Runtai

Gantian
Indro Dong

Matahari bersinar terik penuh energi di langit Jakarta pada suatu hari April 2023 itu, ketika mayoritas warga Jakarta tengah menjalani ibadah puasa. Hawa panas menerpa siapa saja yang berani berjalan di bawahnya.

Namun hawa panas itu seolah enggan masuk ke rumah seorang aktor dan komedian legendaris di Indonesia, Indrodjojo Kusumonegoro, atau yang dikenal sebagai Indro Warkop.

Indro duduk dengan anteng di kursi sofa ruang tamunya yang bergaya klasik. Dengan kemeja safari sage, aura Indro terlihat serius dan penuh wibawa. Garis wajahnya yang kini kian tegas jadi penunjuk usianya kini telah genap 65 tahun. Tak ada kesan Indro Warkop yang jenaka seperti biasa terlihat di layar kaca atau layar lebar.

Namun tampaknya Indro memang siap mengeluarkan sisi kritis dan penuh dengan pemikiran mendalam dalam obrolan Runtai bersama kami.

Di samping Indro yang duduk bagai di singgasana, beberapa trofi berdiri tanda kejayaan masa lalunya bersama dua orang yang berjasa dalam hidupnya: Dono dan Kasino.

Sentuhan desain furnitur klasik dari ruang tamu itu sesungguhnya berbeda dari pengalamannya di masa kecil yang dihabiskan di sebuah sudut jalan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Kawasan yang kini dikenal tempat tinggal para old money.

"Kami tinggal di Menteng. Saya lahir di Menteng," kata Indro. "Tapi kami hidup sederhana, karena pejabat negara dulu kan begitu."

Indro lahir dari seorang pejabat negara pada masa Presiden Pertama RI, Soekarno. Ayah Indro adalah Raden Mochammad Umargatab, seorang perwira tinggi kepolisian dan pendiri Dinas Pengawas Keselamatan Negara yang jadi cikal bakal BIN pada saat ini.

Sementara ibunda Indro bernama Soeselia Kartanegara. Ia seorang ibu rumah tangga. Namun untuk menambah penghasilan keluarga, Soesalia menggunakan kelihaiannya dalam memasak untuk menjadi seorang penyedia katering.

Meski jadi anak pejabat dan pengusaha, Indro tak bergelimang kemewahan. Ia memang lahir di Menteng, tapi pada dekade '50-an di saat Senayan dan Kebayoran Baru masih dianggap “di luar” kota Jakarta.

Bahkan keluarga Indro pun tak memiliki mobil pribadi, hanya mobil dinas pinjaman negara. Mereka menjual motor demi cicilan rumah. Ayahanda Indro juga pernah hanya mengenakan sarung untuk menjalankan dinas dadakan saat ada kecelakaan di jalan.

"Rumah yang kami tempati, oleh Presiden Soekarno diberi izin untuk bisa dicicil atas jasa-jasa ayah saya," kata Indro.

Saking sederhananya, ketika Raden Mochammad Umargatab meninggal dunia pada saat Indro berusia 10 tahun, keluarga mereka tak punya uang untuk menyewa ambulans dan membawa jenazah ke kampung di Jawa Tengah untuk dimakamkan.

Atas permintaan negara melalui Kapolri pada saat itu, Jenderal Polisi H. Raden Mas Ngabehi Soetjipto Joedodihardjo, jenazah Raden Mochammad Umargatab kemudian dimakamkan di Taman Makam Kalibata Jakarta Selatan.

Padahal mendiang semula ingin dimakamkan di pemakaman keluarga agar bisa berbaring bersama istri tercintanya kelak. Namun protokoler mesti dijalankan sebagai pelepasan terhadap perwira pengabdi negara.

"Ibu saya pasrah, enggak punya duit juga gue bawa ke sana," kata Indro. "Jadi begitu… saya kecil dengan ayah saya yang seorang petinggi negara, tapi kehidupan kami kayak begitu."

Setelah ayah berpulang, hidup Indro berubah. Bocah 10 tahun harus membantu ibunya untuk menjalankan bisnis katering sebagai satu-satunya pemasukan keluarga. Ia pun acap kali harus bangun subuh untuk ke pasar belanja kebutuhan katering.

