Catatan Perjalanan Brighton

Rentetan suara knalpot dan klakson Vespa geng Mods membangunkan tidur saya pagi itu. Jam masih menunjukkan pukul delapan, tapi sepertinya warga Brighton sudah siap memulai Sabtu mereka.

Brighton berjarak sekitar 30 menit perjalanan kereta dari Bandara Internasional Gatwick, Inggris. Kota pantai ini bisa dijangkau dari sana dengan kereta Gatwick Express yang tiketnya seharga 9 pound (sekitar Rp160 ribu) per orang.

Saya datang ke Brighton di bulan Juni, saat musim semi sudah melangkah separuh jalan menuju musim panas. Warga dan turis sedang semangat-semangatnya berburu hangat matahari, dan keceriaan dimulai sepanjang matahari terbit pukul 05.00 dan tenggelam pukul 22.00.

Hotel yang saya inapi, The Willow, berada tepat di perempatan jalan 27 Lower Rock Gardens, sehingga kesibukan siang-malam sangat terasa. Hotel ini tipe melati dengan tarif per malam mulai dari Rp850 ribuan.

Bagi saya, fasilitas air panas, termos listrik, Wi-Fi, televisi, dan penghangat ruangan yang disediakan hotel ini sudah sangat cukup. Karena saya memesan langsung melalui situs resminya, saya mendapat bonus kamar dengan jendela dan balkon kecil.

Untuk yang claustrophobia atau fobia ruang sempit, rasanya penting untuk memesan kamar dengan jendela, karena banyak hotel di Inggris yang menggunakan ruang bawah tanah sebagai area kamar.

Selesai mandi pagi saya bersiap menjelajah kota berpenduduk 290 ribu jiwa ini. Tujuan saya hari ini Royal Pavillion, Tebing Seven Sister, dan Pantai Brighton.

Lima menit dari hotel saya sudah berada di 87 St James's St, area yang penuh dengan restoran, bar, dan kafe. Brighton memiliki banyak kedai kopi lokal yang tak kalah istimewa dari kafe-kafe waralaba yang menjamur di seluruh dunia.

Harum kopi dan pastry seakan memanggil untuk dibeli. Di dalam dan di luar kafe terlihat orang-orang sedang sarapan pagi. Beragam, mulai dari yang mengenakan pakaian lari, membawa anjing, mendorong stroller bayi, hingga yang mereka yang baru pulang dari pesta semalam.

Sebenarnya saya ingin mampir ke salah satu kafe, tapi mayoritas restoran hanya menyediakan satu atau dua meja khusus merokok. Karena ingin ngopi dan ngerokok lebih khusyuk, saya memutuskan untuk beli sarapan di supermarket Sainsbury dan menyantapnya di taman Royal Pavillion.

Saya membeli satu paket kopi instan dan croissant seharga empat pound (sekitar Rp69 ribu). Kasir tak lagi menawarkan kantung plastik, sehingga saya menenteng belanjaan yang dibeli.

"Hati-hati dengan Burung Camar ya," kata pria di balik meja kasir kepada saya. Saya hanya tersenyum karena tahu kawanan Camar di benua Eropa memang sering menyerobot makanan orang-orang yang sedang piknik.

Berjalan kaki tujuh menit dari supermarket, sampailah saya di Royal Pavillion. Matahari semakin merekah, memberi pemandangan komorebi pada pohon-pohon rindang di sekitar tamannya.

Selain ibu-ibu bersama balita dan pasangan muda-mudi yang berpacaran, rombongan anak sekolahan tampak menyemut di pintu masuk Museum Brighton dan Ruangan Utama Royal Pavillion. Musim semi memang menjadi waktu populer bagi sekolah-sekolah di Eropa untuk mengadakan karyawisata.

Karena ingin menyantap sarapan terlebih dahulu sebelum masuk Ruangan Utama Royal Pavillion, saya mencari pohon dengan bayangan paling besar untuk ngopi dan ngerokok lebih santai.

Benar apa kata kasir supermarket. Kawanan Burung Camar sudah mengintai croissant saya dari berbagai penjuru. Teror itu ditambah dengan kawanan tupai yang hilir mudik. Saya berusaha tak terlena dengan keimutan mereka dan memilih untuk cepat-cepat menghabiskan croissant yang ada di tangan.

