Catatan Perjalanan | 02 Queen
of The
Hills

Kereta Barmer Kalka Express berjalan pelan meninggalkan Stasiun Jodhpur Junction, membuat badan saya terayun-ayun ringan. Di kejauhan, matahari pagi mengiringi langkah-langkah kecil kereta pada jalurnya.

Seusai melalap habis kota Biru Jodhpur, perjalanan 26 jam menuju Shimla di Provinsi Himachal Pradesh kini terbentang di hadapan saya. Dari Jodhpur saya menuju Kalka terlebih dahulu untuk kemudian disambung lagi dengan kereta dari Kalka ke Shimla.

Kereta yang saya tumpangi ini mirip kereta dari New Delhi menuju Jodhpur dengan semua gerbongnya berisi tempat tidur (sleeper). Sesuai tiket, saya mendapatkan tempat teratas dari tiga susunan tempat tidur. Cukup nyaman meski pandangan mata saat merebahkan badan berhadapan langsung dengan atap kereta.

Para penumpang biasanya tak langsung beranjak ke tempat tidur, tapi menyempatkan diri berkenalan satu sama lain di tempat duduk paling bawah. Sekadar menyapa mereka yang akan menemani 26 jam ke depan.

Salah satunya adalah saya, penumpang asing yang sering dikira warga negara Jepang atau Filipina. Saya mengenalkan diri pada Raghu dan istrinya, pasangan muda yang menggendong dua anaknya yang masih balita. Mereka hendak pulang ke kampung halaman di Punjab, sebuah kota di Negara Bagian India yang berbatasan dengan Pakistan.

Orang Punjab sendiri sedikit berbeda dari orang India, baik secara fisik maupun bahasa. Mayoritas berkulit putih dengan mata besar dan tajam, yang mungkin juga dipengaruhi oleh garis keturunan bangsawan Arya.

Saya dan Raghu terlibat percakapan panjang sampai berbagi makanan. Istri Raghu tak banyak bicara. Sembari mendengarkan percakapan kami, ia menepuk-nepuk balitanya yang rewel.

Di sela-sela perbincangan itu, Mahi, balita berusia dua tahun yang digendong Raghu, menatap saya tajam sambil merengek. Entah mengantuk atau bosan. Saya lalu mengulurkan kedua tangan untuk menggendongnya.

Siapa sangka tangisan kecil Mahi seketika berhenti ketika ia dalam gendongan saya. Ia justru menurut dan mau mendengarkan sapaan serta gurauan saya. Tak lama kemudian ia tertidur dan saya mengembalikannya pada Raghu.

Orang asing bertemu orang asing dan berujung keakraban, seperti sudah saling mengenal sebelum dilahirkan. Tak dapat dijelaskan secara logika, inilah salah satu babak dalam perjalanan “magis” ke India.

Udara dingin yang dibawa sore hari masuk hingga ke dalam gerbong kereta. Saya memandang ke luar jendela pada pemukiman warga hingga perkebunan mangga yang pohon-pohonnya meranggas. Kereta mulai melambat memasuki stasiun Dhirera, menjemput penumpang lainnya.

Saya bersama Raghu bergegas turun mencari kedai untuk membeli makan malam dan cemilan saat kereta berhenti beberapa menit. Raghu membantu saya menerjemahkan bahasa yang disampaikan penjual.

Kereta bergerak kembali menuju 24 stasiun pemberhentian lain. Lampu di dalam kereta mulai menyala, sementara di luar kegelapan telah memeluk langit erat-erat. Beberapa penumpang mulai membentangkan sprei dan membungkus tubuh dengan selimut, ditemani ayunan pelan gerbong kereta dan suara roda yang bergesekan dengan rel.

Kantuk saya datang usai menghabiskan chapatti dan kaali daal. Suara kehidupan para penumpang perlahan padam. Tangan saya otomatis menggapai jaket dan selimut. Saking dinginnya, perpaduan AC kereta dan suhu di luar membuat saya dengan cepat terlelap.

Saya terbangun pukul lima pagi saat beberapa penumpang bergegas turun di stasiun Chandigarh. Penumpang di depan, di sebelah, dan di bawah saya sudah tak ada lagi. Termasuk Raghu dan keluarganya. Ingatan saya seketika tertuju pada Mahi, bocah kecil yang begitu akrab seharian dan secepat itu menghilang.

Hidup memang soal datang dan pergi silih berganti.

Saya tiba di stasiun terakhir di Kalka pada siang hari dan langsung bergegas menuju loket penjualan tiket, mengejar kereta menuju Shimla.