Di masa-masa itu sosok ibu jelas menjadi sosok yang demikian kokoh. Bagi Indro, sang ibunda mampu mengisi kekosongan dalam hidupnya karena ditinggal ayahanda.

"Saya selalu mensyukuri hidup saya, karena lengkap banget hidup saya," ucapnya penuh senyum. "Walaupun saya ditinggal ayah, saya kemudian mendapat ibu yang sehebat ayah saya juga."

Memori masa kecil Indro seolah tak tersapu dalam ingatan. Tak pernah sekalipun ia terbata-bata bercerita kepada kami, terutama ketika berbicara soal nilai yang diajarkan oleh orang tua.

"Keluarga saya itu keluarga yang jujur banget, karena kejujuran itu kehormatan. Sementara kadang-kadang dalam kehidupan sehari-hari kita ada ketidakjujuran," ucapnya jelas.

Didikan disiplin yang diterima Indro semasa kecil jelas tak terlepas dari jiwa perwira dan pejuang bangsa yang melekat dalam diri sang ayah, meski cuma bisa menemani Indro hingga berusia 10 tahun. Nasionalisme juga menjadi nilai yang tertanam dalam diri Indro sejak kecil. Ia dididik untuk menghargai sejarah.

"Saya ingat benar kalau bangun pagi lelet-lelet, diambilin kantung handuk yang untuk cuci muka. Itu sudah dengan air dingin, langsung diusap ke muka saya, 'Bangun! Susah benar dibangunin,'" kenang Indro akan sosok ayahnya.

Maka ketika Indro mulai beranjak remaja, ia berniat mengikuti jejak mendiang ayahnya ke militer. Hal ini sebenarnya wajar mengingat rata-rata keluarganya pun berlatarbelakang militer.

Namun ibunya berkata lain.

Ibunya justru menunjukkan wasiat Raden Mochammad Umargatab yang belum pernah dilihat Indro: buku harian yang hanya ditinggalkan untuk istri tercinta. Ia pun menunjukkan tulisan mendiang suaminya, entah ditulis sejak kapan, kepada putra mereka yang berbunyi:

"Indro ini insting militernya kuat banget. Keinginannya aku pasti dia ingin banget kayak saya. Jangan biarkan Indro masuk militer. Saya enggak mau dia tergilas atau terbawa arus."

Wajah Indro dewasa serius mengisahkan momen itu. Dahinya mengernyit. Ia sungguh-sungguh serius dalam mengisahkan ceritanya, seolah hanya raganya yang ada di ruangan itu, tapi pikirannya tenggelam dalam kenangan.

Perubahan tipis di air mukanya menunjukkan seolah-olah sampai sekarang pun Indro masih tak menyangka ayahnya berpesan begitu. Apalagi, pesan ayahnya itu ditulis jauh sebelum Orde Baru berkuasa mulai 1966.

Namun, Indro tidak membantah permintaan dari sang ayah. Selayaknya prajurit mengikuti arahan komandan, Indro manut ikuti pesan ayahnya. Ia kubur mimpinya untuk mengenakan seragam dan memilih kuliah di Universitas Pancasila.

Tak ayal jalan hidupnya jauh berbeda dari jejak keluarga besar yang dominan berlatar belakang militer. Namun, ia tak gentar demi mengikuti pesan sang ayah. Ibunya juga merestui, bahkan berharap Indro punya titel yang berbeda.

"Ibu saya bilang, 'Kamu mbok punya titel lah, jangan polisi juga. Titelnya jangan jenderal lah, jangan kolonel. Insinyur kek, dokterandus kek,'" tutur Indro mengenang pesan sang Ibu.

Restu ibu pun berlanjut ketika dia memutuskan menjadi komedian. Ibu tercintanya sama sekali tidak keberatan dengan pilihan profesi Indro, selama tidak menyusahkan atau merugikan orang lain.

Setelah itu, sejarah lah yang berbicara.

Suatu hari di penghujung dekade '70-an. Pikiran Kasino berkelana. Grup Warung Kopi Prambors yang sudah ia jalankan bersama Dono, Indro, Nanu Moeljono serta Rudy Badil dapat tawaran menggiurkan: sebuah proyek film layar lebar.

Untuk sebuah grup komedi yang memulai karier dari radio dan panggung kampus, jelas ini langkah besar. Dono yang memiliki otak cemerlang diminta Kasino melakukan riset. Indro, Nanu, dan Rudy ikut berembug.