Jam sudah menunjukkan pukul 10.00. Puas sudah saya sarapan di taman teduh ini.

Sebenarnya saya ingin tinggal lebih lama, sambil rebahan dan membaca buku. Tapi saya tergoda untuk masuk ke Ruangan Utama Royal Pavillion.

Jika biasanya rumah Kerajaan Inggris berarsitektur dan dekorasi kastil klasik Eropa, maka tidak dengan Ruangan Utama Royal Pavillion. Dari luar mirip masjid di Arab Saudi, dari dalam mirip kuil di China.

Bangunan yang berusia lebih dari 200 tahun ini merupakan rumah liburan Raja George IV. Gaya arsitekturnya Indo-Saracenic, perpaduan India-China. Tak heran banyak turis asal India dan China yang juga berkunjung ke sini.

Saya merogoh 15 pound (Rp260 ribu) untuk membeli tiket masuk -- harga rata-rata masuk museum di Inggris. Sayangnya pengunjung dilarang mendokumentasikan isi ruangan. Mungkin karena sang arsitek, Henry Holland dan John Nash, tak ingin karyanya ditiru.

Jika tak ingin dibilang ajaib, maka bangunan yang interiornya berwarna merah muda ini sangatlah eksentrik. Pajangannya pun ada-ada saja, mulai dari patung sampai lukisan bergambar nyeleneh. Bagi saya, Royal Pavillion berhasil menjadi rumah liburan yang menghibur penghuninya.

Saya hanya sempat berkeliling Royal Pavillion selama satu jam sebelum menuju Tebing Seven Sister. Ramalan cuaca di televisi pagi tadi mengingatkan saya untuk harus sampai sebelum hujan turun.

Sama seperti politiknya, cuaca di Inggris rasanya sama-sama sulit ditebak.

Dengan menumpang bus nomor 12A, 12, atau 12X dari North Street, turis bisa langsung turun di Friston, Gayles Farm, jalanan utama menuju Tebing Seven Sister. Tarifnya 3,75 pound (sekitar Rp65 ribu) untuk sekali jalan.

Durasi perjalanan bus kurang lebih satu jam 30 menit. Dilanjutkan jalan kaki menuju tebing sekitar 40 menit. Demi menyehatkan paru-paru dengan menghirup udara bersih di sana, saya meneguhkan diri untuk siap melangkahkan kaki.

Bus menuju Tebing Seven Sister bakal selalu ramai oleh turis. Anak kecil sampai kakek nenek terlihat antusias tengok kanan-tengok kiri menikmati pemandangan sepanjang perjalanan.

Di kiri ada pemandangan kawasan pantai dan pelabuhan. Di kanan ada pemandangan kawasan perkotaan. Sejak masih berada di dalam bus, saya sudah tahu kalau memori di kamera saya bakal cepat habis untuk memotret pemandangan apik itu.

Hiruk pikuk pemukiman berangsur hilang, berganti dengan pemandangan bukit rumput hijau. Kawanan sapi dan domba yang sedang merumput kini jadi bintang utama di perjalanan.

Kawasan Tebing Seven Sister juga menyediakan lahan berkemah. Tentu jika mengurus perizinnya terlebih dahulu.

Bus akhirnya berhenti di Friston, Gayles Farm. Turis berbondong-bondong turun untuk menyeberang, menyusuri pedesaan, sebelum sampai ke area tebing.

Untuk menuju Tebing Seven Sister, kami harus berjalan kaki melewati pedesaan dan peternakan. Durasi puluhan menit seakan tak terasa, apalagi bagi yang gemar berfoto.

Sebaiknya membawa jaket tebal dan sepatu bersol empuk saat datang ke sini. Embusan angin dan jalanan yang kadang tak beraspal menjadi tantangannya.

Pemandangan pedesaan yang dihiasi bukit hijau membuat benak saya melayang ke Bukit Teletubbies dan wallpaper Windows. Sesekali bayangan daging steak empuk dan susu segar melintas saat melihat sapi dan domba. Kebetulan memang hampir jam makan siang juga.

