Runtai

Dramaturgi
Slamet Rahardjo

Suatu hari di dekade '60-an. Seorang lelaki muda tengah menghadapi ujian mata kuliahnya membuat dekorasi panggung. Ujian yang jadi salah satu syarat lulus salah satu mata kuliah art directing di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) Yogyakarta.

Namun, rasa malas menggerogotinya.

Anak muda bernama Slamet itu lebih memilih menonton teman-teman kampusnya yang sedang latihan di panggung teater. Slamet memandang mereka dengan cermat. Diamatinya gerak-gerik para pemain.

"Berlebihan.." komentarnya dalam hati.

Apa boleh bikin. Tatapan menghakimi Slamet ditangkap oleh dosennya, Teguh Karya. Nama yang saat itu juga sudah menggaung di dunia teater.

"Hei, kenapa kamu?" tanya Teguh.

"Enggak," jawab Slamet kaget.

"Kenapa?" selidik Teguh.

"Enggak mau, enggak enak," jawab Slamet sungkan.

"Enggak enak apa?" telisik Teguh.

"Enggak berani ngomongnya saya," kilah Slamet.

"Pemainnya jelek ya?" tanya Teguh.

Slamet pelan menggelengkan kepalanya. Namun, karena kadung sudah tertangkap basah, akhirnya ia buka mulut atas penilaiannya. Siapa sangka, justru ia ditantang.

"Oke, sekarang kamu naik ke panggung! Kalau kamu tidak suka teater, tunjukkan bagaimana supaya kita bisa suka!" kata Teguh.

"Mampus.. Mampus..." batin Slamet.

Slamet mendadak jadi sorotan. Bocah baru masuk kuliah sudah membuat perkara dengan dosen. Memang siapa sih Slamet Rahardjo?

Langkah kaki Slamet berjalan pelan menuju panggung. Sesungguhnya ia seorang pemuda yang tak banyak tampil. Pemalu. Jangankan berteater, sejak SD hingga SMA saja, kalau diminta menyanyi dia selalu berdiri di belakang papan tulis.

Beruntungnya Slamet acap kali lihat kawan-kawannya latihan. Meski diliputi ketakutan, dialog-dialog meluncur mulus dari dari bibirnya, seolah tak perlu dibantu otak untuk memilih apa yang semestinya dikeluarkan.

Satu menit.

Dua menit.

Tiga menit.

Tangan dan tubuhnya bergerak mengikuti imaji yang berputar dalam benaknya. Setelahnya, ia lupa. Tak tahu harus bicara apa.

Saat Slamet membuka mata dan tersadar, semua mata menatap dirinya. Hening. Ia sendirian di atas panggung. Grogi dan malu menjalar naik merayapi tubuhnya. Tiba-tiba dengkulnya lemas, bulu romanya bereaksi, badannya seolah merasa tak nyaman.

Slamet pun menunduk dan berjalan turun dari panggung menuju bengkel dekornya dengan iringan tatapan sekeliling. Ia pura-pura kembali bekerja.

Tapi Teguh sudah tak marah lagi.

Slamet, sang sulung dari tujuh bersaudara sesungguhnya tidak pernah suka teater, meski memang tumbuh di lingkungan seni yang subur di Yogyakarta sejak usia 11 tahun.

Ibunda Slamet, Ennie Tanudiredja, pandai dalam membuat mural. Sementara bapaknya, Djarot Djojoprawiro, seorang tentara yang mengajarkan disiplin sejak Slamet kecil.

Beranjak dewasa, Slamet lebih ingin mengikuti jejak ibunya, yang selalu mengajarkan soal rasa. Ia pun sejak kecil terbiasa melihat lukisan Affandi, sajak-sajak WS Rendra, hingga penampilan apik S. Bagio, yang tak langsung membuat standarnya tinggi untuk soal seni.

Takdir menariknya ke dunia teater ketika Teguh Karya menghampirinya pada petang, di hari yang sama usai Slamet ditantang tampil di panggung.

"Eh, Arab! Sudah makan belum?" kata Teguh.

"Belum," jawab Slamet.

"Temenin gue makan," suruh Teguh.

Dosen bertitah, mahasiswa bisa apa? Slamet mengekor Teguh Karya untuk makan dan ditraktir, dan "perbaikan gizi" bagi mahasiswa yang kantongnya acap kali kering. Sore itu makannya lahap sekali.

"Kamu lulus," kata Teguh Karya tiba-tiba.

"Hah?" kata Slamet melepas tatapannya dari makanan.

"Kamu lulus."

"Lulus apa, Pak?"

"Mayor (jurusan) kamu harus diganti. Akting."

Berbagai alasan penolakan Slamet tak mempan bagi Teguh. Dosennya bersikukuh Slamet punya bakat jadi aktor. Titah itu tak terhindarkan.

Sejak saat itu, Slamet Rahardjo menyapa dunia teater.

Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Slamet masih ikut Teguh. Termasuk, saat Teguh mendapatkan perintah dari Presiden Soekarno untuk membentuk sebuah komunitas teater. Slamet pun digeret Teguh masuk.

Salah satu pengejawantahan titah itu adalah dengan merancang suatu pertunjukan di Hotel Indonesia, tempat yang jadi salah satu ikon Tanah Air. Menurut Soekarno kala itu, Hotel Indonesia tak boleh hanya menjual tempat tidur dan makanan, tapi juga harus “menjual” seni.