Grup Warkop pun sepakat terjun ke depan kamera, meski Rudy tak ikut serta. Mereka lalu bekerja sama dengan sutradara Nawi Ismail menggarap langkah pertama grup tersebut di industri film lewat Mana Tahaaan… yang rilis pada 1979.

Film komedi yang mereka tulis sendiri itu sukses di pasaran. Mana Tahaaan… mencatatkan 400 ribu lebih penonton, sebuah angka yang besar pada saat itu, terutama di masa Orde Baru yang terbilang ketat untuk urusan tayangan publik.

Film itu pula yang mengantarkan nama Warkop ke audiens yang lebih luas dari sekadar siaran radio dan panggung. Warkop DKI meledak bak supernova, mendominasi jagat sinema hingga lebih dari satu dekade selanjutnya.

Empat puluh empat tahun setelah film itu rilis, Indro masih ingat betul bagaimana ia dan kawan-kawannya di Warkop menapak ketenaran karena usaha yang terkonsep dengan baik dalam mengocok perut publik.

Indro menyebut ada peran Rudy Badil sebagai sosok di belakang layar, sebelum Rudy mundur dari Warkop. Ia adalah orang yang bantu menciptakan karakter-karakter dalam Warkop, termasuk Nanu yang lekat dengan Poltak si orang Batak.

Selain itu, tentu ada Kasino dan Dono.

"Mas Kasino itu sebetulnya leader. Dia yang memimpin, dia yang membuat strategi, dia yang melakukan dealing tertentu. Dia yang membuat garis yang harus kami ikuti dan sepakati," kata Indro.

"Mas Dono itu lebih pada kreatif. Seperti diketahui, kami kan dari mulai pertama adalah sebuah grup lawak yang sarat visi-misi. Bukan melawan sih sebetulnya, kontrol sosial lah. Kami terkenal seperti itu, nah Mas Dono tuh fungsinya." lanjutnya.

"Saya itu orang lapangan banget. Saya pegang keuangan dalam perjalanannya. Ketika ada proyek-proyek tertentu pasti saya yang urus," kata Indro. "Misalnya apa ya? Kaset! Kaset kami cari bahan, kami beli bahan, beli materi."

Visi dan misi serta segala idealisme itu terlihat dari pendekatan Warkop terhadap komedi. Mereka tak sekadar membanyol, tapi juga menggarap guyonan yang akan ditampilkan dengan serius dan teliti.

Indro pun menampilkan itu sepanjang perbincangan. Seolah-olah, falsafah dan pemikiran kritis Kasino dan Dono yang selama bertahun-tahun terekam dalam ingatannya otomatis keluar kala pembahasan soal Warkop semakin dalam dan serius.

Misalnya ketika Indro membahas soal misi Warkop, yakni mewakili rakyat lewat komedi. Misi yang terasa begitu revolusioner di tengah era tumbuh grup tersebut yang penuh dengan pembatasan berekspresi.

Situasi penuh tekanan dari penguasa negeri kala itu pula yang membentuk Warkop, baik secara individu, tim, dan kreasinya. Mereka mungkin terlihat sebagai grup komedi, tapi esensinya, Warkop adalah perwujudan wakil rakyat yang riil.

"Dulu enggak kenal DPR. Ada DPR, tapi fungsinya apa kita enggak tahu bahkan," seloroh Indro.

"Kami menganggap obrolan di warung kopi adalah obrolan paling bebas, paling demokratis di Indonesia," kata Indro.

Warkop dengan kemampuan mereka mengonsep komedi secara apik memang sebuah fenomena langka. Maka wajar ketika pada masa kejayaan mereka di dekade '80-an, grup trisula ini bisa mendefinisikan masa laris penjualan film: momen lebaran dan akhir tahun.

Bahkan dua periode emas untuk tayang film itu masih berlaku hingga kini.

Pada masa itu, film Warkop DKI begitu laris saat tayang. Warga berbondong ke bioskop, konon nyaris selalu menyebabkan antrean yang mengular.

"Warkop ini adalah cerminan dari hiburan masyarakat," kata CEO Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) Novrita Widiyastuti, dalam kesempatan terpisah.

