Jika biasanya rumah Kerajaan Inggris berarsitektur dan dekorasi kastil klasik Eropa, maka tidak dengan Ruangan Utama Royal Pavillion. Dari luar mirip masjid di Arab Saudi, dari dalam mirip kuil di China.
Bangunan yang berusia lebih dari 200 tahun ini merupakan rumah liburan Raja George IV. Gaya arsitekturnya Indo-Saracenic, perpaduan India-China. Tak heran banyak turis asal India dan China yang juga berkunjung ke sini.
Saya merogoh 15 pound (Rp260 ribu) untuk membeli tiket masuk -- harga rata-rata masuk museum di Inggris. Sayangnya pengunjung dilarang mendokumentasikan isi ruangan. Mungkin karena sang arsitek, Henry Holland dan John Nash, tak ingin karyanya ditiru.
Jika tak ingin dibilang ajaib, maka bangunan yang interiornya berwarna merah muda ini sangatlah eksentrik. Pajangannya pun ada-ada saja, mulai dari patung sampai lukisan bergambar nyeleneh. Bagi saya, Royal Pavillion berhasil menjadi rumah liburan yang menghibur penghuninya.
Saya hanya sempat berkeliling Royal Pavillion selama satu jam sebelum menuju Tebing Seven Sister. Ramalan cuaca di televisi pagi tadi mengingatkan saya untuk harus sampai sebelum hujan turun.
Sama seperti politiknya, cuaca di Inggris rasanya sama-sama sulit ditebak.
Dengan menumpang bus nomor 12A, 12, atau 12X dari North Street, turis bisa langsung turun di Friston, Gayles Farm, jalanan utama menuju Tebing Seven Sister. Tarifnya 3,75 pound (sekitar Rp65 ribu) untuk sekali jalan.
Durasi perjalanan bus kurang lebih satu jam 30 menit. Dilanjutkan jalan kaki menuju tebing sekitar 40 menit. Demi menyehatkan paru-paru dengan menghirup udara bersih di sana, saya meneguhkan diri untuk siap melangkahkan kaki.