menyebut keanggotaan KPPS di TPS 9 ada yang beragama Islam, Nasrani dan Buddha, juga berasal dari etnis Jawa maupun Tionghoa.
Situasi pencoblosan yang damai juga dirasakan Dodi Gandasuwitno, warga RT 4 RW 4. Pria etnis Jawa itu menuturkan, keragaman masyarakat Glodok sudah nampak dengan keberadaaan masjid, gereja, dan vihara yang berdampingan satu sama lain tanpa menimbulkan sentimen agama maupun sentimen politik.
"Di sinilah keragaman masyarakat Glodok saya anggap luar biasa," ujar Dodi.
Meski enggan menyebutkan siapa pasangan calon yang dia pilih, Dodi mengatakan pilihannya sama sekali tidak berdasar pada agama maupun etnis. Dia mengaku mantap memilih salah satu paslon karena pertimbangan sudah berpengalaman dalam tugas pemerintahan.
"Dia kredibel, bertanggungjawab, enggak janji-janji belaka," kata Dodi.
 Situasi di TPS 10 Kelurahan Glodok. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari) |
Warga Kelurahan Glodok mayoritas merupakan keturunan Tionghoa. Sejak era penjajahan Belanda, Glodok jadi tempat tinggal para pemukim Tionghoa oleh VOC dengan alasan untuk mempermudah pengawasan.
Di TPS 10, CNNIndonesia.com mengamati mayoritas warga yang menggunakan haknya adalah keturunan etnis Tionghoa, salah satunya Tjauw Yung Sheng. Ia mengaku memilih paslon nomor dua, Ahok-Djarot, karena merasa cocok dengan kinerjanya selama ini.
"Enggak ada hubungannya dengan etnis, agama, (karena) cocok saja," katanya usai pencoblosan.
Tjauw Yung Sheng mengatakan warga hidup dengan rukun dan situasi jelang Pilkada berlangsung aman. Salah satu anggota KPPS TPS 10, Obi Pung Ting juga menuturkan hal serupa.
"(Di sini) Tenang-tenang aja. Enggak berpengaruh," kata Obi.
Walau situasi nampak aman, Ketua RT 6 Kelurahan Glodok, Rahmatun tetap merasa cemas dengan kemungkinan terjadinya kecurangan dalam Pilkada. Ia sendiri cemas dengan isu pengerahan massa di luar Glodok, politik uang, dan serangan fajar.
"Saya umat Islam, (saya) takut ada kecurangan. (Saya) berhak mengawal," kata Rahmatun.
Menurut Rahmatun, di masa Pilkada saat ini warga seakan dibuat hidup terkotak-kotak. Terkait kasus penistaan agama yang menjerat paslon nomor dua, kata dia, hal itu tidak mempengaruhi kerukunan warga Glodok.
"Kita enggak terima satu orang saja. Enggak nyeret yang lain. Anjuran imam besar, enggak nyalahin yang lain-lain," kata Rahmatun.
Puji Astuti, warga pemilih di TPS 023 Jembatan Lima, mengatakan situasi politik yang kian memanas belakangan ini turut mempengaruhi dinamika kehidupan warga Kelurahan Jembatan Lima, meski hanya dalam skala kecil. Pasalnya, ia pernah mendapati ayahnya bertengkar dengan tetangga karena beda pendapat.
Meski demikian, kata Puji, perbedaan pendapat tidak sampai membuat warga terpecah atau menimbulkan kerusuhan.
Ia sendiri mengaku mendukung paslon nomor satu. Menurutnya, paslon ini memiliki kemampuan untuk menenangkan rakyat. Selain itu, ia juga kagum dengan sosok Agus Harimurti Yudhoyono yang punya wibawa.
"Nomor satu. Buat saya nomor satu bisa menenangkan rakyat. Enggak kayak sekarang, politik panas," kata Puji.
Tak jauh dari sana, TPS 32 nampak lebih lengang. Adi S, warga RT 10 RW 8 yang ditemui usai mencoblos mengatakan Pilkada tahun ini merupakan Pilkada terpanas sepanjang perjalanan Pilkada DKI Jakarta.
"Karena ada tiga pembesar: Megawati, Prabowo sama SBY," katanya.
Kendati 'panas', ia memastikan warga Jembatan Lima hidup rukun dan toleran. Warga tidak begitu terpengaruh oleh panasnya situasi politik saat ini.
(gil)