"Di tengah ketakutan, seperti ada ventilasi, harapan bahwa mereka bisa terwakili keresahannya dengan tertawa," lanjutnya.

"Warkop itu hadir, berada dalam ketegangan, dan Warkop ada di dalamnya. Sangat mengerti tentang kondisi masyarakat yang tegang saat itu, kemudian bisa dilepaskan dengan tertawa," kata Novrita.

Namun bukan berarti Warkop DKI berjalan mulus. Pernah pada masanya, trisula ini berada dalam 'musim dingin' bertahun-tahun.

Indro ingat betul saat dua sahabat yang sudah dianggap seperti abang-abangnya itu seolah saling tak mengenal di luar sorot kamera.

"Mas Dono sama Mas Kasino sempat enggak omong tiga tahun, kalau kita lagi bertiga. Kalau ada orang, (baru) mau omong," kata Indro.

Indro mengernyitkan dahi mengenang kecanggungan yang harus ia hadapi karena berada di tengah hubungan dingin dua senior yang sudah ia anggap abang sendiri itu.

Sorotan matanya menajam. Nada bicaranya sedikit naik. Sampai akhirnya lipatan di dahi Indro mengendur ketika dia mengatakan resep yang membuat mereka bertiga tetap bertahan.

"Tapi mereka enggak ada sedikitpun omong 'kalau enggak suka begini, ya bubar aja kita' atau 'gue keluar'. Itulah masyarakat di sebuah negara," katanya.

"Warkop membela kebersamaan. Makanya Warkop itu sebetulnya tidak percaya persatuan. Kami percaya dalam sebuah persatuan ada kebersamaan. Itu yang dibangun, bukan persatuannya," kata Indro.

Cobaan terhadap Warkop bukan hanya dari internal grup, tetapi juga dari luar. Indro ingat betul mereka pernah mendapatkan tawaran manggung untuk kampanye hingga Rp1 miliar yang amat besar pada masa itu.

Namun kesepakatan Warkop DKI untuk tetap independen dan tak terlibat dengan politik membuat tawaran ini harus dihempas jauh.

Bukan hanya itu. Komedi satire Warkop DKI juga membuahkan berbagai ancaman keselamatan seperti ancaman serangan atau dibunuh. Bukan hanya sekali, beberapa kali. Namun Warkop DKI tak goyah.

"Aku itu harus bilang bahwa aku tidak sepandai mereka [Kasino dan Dono]" kata Indro. "Ya namanya lebih senior."

"Mereka menentukan itu sehingga mereka memberikan contoh kepada saya. Memberikan contoh kepada saya apa arti sebuah prinsip. Apa arti sebuah ideologi," lanjutnya.

Harga prinsip dan ideologi itu pula yang mendorong Dono dan Indro terjun ke masa pergolakan Reformasi Mei 1998 sepeninggal Kasino pada 1997 karena tumor otak.

Dono yang memiliki jiwa akademisi dan otak brilian adalah garda terdepan di atas panggung orasi dan renungan reformasi. Sementara Indro kembali mengurus urusan logistik secara inkognito demi menjaga marwah Warkop DKI tetap independen.

"Saya harus pakai masker. Harus pakai tutup muka. Karena kalau saya berdua di situ berarti (mengusung identitas) Warkop. Bukan Dono Warkop, bukan Indro Warkop, tapi Warkop," kata Indro soal masa gejolak Mei 1998.

Hanya suara Indro Warkop yang ada di ruangan tamu rumahnya. Jalanan depan rumahnya sunyi dengan cuaca terik dan berhawa panas. Namun Indro tak terpengaruh, kenangannya akan masa-masa dengan Dono dan Kasino masih mengalir deras.

Pembicaraan serius tentang ide dan gagasan selama sejam lebih akhirnya mencair saat membicarakan momen jenaka di antara mereka bertiga. Untuk pertama kali sejak awal wawancara, Indro terkikih dengan ceritanya sendiri.

"Kasino itu, enggak tahu kenapa cocok bener sama aku kalau aku sudah mulai jahil. Pasti melihat aku begitu," kata Indro dengan suara serak dan tatapan terselip kerinduan. "Misalnya dia mau jahilin, aku dari mata saja sudah tahu,"

"Kalau Dono serius, serius banget. Dan dia humanis, dia humanis banget. Semua orang diajak omong Jawa sama dia. Semua orang dianggap mengerti bahasa Jawa," kata Indro.