Akhirnya sampai juga di Tebing Seven Sister! Hal pertama yang saya lakukan adalah mengosongkan kantung kemih dan kemudian memesan cokelat hangat. Barulah melanjutkan penjelajahan ke tepi pantainya dan ke arah mercusuar.

Bagi yang senang duduk-duduk memandangi lautan rasanya tempat ini pas untuk didatangi. Tak ada tiket masuk, hanya membayar jika ingin pesan makanan atau minuman di kafenya.

Namun wisatawan perlu berhati-hati agar tidak duduk atau berjalan terlalu dekat dengan tebing, karena nyawa bisa saja melayang tertiup angin kencang.

Hari itu di sana tak terlalu cerah, sehingga tak ada kemeriahan di pantainya. Mungkin jika matahari bersinar lebih terik, banyak yang berjemur di pinggirannya.

Seven Sister merupakan gugusan tebing batu kapur putih yang berbatasan langsung dengan Kanal Inggris, Sesuai namanya, ada tujuh tebing utama yang menjulang dari barat ke timur di sini, meski erosi "menumbuhkan" delapan tebing baru.

Tebing yang saya kunjungi berada di area timur bernama Birling Gap. Tebing ini sempat menjadi lokasi syuting film Robin Hood: Prince of Thieves, Atonement, dan Mr Holmes.

Tebing ini juga sempat ramai diberitakan karena menjadi lokasi tewasnya putra dari penyanyi Inggris, Nick Cave. Ia diduga terhempas ke bawah tebing setinggi 200 meter, pada 2015 silam.

Cantik dan mengerikan, adalah kata yang menggambarkan tebing ini.

Meski demikian pengelola memasang banyak peringatan bahaya di area-area yang dirasa curam, sehingga turis tak nekat mendekat.

Melalui papan-papan pengumuman, pengelola juga menyebarkan informasi mengenai bahaya pemanasan global yang bakal mengancam warna putih tebing ini.

Sebelum masuk angin terlalu parah, saya silam dari Tebing Seven Sister. Saya ingat sempat melewati pub bernama Tiger Inn setelah turun dari bus. Dengan semangat 45 saya kembali jalan kaki menuju ke sana, berharap bisa duduk cantik sambil menyesap bir sambil makan fish and chips.

Salah satu lapangan di pedesaan mendadak ramai siang itu, karena ada liga kriket lokal. Ketika pemain memukul bola, para petugas memberhentikan para pejalan kaki dan kendaraan bermotor yang melintas. Berjaga-jaga agar tidak ada yang kena bola salah sasaran. Setelah itu kami boleh lagi melenggang.

Sialnya semua turis sepertinya berpikiran sama dengan saya karena Tiger Inn telah ramai. Tak ada bangku kosong dan yang tersisa hanya spot duduk di atas rumput.

Setelah menimbang-nimbang, saya pikir lebih baik santap siang di dekat hotel sekaligus kongko sore di sekitar Pantai Brighton.

Jadilah saya hanya memesan bir dan duduk di rerumputan bersama muda-mudi yang asyik berfoto untuk memberi makan akun Instagram-nya.

Jodoh memang tak bisa ditebak. Setelah bertemu lukisan diri Sir Arthur Conan Doyle di National Portrait Gallery, tak disangka saya berjumpa rumah Sherlock Holmes yang berada tepat di sebelah Tiger Inn!

Rumah mungil ini rekaan dari kisah 'His Last Bow' dan disebut rumah yang dihuni Sherlock setelah pensiun menjadi detektif.

Bukan asal mereka-reka, saking harumnya karya Sir Arthur Conan Doyle --yang juga lahir tak jauh dari sini, East Sussex-- pemerintah Inggris sampai memasang Blue Plaque alias papan biru di dindingnya sebagai tanda bahwa bangunan ini merupakan warisan sejarah Inggris. Sebuah penghargaan yang bernilai historis sekaligus humoris.

Karena baterai kamera sudah lemah, saya memutuskan mampir dulu ke hotel sebelum mengisi perut sekembalinya dari Tebing Seven Sister pukul 16.00.

Usai menyegarkan diri sejenak, saya kembali menuju 87 St James's St untuk menyantap makan siang yang terlambat.

Sawadee, restoran Thailand, menjadi pilihan saya karena nasi adalah kunci untuk memulihkan otot-otot Asia saya yang telah ditempa jalan kaki berjam-jam di tebing.