Perjalanan menuju Shimla menghabiskan waktu kurang lebih enam jam menggunakan toy train. Ini tentu bukan kereta mainan sungguhan, tapi dinamai seperti ini karena ukuran lokomotif dan gerbongnya lebih kecil dibandingkan kereta umumnya. Jalur kereta api ‘mainan’ Kalka-Shimla sepanjang 96 kilometer ini termasuk salah satu situs warisan dunia UNESCO.

Saya memilih duduk di gerbong lima yang merupakan gerbong bagian belakang. Hanya ada saya sendiri di sana karena penumpang lain lebih memilih duduk di bagian depan. Tentu ketiadaan penumpang lain membuat suasana sedikit membosankan, tapi saya mendapat balasan bisa menikmati pemandangan secara khusuk dan memotret dari beragam sudut.

Perjalanan dimulai melewati deretan hijau pemandangan pegunungan Himalaya, untuk kemudian merambat di punggung bukit serta melintasi 103 terowongan.

Kereta berhenti di beberapa stasiun, seperti Solan, Salogra, Shogi, Summerhill dan berakhir di Shimla di ketinggian 2.200 meter. Karena keberangkatan kereta tak sesuai jadwal, kedatangan di Shimla pun meleset satu jam.

Sore itu Shimla menyambut saya dengan menyuguhkan ratusan rumah warna-warni yang berjejer tersusun rapi menempel di bukit-bukit di kaki pegunungan Himalaya. Tak heran ia dijuluki sebagai Queen of The Hills.

Jika mengintip lebih jauh pada rumah-rumah di perbukitan itu, terlihat sejumlah bangunan bergaya arsitektur Tudorbethan dan neo-Gothic yang berasal dari era kolonial, serta beberapa kuil dan gereja tua.

Gaya arsitektur ini membuat Shimla terasa berbeda dari kota-kota India lain yang memiliki sejarah lebih panjang. Dibandingkan dengan Jodphur, New Delhi, atau Mumbai, memang Shimla berusia lebih muda.

Ia baru benar-benar berdiri sebagai suatu kota pada abad ke-18 ketika Inggris mulai menaklukkan India. Saat itu prajurit-prajurit Inggris melirik Shimla untuk mendirikan vila-vila karena kesamaan iklim dengan Eropa. Angin dingin dari Himalaya membuatnya lebih sejuk ketimbang kawasan-kawasan India lain yang menawarkan terik sinar matahari.

Ibu kota negara bagian Himachal Pradesh itu terletak di ketinggian sekitar 2.200 meter di atas permukaan laut. Kawasan tersebut memiliki daerah perbukitan dan ditutupi oleh hutan cemara yang lebat.

Iklim dingin Shimla menjadikan kota itu tempat pelarian bagi wisatawan lokal maupun asing saat musim panas tiba. Namun, beberapa pengunjung, termasuk saya, memilih untuk mengunjungi Shimla saat memasuki musim dingin. Di masa-masa tersebut Shimla tak banyak dikunjungi wisatawan.

Udara segar pegunungan Himalaya membungkus tubuh saat saya baru saja turun dari kereta dan menapaki anak tangga mencari taksi yang akan mengantarkan saya ke hostel di kawasan The Mall yang merupakan pusat kota Shimla.

Setelah turun dari taksi, saya harus antre naik lift ke kawasan Cart Road. Memanggul dua tas ransel berdesakan dengan warga dalam satu lift.

Di Shimla sendiri mobil tak boleh melintas sehingga penduduknya berjalan kaki dari satu tempat tujuan ke tempat lain. Pemerintah lokal melarang penggunaan kendaraan untuk mencegah polusi. Bahkan, mereka yang kedapatan merokok di tempat umum pun harus bersiap-siap kena denda seratus ribu rupiah.

Tersengal-sengal mengatur nafas di atas ketinggian 2.000 meter, saya menghentikan langkah beberapa puluh meter dari hotel tujuan.

Penginapan mulai dari kelas asrama sampai kelas bintang bertebaran di Shimla. Tak semua penginapan menyediakan pemanas ruang, tapi pada umumnya menyediakan selimut super tebal. Sesampai di penginapan dan menyelesaikan proses check in, saya segera membasuh dengan air panas tubuh yang sudah dua hari tak mandi ini.

Suhu udara di Shimla tiga kali lebih dingin dari kota Jodhpur saat musim dingin. Alhasil, saya harus membalut tubuh dengan dua lembar kaos baselayer, sweater dan jaket. Total empat lembar pakaian melapisi tubuh ditambah dua lembar celana long jhon dan celana polar.

Tubuh yang lebih terbiasa dengan cuaca tropis kemudian dihadapkan dengan cuaca dingin tetap saja merasa kaget. Ah, rupanya saya butuh asupan energi untuk melawan dingin itu. Malam pertama di Shimla kemudian ditutup dengan menyantap ayam goreng dengan cita rasa India.