Ia pun teringat satu momen jenaka ketika anak-anak penjual koran di jalan meraup muka Dono karena terlalu ‘menggemaskan’. Nada suara Indro berubah riang dan bersemangat sembari sesekali memeragakan gaya Dono berbicara dalam bahasa Jawa, seolah Indro versi layar kaca hadir di ruangan itu.

Tatapan Indro juga terlihat berbinar saat dirinya bercerita soal cita-cita Warkop. Kata Indro, Warkop memiliki cita-cita membuat dunia komedi di Indonesia berwarna. Bukan hanya dari mereka, tapi juga dari grup komedi lainnya.

"Warkop itu ingin banget komedi di Indonesia ini colorful. Kenapa? Karena yang kami pelajari benar-benar colorful," kata Indro.

"Di setiap etnis ada komedinya. Misal Jakarta punya lenong, Jawa punya ketoprak, Jatim punya ludruk, masuk Lampung Palembang punya Dul Muluk, terus sampai mana pun," lanjutnya.

"Jadi, bangsa ini sebetulnya bangsa komedi banget. Sehingga setelah kami, kami memang semacam merangsang itu semua." katanya.

"Mas Dono dan Mas Kasino bilang selalu, 'Lu itu Warkop. Jadi nanti lu tinggal sendiri pun, ya Warkop tinggal lu, Indro Warkop'."

Suara Indro Warkop terdengar lebih berat dari sebelumnya saat mengucapkan kalimat tersebut. Mengakui dan menerima jalan takdir sebagai 'the last man standing' dari grup komedi legendaris Indonesia jelas bukan hal ringan.

Tangannya sesekali mengepal. Ia duduk dengan begitu nyaman hingga perbincangan dua jam pun tak membuat ia risih hingga berganti-ganti posisi duduk. Matanya sesekali menatap ke langit-langit, seolah mencari kenangan dari puluhan tahun silam.

"Oleh karena itu, mereka selalu bilang, 'Bendera Warkop ada di pundak lu'," kata Indro kemudian terdiam dan menyisakan suara sayup-sayup kendaraan dari komplek rumahnya yang nyaris hening.

Indro mengenang ketika dirinya ditinggal dua personel Warkop DKI satu per satu.

Kasino Hadiwibowo meninggal pada usia 47 tahun tanggal 18 Desember 1997 setelah berjuang melawan tumor otak. Pada hari itu, Warkop DKI kehilangan sosok pemimpin dan ahli strategi yang merancang garis tujuan grup tersebut.

Tritunggal kehilangan keseimbangan. Apalagi bagi Indro, angka tiga memiliki makna mendalam terutama dalam hal keseimbangan dan keselarasan.

Sejak 1998, Warkop menjadi duo. Namun hanya tiga tahun berjalan, pada 30 Desember 2001, Wahjoe Sardono meninggalkan Indro sendirian setelah berjuang melawan kanker paru-paru.

Kala itu, Indro ada di samping Dono yang terbaring di sebuah ruangan di Rumah Sakit St Carolus, Jakarta Pusat.

Jam di dinding sudah menunjukkan sekitar pukul 4.00 WIB, jelang waktu subuh. Indro sadar Dono akan bicara kepadanya. Dono yang dikenal berotak brilian dan selalu berbahasa Jawa itu menggerakkan mulutnya.

"Saya tahu saya mau berangkat..." kata Dono.

"Saya cuma resah anak saya yang paling gede itu baru masuk kuliah, apa bisa dia pegang adik-adiknya?" lanjutnya.

Indro terdiam sejenak.

"Lu mesti percaya Tuhan Maha Memelihara juga. Tapi Mas Don, gue sebagai teman lo, adek lo, sahabat lo, gue enggak akan diam," kata Indro.

Di momen itu Indro sendiri sebenarnya tak yakin apa yang akan terjadi bila ia sungguh menjadi satu-satunya yang tersisa dari Warkop. Apakah ia sungguh bisa bertahan mengingat mereka selalu bertiga bersama tiga dekade?

"Tapi kalau itu terjadi..." Indro melanjutkan.

"Hal yang perlu dan terjadi, aku cangcut [turun tangan]. Dan aku janji anakmu akan makan seperti anak saya makan, anakmu akan sekolah seperti anak saya sekolah. Saya janji itu." kata Indro.

