Bergeser sedikit dari kawasan Broadway, terlihat beberapa bangunan tua berwarna coklat krem yang merupakan kampus Perguruan Tinggi Hukum Tashkent. Beberapa mahasiswa mengenakan pakaian formal keluar masuk kampus ini.
Kampus ini terlihat megah, berarsitektur khas Eropa dihiasi pohon-pohon tua yang daunnya berguguran saat musim dingin.
“Haloo... Saya di Eropa atau Asia?” suara hati saling bersahutan.
“Elo di setengah Eropa setengah Asia. Norak lu!” timpal suara hati yang lain.
Tapi benar. Saya merasakan atmosfer Eropa lawas di tempat ini, meski terkadang khayalan itu buyar karena orang yang lalu-lalang berbincang dengan bahasa Uzbekistan.
Saya menyusuri lorong bawah tanah tempat menyeberang persis di depan kampus Perguruan Tinggi Hukum Tashkent, menuju Alun-alun Amir Timur.
Siluet orang-orang berjalan tak beraturan tanpa suara membawa cerita masing-masing di dalam kepalanya.
Disadari atau tidak, sebuah lorong penyeberangan ini mengajarkan falsafah hidup bagi saya, bahwa perjalanan manusia tidak selalu terang dan gelap saja.
Ada waktunya mengalami kegelapan lalu menjadi terang. Sebaliknya pun demikian.
Tentu saja setiap orang punya cara sendiri bagaimana menikmati dan menjalani gelap terang kehidupan itu sendiri.