Suhu udara menunjukan angka 3 derajat celcius pada layar ponsel. Padahal pagi itu matahari bersinar cerah dan membuat puncak pegunungan Himalaya yang terselimuti salju terlihat keemasan.

Di Shimla sendiri salju memang belum turun saat saya tiba di sana di bulan November. Kota itu baru akan memutih pada periode Desember hingga Maret, ketika jalanan serta pepohonannya tertutupi salju dan Shimla menjelma mirip kota-kota di Eropa.

Saya belum beruntung bertemu Shimla yang seperti itu.

Berniat untuk sarapan pagi di warung lokal serta menghirup udara bersih dan segar yang jarang saya temui di Jakarta, saya mulai menyusuri Mall Road, area yang disebut-sebut sebagai detak jantung kota Shimla.

Di sana sentuhan paling komersil tersebar sepanjang jalan. Bisa dibilang sepanjang area ini adalah jalur tersibuk di wilayahnya, penuh dengan pasar dari tingkat emperan hingga butik barang bermerek. Jalan ini merupakan sisa-sisa bukti jalur lalu lintas zaman penjajahan Inggris di abad ke-18.

Saya menikmati secangkir chai (teh susu) dan setangkup roti di warung sekitar pasar sambil mengobrol dengan penjualnya. Dari merekalah biasanya informasi teraktual didapat, mulai dari cerita miris kehidupan penduduk lokal sampai berita terkini soal India.

Setelah mengisi energi, saya duduk di bangku yang lusuh menghadap sinar matahari pagi, tak mau kalah dengan anjing jalanan yang berjemur menyerap hangat sang surya. Di sana saya menonton pertunjukan aktivitas pagi warga sambil memotretnya.

Shimla mulai bergeliat dengan para pelajar yang berangkat sekolah serta karyawan formal dan informal menuju tempat bekerja masing-masing.

Penduduk Shimla beda jauh dengan kota di India lainnya. Terlihat lebih terpelajar, bersih, santun dan berpenampilan modern dan terbuka. Sejumlah perempuan berdandan modis mengenakan sepatu boots, berjaket tebal, shawl, dan dipadu dengan kacamata hitam cantik ala Bollywood. Jarang dari mereka terlihat mengenakan sari khas India.

Puas mencicipi pagi di bangku lusuh itu, saya berjalan kaki, menapaki puluhan anak tangga tersesat tak tentu arah, hingga akhirnya menemukan spot untuk memotret pemukiman warga persis di bibir bukit. Rumah-rumah modern itu terlihat harmoni dengan lingkungan dan alam pegunungan.

Dekat dari tempat saya memotret, burung bersahut-sahutan menyanyikan lagu untuk sang pagi.

Dari sana saya kemudian tiba di Shimla Ridge, atau disebut juga The Ridge, yang terletak tepat di jantung kota Shimla. Selain Mall Road, The Ridge adalah kawasan pusat keramaian di kota tersebut.

Di satu sisi kawasan terbuka ini berjejer bangunan peninggalan zaman kolonial Inggris, sementara di sisi lainnya terdapat gugusan pegunungan Himalaya yang luas tak berujung.

Untuk menikmati pemandangan, disediakan kursi-kursi panjang yang menghadap barisan perbukitan berselimut pohon pinus yang menjulang tinggi. Dari sana terlihat pegunungan Himalaya tertutup salju serta vila dan hotel yang bertebaran di kaki-kakinya.

The Ridge sendiri adalah pusat keramaian. Saat akhir pekan khususnya pagi hari, banyak warga yang berolahraga dan menikmati sarapan pagi di mini kafe di sekitar kawasan itu.

Selain itu, The Ridge juga menjadi tautan menuju pusat-pusat aktivitas di sepanjang jalan perbukitan ini, dari mulai pusat pertokoan, pasar tradisional hingga tempat ibadah umat Hindu.

Beberapa fotografer menawarkan jasa pemotretan bagi pengunjung yang berada di sana. Mereka mengenakan kostum tradisional Himalaya dan menawarkan spot indah pegunungan Himalaya untuk memikat wisatawan.

Sesama satu profesi sebagai fotografer walau berbeda “lahan” saya berusaha mendekati dan menyapa mereka. Saya terlibat perbincangan sesaat, saling berkenalan dan bercerita tentang rutinitas masing-masing sebagai fotografer.

“Pekerjaan kami setiap hari di sini, mulai dari pagi hingga sore,” ujar Rajesh, salah seorang fotografer yang berkenalan dengan saya.

“Membosankan memang, tapi kami harus menghidupi keluarga, menyekolahkan anak-anak sampai kuliah. Soal penghasilan, memang tak menentu tapi inilah mata pencarian kami.”