Dono meninggal dunia keesokan harinya pada usia 50 tahun.

Dua puluh dua tahun setelah itu, di depan kami Indro tersenyum simpul mengenang janjinya. Di seberang tempat ia duduk, terpajang tiga foto anak-anaknya yang kini sudah dewasa. Bahkan Indro sudah mendapatkan cucu dari anaknya.

Sementara itu, di belahan dunia yang berbeda, salah satu putra Dono yang bernama Damar Canggih Wicaksono bekerja sebagai seorang ilmuwan nuklir di Center for Advanced Systems Understanding, Helmholtz-Zentrum Dresden Rossendorf, Dresden, Jerman.

"Boleh percaya atau enggak, namanya saya sendiri kan mulai pahit tuh. Tapi untuk anak-anak mereka, Tuhan kasih jalan. Ada saja," kata Indro.

"Bukan sekadar gaji saya, saya potong sekian untuk anak-anak. Bukan sekadar itu, ada aja hal-hal tiba-tiba datang begitu untuk anak-anak." lanjutnya.

Perjuangan dan perjalanan sendirian Indro dimulai sepeninggal Dono. Ia menyebut butuh waktu bagi dirinya untuk bangkit dari keterpurukan menerima fakta, tritunggal kini tinggal setunggal.

Namun alih-alih langsung bekerja karena mengingat ada anak-anak tiga keluarga yang harus dinafkahi, Indro memilih kembali pada falsafah Warkop DKI yang ia sepakati semasa masih bersama Kasino dan Dono: kebersamaan.

Dengan adanya kebersamaan, maka tercipta persatuan.

Indro memilih rehat setahun begitu resmi menjadi orang terakhir yang tersisa dari Warkop DKI. Ia mengumpulkan anak-anaknya dengan anak-anak Dono dan Kasino. Harapannya, mereka semua akan bisa merasa sebagai sebuah keluarga besar yang bisa saling menguatkan.

"Saya ingin Warkop ini secara soul tetap ada." kata Indro.

"Saya benahi dulu, sampai akhirnya saya punya rasa percaya diri untuk berani berkarya lagi sampai sekarang. Alhamdulillah anak-anak satu per satu sudah mentas semuanya, punya sekolah yang baik dan pendidikan yang benar." lanjutnya.

Tak ada sosok lain yang menguatkan Indro semasa membangun fondasi bangunan baru yang lebih besar kala itu selain cinta sejatinya, Nita Octobijanthy. Nita, perempuan yang menikah dengannya sejak 1981 itu adalah batu karangnya sekaligus rumah tempatnya kembali.

Nita adalah tempat Indro bertukar pikiran dan mencurahkan perasaan hatinya, sekaligus tangan kanannya dalam membesarkan anak-anak mereka yang juga butuh perhatian orang tua.

"Orang bilang kan di balik lelaki yang hebat pasti ada pendamping yang lebih hebat. Kira-kira itu," kata Indro sembari tersenyum ditanya soal sosok penguatnya.

Salah satu fondasi bangunan baru yang kemudian dilakukan Indro adalah mendaftarkan hak kekayaan intelektual atas Warkop DKI. Selain itu, ia juga membangun Lembaga Warkop DKI sebagai wadah para keturunan Warkop untuk berkumpul dan menjaga legasi orang tua mereka.

Hak kekayaan intelektual Warkop kemudian resmi terdaftar pada Januari 2004 atas nama tujuh orang anak-anak Dono, Kasino, dan Indro.

Falcon Pictures pun kemudian mendapatkan lampu hijau dari Indro untuk menggarap ulang ketiga karakter komedian itu menjadi Warkop DKI Reborn yang rilis 2016 dan berlanjut ke beberapa proyek setelahnya.

Bukan semata soal royalti ataupun cuan, Indro hanya ingin Warkop DKI tetap lestari dan dihargai dengan layak juga apresiasi. Apalagi tahun ini adalah usia ke-50 grup komedian tersebut.

"Insyaallah nanti 50 tahun Warkop tahun ini, kita lihat [kejutan] lagi," lanjut Indro dengan senyuman penuh misteri tersungging di bibirnya.

