Mira Lesmana sesekali melirik koleksi tanaman yang asri dan tersiram cahaya terik matahari di tepi kolam renang belakang rumahnya. Wajahnya tampak cerah. Tak ada tanda-tanda kelelahan meski dia berada di tengah-tengah serangkaian aktivitas untuk film barunya, Paranoia. Senyum lebarnya selalu muncul di sela-sela perbincangannya dengan kami.
Siang itu di rumahnya di kawasan Bintaro, Jakarta, ia mengenang perjalanan kariernya yang bisa dibilang tak mudah dan jauh dari kata instan.
Nama Mira dikenal sebagai salah satu sineas yang mengawali generasi baru perfilman Tanah Air di era 1990-an. Ia adalah salah satu api yang memantik kembali industri layar perak ketika sempat mati suri. Melahirkan film demi film sukses yang berpengaruh dalam sejarah Indonesia.
Jauh sebelum Kuldesak –film pertamanya—menggebrak perhatian pada 1998, Mira sesungguhnya sudah akrab dengan dunia tata gambar dan tata suara. Lulus dari pendidikan film Institut Kesenian Jakarta (IKJ), putri pasangan musisi Nien dan Jack Lesmana ini mengawali karier di dunia periklanan pada 1987.
Dunia inilah yang membuat perempuan kelahiran 8 Agustus 1964 ini memahami ilmu pemasaran dan promosi – dua keahlian yang memang sangat dibutuhkan dalam film. Keahlian yang di kemudian hari jadi pegangannya sebagai seorang produser yang mengawal film dari hulu sampai hilir.
Ia sempat memproduseri sebuah iklan layanan masyarakat bersama Garin Nugroho, seniornya di kampus. Garin lulus dari IKJ pada 1985, sementara Mira baru masuk kampus di Cikini itu pada 1983.
“Junior memproduseri Garin,” kata Mira seolah menertawakan dirinya di masa lalu, kala berbincang dengan kami. “Jadi memang ya, mungkin takdir."
Mira yang sejak awal ramah dan terbuka membuat kami tidak segan untuk menggali masa lalunya. Ia juga tampak semakin antusias bernostalgia. Apalagi, cuaca akhir Oktober yang semula terik berubah sedikit sejuk setelah mendung datang.
Mira tampak lebih nyaman, menyilangkan kaki, dan siap bercerita.
Semua, kata Mira, berawal saat ia menginjak usia 16 tahun pada 1980. Kala itu sejumlah film berhasil membuat ‘matanya’ terbuka, seperti 2001: A Space Odyssey (1968) karya Stanley Kubrick dan Star Wars: Episode IV - A New Hope (1977) karya George Lucas.
Film yang tak kalah fenomenal bagi Mira adalah Pink Floyd – The Wall (1982) karya Alan Parker. Film itu dibuat berdasarkan album The Wall milik Pink Floyd, band rock asal Inggris yang sangat hit pada dekade itu.
“Tiga orang ini sangat berbeda kan, genrenya berbeda. Kemudian jenis film itu juga memberikan kita rasa yang berbeda. Tetapi, justru (mata terbuka) dengan melihat tiga orang yang berbeda," kata Mira.
Sederet film itu membuat Mira yang sejak kecil dilatih Jack Lesmana untuk menjadi musisi dengan memainkan piano, langsung banting setir. Ia tak lagi ingin menjadi musisi jazz seperti ayahnya. Ia hanya ingin menjadi sineas seperti ketiga orang itu.