“Aduh... Saya cerita soal ini jadi gimana gitu, teringat lagi. Sedih banget,” ucap Abdoel Moedjib lirih. Suara pria 52 tahun itu bergetar menahan tangis, tak mampu membendung perasaannya.
Gejolak emosi Abdoel ini hadir dipicu kenangan masa-masa ketika harus berpisah dengan rekan kerjanya di Bank Danamon akibat adopsi teknologi. Tepatnya di periode 2015-an.
Kala itu, perubahan strategi bisnis perusahaan yang mengintegrasikan teknologi ke dalam operasional membuat jumlah karyawan turun drastis, dari semula 27.223 orang kemudian perlahan merosot. Pada 2020, tersisa 8.926 orang atau berkurang hampir 60 persen.
Jika digabungkan dengan data tenaga kerja anak usaha, berdasarkan ikhtisar laporan keuangan Bank Danamon, tercatat penurunan karyawan nyaris 50 persen atau dari 50.226 orang pada 2015 menjadi 25.350 orang pada 2020.
Pengurangan itu juga terjadi di divisi yang pernah ia pimpin, yaitu penyaluran pinjaman untuk UMKM atau micro-banking. Padahal, Abdoel bertutur, sektor itu di masa kejayaannya pada awal 2008-2010 sempat menyumbang laba bersih setidaknya Rp1 triliun satu tahun.
Tak terpikirkan oleh Abdoel kalau di kemudian hari ia harus mengucapkan kalimat perpisahan dengan mayoritas rekan kerjanya.
Abdoel menuturkan secara garis besar ada tiga lini pelayanan yang digantikan oleh automatisasi. Pertama, pelayanan seperti kasir/teller hingga layanan konsumen (customer service). Kedua, adalah pekerjaan di bidang operasional mulai dari akuntan atau pembukuan hingga analis.
Ketiga, SDM penagihan dan kliring juga berkurang karena mulai menggunakan sistem tele-collection dan pesan pengingat, sedangkan petugas kliring digantikan sistem real-time gross settlement (RTGS).
Abdoel yang juga menjabat sebagai Ketua Serikat Pekerja Bank Danamon masih mengingat usaha kerasnya agar rekan kerjanya tak tergusur automatisasi. Mulai dari orasi, berdialog, hingga dilaporkan ke polisi pernah ia hadapi.
Namun, pada akhirnya, Abdoel harus menelan pil pahit kehilangan banyak rekan kerja.
“Bahkan saya mengistilahkan sambil agak pilu, ini lah akhir perang kita melawan robotics, jadi yang kita melihat film Terminator sesungguhnya yang saya dapat saat itu, saya mengucap sampai bergulir air mata,” tutur pria yang sudah berkecimpung di dunia perbankan sejak awal 2000-an ini.
Abdoel tak memungkiri digitalisasi membuat transaksi perbankan jadi lebih efisien dan efektif. Namun ia menyayangkan dampak dahsyat yang harus ditanggung pekerja.
Menurut dia, manajemen memang menyediakan program re-skilling untuk karyawan yang masih ingin melanjutkan kariernya di bank tersebut. Tapi pada praktiknya, hanya sekitar 5 persen pekerja terdampak saja yang mendapat pekerjaan baru karena terbatasnya lowongan.
Selain itu, hanya sedikit pekerja yang mampu bertransisi dan menguasai kualifikasi skill di posisi baru.
Dari pengalamannya, Abdoel melihat dampak transformasi digitalisasi dan adopsi AI (Artificial Intelligence/Kecerdasan Buatan) paling berdampak pada pekerja berusia lanjut seperti dirinya.
“Tantangan pekerja Gen X macam saya itu mau diakui atau tidak, memang jauh lebih tertinggal dengan berbagai teknologi yang saat ini dihadapi. Dalam istilah kasarnya agak gaptek atau bahkan gaptek bener,” jelas dia.