Indro semula mengira sudah bisa menikmati usia senjanya. Anak-anaknya dan dari dua sahabatnya sudah dewasa, legasi Warkop DKI pun terjaga. Namun ia tak pernah menyangka belahan hatinya akan pergi lebih dulu darinya.

Nita Octobijanthy meninggal dunia pada 9 Oktober 2018 pukul 20.32 WIB, sehari setelah ulang tahunnya dan setahun berjuang melawan kanker.

Kehilangan dua sahabat terbaik dan rekan kerja serta ideologi rupanya belum cukup sebagai ujian bagi Indro. Ada ujian yang menyesakkan ketika ia harus merelakan istrinya.

Saat Nita meninggal, Indro bukan cuma kehilangan pasangan dan cinta seumur hidup, tapi juga rekan dalam membesarkan anak mereka: Ipoet, Hada, dan Harley. Rona kehilangan itu pun kini masih terlihat dari sorotan pria 65 tahun tersebut.

"Sejujurnya, setelah istri saya meninggal, saya enggak mengerti berkomunikasi dengan mereka," kata Indro pelan soal anak-anaknya.

"Saya ingin kasih tips untuk anak laki-laki. Dari sekarang dekatlah dengan anak, walaupun kalian cari makan. Dekatlah, jangan didelegasikan," lanjutnya menatap dengan dalam.

Hingga saat ini, Indro masih mencari cara untuk bisa berbicara dari hati ke hati dengan ketiga anaknya. Meski begitu, kehadiran anak-anak dalam hidup Indro adalah anugerah yang selalu dia syukuri.

Meski masih berusaha berkomunikasi dari hati ke hati, Indro merasa seperti melihat dirinya sendiri saat melihat ketiga anaknya, karena kesamaan mereka dalam berbagai hal.

Ia memutar pandangan ke salah satu dinding ruang tamu. Matanya terkunci pada tiga bingkai foto yang menampilkan Ipoet, Hada, dan Harley.

Ipoet di mata Indro punya masa muda yang mirip dengannya karena sesama biker. Sementara darah aktivis dan pemikir kritis Indro mengalir dalam diri Hada, yang ia banggakan karena menyandang Magister Hukum.

Sementara itu, Harley melengkapi hidup Indro dan Nita ketika hadir sebagai anak bungsu. Ia ikut menjadi biker, tetapi juga "dimanja dan disayang" ibunya.

"Saya punya anak yang lengkap. Bahkan, jeleknya juga turun [dari] saya. Jadi saya punya anak yang lengkap banget. Saya syukuri betul kurang lebihnya anak saya," kata Indro.

Kehidupan Indrodjojo Kusumonegoro kini terbilang lengkaplah sudah, meski sebagian dari mereka yang penting dalam hidupnya sudah pergi lebih dulu.

Terlepas dari itu, Indro belum mau pensiun. Baginya yang memilih jalan sebagai seniman dibanding keluarganya yang berlatar militer, profesinya ini tak mengenal kata purna.

Bagi Indro, karya bagi seorang seniman setara dengan nyawa. Karya adalah napasnya, pikirnya, dan kalbunya. Selama Tuhan masih memberikan ia kesempatan untuk berkarya, kata Indro, ia akan tetap hidup.

"Tinggal Tuhan yang atur karya saya masih bisa dinikmati atau enggak, atau kemudian saya harus kehabisan karya sesuai dengan saya kehabisan napas," kata Indro.

Saat perbincangan kami hampir menemui garis finis, sinar matahari sudah mulai kejinggaan. Hawa panas pun berganti semilir angin sejuk yang sepoi-sepoi masuk ke ruangan itu.

Indro sempat terdiam ketika pertanyaan seperti apa ia ingin dikenang dilontarkan. Namun, ia memilih jawaban yang sedari awal sudah terlihat dari auranya ketika memasuki ruangan untuk berbincang Runtai: menjadi seorang bapak.

"Saya ingin dikenang sebagai seorang bapak mungkin ya. Bukan hanya untuk anak-anak saya, tapi bapak untuk anak-anak banyak orang. Artinya, saya bisa berbuat sesuatu." kata Indro.

"Jadi kalau toh, saya minta dikenang, paling itu. Saya ingin mengingatkan bahwa kita makhluk sosial, kita hidup harus punya guna untuk sesama," tutupnya.