Wajah Indro dewasa serius mengisahkan momen itu. Dahinya mengernyit. Ia sungguh-sungguh serius dalam mengisahkan ceritanya, seolah hanya raganya yang ada di ruangan itu, tapi pikirannya tenggelam dalam kenangan.
Perubahan tipis di air mukanya menunjukkan seolah-olah sampai sekarang pun Indro masih tak menyangka ayahnya berpesan begitu. Apalagi, pesan ayahnya itu ditulis jauh sebelum Orde Baru berkuasa mulai 1966.
Namun, Indro tidak membantah permintaan dari sang ayah. Selayaknya prajurit mengikuti arahan komandan, Indro manut ikuti pesan ayahnya. Ia kubur mimpinya untuk mengenakan seragam dan memilih kuliah di Universitas Pancasila.
Tak ayal jalan hidupnya jauh berbeda dari jejak keluarga besar yang dominan berlatar belakang militer. Namun, ia tak gentar demi mengikuti pesan sang ayah. Ibunya juga merestui, bahkan berharap Indro punya titel yang berbeda.
"Ibu saya bilang, 'Kamu mbok punya titel lah, jangan polisi juga. Titelnya jangan jenderal lah, jangan kolonel. Insinyur kek, dokterandus kek,'" tutur Indro mengenang pesan sang Ibu.
Restu ibu pun berlanjut ketika dia memutuskan menjadi komedian. Ibu tercintanya sama sekali tidak keberatan dengan pilihan profesi Indro, selama tidak menyusahkan atau merugikan orang lain.
Setelah itu, sejarah lah yang berbicara.
Suatu hari di penghujung dekade '70-an. Pikiran Kasino berkelana. Grup Warung Kopi Prambors yang sudah ia jalankan bersama Dono, Indro, Nanu Moeljono serta Rudy Badil dapat tawaran menggiurkan: sebuah proyek film layar lebar.
Untuk sebuah grup komedi yang memulai karier dari radio dan panggung kampus, jelas ini langkah besar. Dono yang memiliki otak cemerlang diminta Kasino melakukan riset. Indro, Nanu, dan Rudy ikut berembug.
Grup Warkop pun sepakat terjun ke depan kamera, meski Rudy tak ikut serta. Mereka lalu bekerja sama dengan sutradara Nawi Ismail menggarap langkah pertama grup tersebut di industri film lewat Mana Tahaaan… yang rilis pada 1979.
Film komedi yang mereka tulis sendiri itu sukses di pasaran. Mana Tahaaan… mencatatkan 400 ribu lebih penonton, sebuah angka yang besar pada saat itu, terutama di masa Orde Baru yang terbilang ketat untuk urusan tayangan publik.
Film itu pula yang mengantarkan nama Warkop ke audiens yang lebih luas dari sekadar siaran radio dan panggung. Warkop DKI meledak bak supernova, mendominasi jagat sinema hingga lebih dari satu dekade selanjutnya.
Empat puluh empat tahun setelah film itu rilis, Indro masih ingat betul bagaimana ia dan kawan-kawannya di Warkop menapak ketenaran karena usaha yang terkonsep dengan baik dalam mengocok perut publik.
Indro menyebut ada peran Rudy Badil sebagai sosok di belakang layar, sebelum Rudy mundur dari Warkop. Ia adalah orang yang bantu menciptakan karakter-karakter dalam Warkop, termasuk Nanu yang lekat dengan Poltak si orang Batak.
Selain itu, tentu ada Kasino dan Dono.
"Mas Kasino itu sebetulnya leader. Dia yang memimpin, dia yang membuat strategi, dia yang melakukan dealing tertentu. Dia yang membuat garis yang harus kami ikuti dan sepakati," kata Indro.
"Mas Dono itu lebih pada kreatif. Seperti diketahui, kami kan dari mulai pertama adalah sebuah grup lawak yang sarat visi-misi. Bukan melawan sih sebetulnya, kontrol sosial lah. Kami terkenal seperti itu, nah Mas Dono tuh fungsinya." lanjutnya.
"Saya itu orang lapangan banget. Saya pegang keuangan dalam perjalanannya. Ketika ada proyek-proyek tertentu pasti saya yang urus," kata Indro. "Misalnya apa ya? Kaset! Kaset kami cari bahan, kami beli bahan, beli materi."