Nurani saya terusik usai mendengar kisah mereka dan terbersit satu kalimat teguran bagi diri sendiri.

Isik penak uripmu toh? Iso moto nengdi wae, entuk gaji wulanan, mulakno ra sa sambat (Masih enak hidupmu kan? Bisa motret di mana saja, dapat gaji bulanan. Makanya jangan suka mengeluh).”

Pesan moral pagi itu adalah segala sesuatu yang dikerjakan secara konsisten akan menghasilkan nilai yang besar. Rasa syukur tidak akan membuat hidup kita menjadi miskin, sebaliknya justru membuat hidup berkelimpahan.

Menjelang siang, pandangan saya terantuk pada sebuah papan penunjuk jalan bertuliskan Scandal Point. Tulisan yang menimbulkan banyak tanda-tanya sehingga saya mengikuti penunjuk jalan itu. Rupanya papan itu menandakan sebuah persimpangan dengan arah kanan menuju kawasan the Mall, sementara ke kiri menuju The Ridge, dua pusat keramaian di Shimla.

Nama persimpangan Scandal Point ini diambil dari skandal cerita cinta di masa lalu, antara seorang perempuan bangsawan Inggris dengan Maharaja Patiala. Menurut legenda, di persimpangan inilah mereka bertemu dan menjalin cinta.

Sayapun “jatuh cinta” dengan kawasan ini.

Bagaimana tidak. Di sebelah kiri dan kanan berjejer bangunan tua bergaya Eropa yang terawat dan difungsikan sebagai pertokoan, bank, resto dan sebagainya. Gambaran komik yang pernah saya baca ketika masih duduk di sekolah dasar, terbentang di depan mata meski tidak sama persis.

Di Scandal Point ini terlihat masyarakat lokal beristirahat menghangatkan badan sambil berbincang-bincang, sementara sekelompok wanita tua duduk sambil menyulam wol. Semua merayakan akhir pekan, entah itu dengan keluar masuk pertokoan sekadar untuk melihat-lihat atau dengan berswafoto.

Menutup sore, saya menuju Gereja Christ Church yang terletak di ujung kawasan The Ridge.

Gereja yang dibangun pada tahun 1857 ini merupakan gereja tertua kedua di Utara India dan dibangun dengan gaya arsitektur Neo Gothic. Ia berdiri bersebelahan dengan patung Mahatma Gandi dan perpustakaan tua.

Di area sekitar gereja, dengan santun dan tanpa memaksa penjual balon dan gulali menawarkan dagangan kepada setiap pengunjung yang duduk ataupun melintas.

Saat itu gereja ditutup untuk umum karena tidak ada aktivitas peribadahan. Alhasil saya yang penasaran ingin melihat interior gereja terpaksa harus puas duduk di bangku panjang berbahan besi bersama warga lainnya. Hanya memandang gereja dari luar sembari merasakan sapuan udara sore.

Tak jauh dari tempat duduk, seorang nenek mengenakan pakaian khas Himalaya duduk sendirian bersebelahan dengan pasangan muda-mudi. Rambutnya yang memutih dan garis-garis pada muka menandakan seberapa jauh perjalanan hidupnya.

Saya tertarik untuk memotretnya, dengan alasan karakternya yang kuat.

Namun ketika meminta izin agar dia mau menjadi obyek foto, saya terkendala bahasa karena sang nenek hanya mengerti bahasa Hindi. Akhirnya kami berkomunikasi dengan bahasa tubuh.

Setelah selesai, saya memperlihatkan hasil foto-foto dari layar kamera. Dia hanya tertawa malu melihat hasil foto sambil bergumam dalam bahasa yang tak saya pahami.

Nenek ini menolak saat saya ingin menawarkan membeli cemilan sebagai tanda terima kasih. Kemudian saya menundukan badan sambil melipat kedua telapak tangan berucap dhanyavaad (terima kasih).

Sungguh cara yang teramat baik untuk mengakhiri petualangan saya di Shimla.

(bersambung ke bagian tiga: Salju di 'Planet' Manali, terbit 22 Juli 2018)

Share

Naskah, Fotografi & Video

Safir Makki

Menggemari perjalanan ke tempat yang tidak populer dan menyepi. Bekerja 14 tahun sebagai fotografer di media kemudian berlabuh di cnnindonesia.com.

  • Editor: Vetriciawizach Simbolon

  • Tata letak: Fajrian, Muhammad Ali

  • Infografis: Timothy Loen

  • Video editor: Tri Wahyuni

Artikel Terkait

Catatan Perjalanan Wisata Biru Jodhpur
Catatan Perjalanan Wisata Biru Jodhpur
Kembali ke CNNIndonesia.com
Back to top