Tapi saya kurang beruntung. Restoran di Inggris ternyata terbiasa tutup setelah jam makan siang dan buka kembali mulai pukul 18.00 untuk melayani makan malam.

Satu jam menunggu sepertinya lebih baik saya isi dengan jalan-jalan ke pusat keramaian Brighton lalu duduk-duduk di tepi pantai.

Churchill Square Shopping Centre menjadi kawasan perbelanjaan utama di sini. Ada mal besar di sana, tapi lebih banyak yang membuka toko di jejeran ruko pinggir jalan. Jaringan ritel besar seperti Primark, H&M, Topshop, Zara, Waterstones, atau Sports Direct, bisa dikunjungi tanpa perlu jauh-jauh ke London.

Sementara itu kawasan Bond Street memajang deretan pertokoan lokal dan mewah. Butik fesyen indie, vinyl, Dr Martens, Jo Malone, sampai sex shop beroperasi dari dalam rumah-rumah kecil yang berada di dalam gang-gang seukuran satu mobil.

Sempatkan untuk mendatangi 11 East St, karena ada Quadrophenia Alleyway yang sangat legendaris. Gang kecil ini merupakan lokasi syuting salah satu adegan dalam film Quadrophenia yang dibintangi oleh Sting.

Turis yang ingin belanja dalam nuansa pasar, bisa mengarah ke Brighton Square. Di sini, terutama saat akhir pekan, banyak bazaar yang digelar. Terdapat juga pub dan kafe kecil di pelosoknya.

Anak-anak muda dengan dandanan hipster dan queer menjadi pemandangan utama di Brighton. Dua tahun lalu kota ini terpilih sebagai kota paling hipster se-Eropa versi majalah TimeOut. Label tersebut bisa dibilang benar, karena geliat industri kreatif di sini sangat terasa.

Ditambah lagi dengan rukunnya warga lokal dengan komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender). Melihat romantisnya pasangan sesama jenis atau dipajangnya bendera pelangi bukan lagi hal yang mengejutkan di sini.

Brighton Pier mirip Dunia Fantasi, tapi dalam versi lebih kecil. Ada banyak wahana permainan di sini, mulai dari karosel sampai roller coaster. Pusat adu ketangkasan juga memiliki ruangan sendiri.

Karena lebih sering buntung daripada beruntung saat main game, saya memilih duduk sambil makan donat bertabur gula halus seharga 5 pound (sekitar Rp86 ribu) untuk enam potong.

Gurauan mengenai 'penduduk Eropa bakal lebih ceria di musim panas' sepertinya memang benar. Saya buktikan sendiri di sini karena melihat banyak warga dan turis yang terlihat asyik berkegiatan di tepi pantai yang berbatu bulat-bulat ini.

Entah karena perut yang belum terisi atau memang angin pantai di Eropa berhawa dingin, tubuh terasa menggigil saat berjalan di Brighton Pier yang sebenarnya cerah tanpa awan. Seketika saya kenakan jaket, meski orang-orang yang berpakaian musim panas di sekitar saya memandang heran.

Sambil memperhatikan polah dan celoteh mereka, saya iseng memainkan bebatuan di sekitar. Tak disangka tak diduga saya menemukan batu berisi kristal!

Batu tersebut kecil dan memiliki lubang di dalamnya. Saat terkena matahari, rongga batu tersebut memancarkan cahaya berkilau bak kristal. Entah itu endapan garam laut atau memang berisi kristal.

Setelah tengok kanan dan tengok kiri, saya memutuskan untuk mengantungi dua batu yang saya temukan untuk dibawa pulang.

Tapi ternyata di belakang saya ada sekelompok orang yang juga melakukan kegiatan serupa. Ah, ternyata batu isi kristal di Brighton barang biasa. Niat memperkaya diri sesampainya di Indonesia sirna sudah.

Saya menengok jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 18.30. Saya pikir restoran yang saya maksud sudah buka, sehingga kaki melangkah kembali ke 87 St James's St.

Teriakan orang-orang yang makanannya dicomot Burung Camar sayup-sayup mengiringi langkah saya meninggalkan keriaan Pantai Brighton sore itu.