Teguh pun membentuk Teater Populer Hotel Indonesia pada 1968, yang di kemudian hari dikenal tanpa menggunakan embel-embel "hotel" di namanya.

Teguh juga punya rumah yang dijadikan markas di kawasan Kebon Pala, Tanah Abang. Rumah yang dibangun pada abad ke-19 itu kemudian selasarnya didesain model amphitheater mini agar bisa digunakan untuk latihan.

Untuk salah satu penampilan, Teater Populer kemudian memilih adaptasi naskah karya Henrik Ibsen, berjudul asli Ghosts (Kammerherre Alving).

"Nih!" kata Teguh ke Slamet sambil menyerahkan naskah bertajuk Ghosts.

"Apa?" tanya Slamet.

"Hafalkan!" kata Teguh.

Slamet diminta memerankan seorang laki-laki bernama Oswald. Naskah itu mengisahkan Oswald menjalin kasih dengan perempuan bernama Regina, yang juga adik tiri dari ibu yang berbeda.

Mata Oswald hampir buta karena kena kuman sifilis dari ayahnya. Kondisi itu tak bisa diterima oleh Regina. Regina mencampakkan Oswald. Oswald yang nelangsa meminta sang ibu menghentikan penderitaan dan hidupnya dengan morfin.

Pada bagian epilog, dikisahkan sebuah kapal di pelabuhan akan berangkat meninggalkan Oswald. Namun ia yang sudah putus asa di tempat itu, merengek memohon untuk bisa ikut dibawa ke sebuah tempat yang indah.

"Bawa aku! Bawa aku! Bawa aku pergi! Bawa aku ke matahari!" rintih Slamet Rahardjo menjadi Oswald di panggung Balai Budaya.

Lampu gelap. Pertunjukan selesai.

Slamet membuka mata. Di tengah riuh penonton dan kru yang merapikan set penampilan, Slamet terbengong. Selama pertunjukan, Slamet merasa bukan dirinya di atas panggung itu. Ia adalah Oswald.

Beberapa hari kemudian, Salim Said yang merupakan seorang kritikus terkemuka menerbitkan ulasan pertunjukan itu pada sebuah surat kabar. Slamet dan teman-temannya pun bersemangat membaca koran itu.

Dalam diri Slamet, ada gejolak dalam perutnya saat melihat tajuk ulasan tersebut. Ia merasakan kegairahan, detak jantungnya berpacu lebih cepat, dan ujung bibirnya tersenyum tanpa diminta saat ia melihat empat kata yang ditulis Salim Said:

"Seorang Aktor Telah Lahir!"

Salim Said memuji Slamet Rahardjo setinggi langit. Pujian itu pun membuat semangat Slamet berkobar dan membantu menemukan tujuan hidupnya: menjadi seorang aktor teater.

Slamet muda pun menjalani harinya penuh semangat sebagai seorang aktor teater. Di usia yang masih 19 tahun.

Dua tahun kemudian, jalan hidup Slamet berubah kembali ketika Teguh Karya akan menggarap sebuah film. Film itu diberi tajuk Wadjah Seorang Laki-laki. Lagi-lagi, Teguh mengandalkan Slamet.

"Kenapa film? Kan orang teater?" tanya Slamet saat melihat naskah dari Teguh Karya.

"Ini cerita, bukan teater, Slamet. Ini cerita akan cocok jadi film," balas Teguh Karya.

Wadjah Seorang Laki-laki yang rilis 1971 pun jadi debut Slamet Rahardjo di layar lebar. Dalam film itu, ia beradu peran dengan Rima Melati.

Selepas film itu, Teguh Karya membuat film lagi yang diberi judul Cinta Pertama dan kembali menggeret Slamet Rahardjo. Namun kali ini, Slamet disandingkan dengan seorang perempuan muda yang juga 'ditemukan' oleh Teguh. Perempuan bernama Christine Hakim.

Penampilan Slamet dan Christine Hakim dalam film itu di luar bayangan. Keduanya memiliki kemampuan akting yang sepadan, bahkan bagai cerminan satu sama lain. Keduanya adalah sejoli dalam panggung akting. Keduanya adalah 'anak' Teguh Karya.

Slamet Rahardjo makin tenar. Kemampuan aktingnya memikat banyak orang.

Sesungguhnya sinar Slamet baik di layar lebar maupun panggung teater ini tak disangka-sangka oleh adiknya sendiri, Eros Djarot.

Eros ingat betul betapa Slamet sebelum bertemu Teguh Karya adalah orang yang pemalu dan lebih sering di balik panggung dibanding dirinya yang memilih jalur musik.

"Jangankan di panggung. Disuruh menyanyi saja pasti kencing ketakutan," kata Eros ketika berbincang dengan CNN Indonesia.

Eros mengenang ketika ia duduk di bangku SMA dan melihat penampilan Slamet bermain peran. Tanpa ia sadari, air mata membasahi pipinya kala itu. Bukan hanya karena akting Slamet yang menyentuh, tapi juga karena kisah keluarganya.

Eros sadar ia dan Slamet memiliki kisah keluarga yang tak sebahagia cerita dongeng. Ibu mereka yang seniman dan ayah mereka yang tentara berpisah saat mereka masih muda.

Slamet dan Eros sebagai anak pertama dan kedua ikut dengan bapak mereka, dan disusul dua adik mereka yang lain. Sementara tiga adik terbungsu ikut dengan ibu mereka.

Kondisi keluarga yang pecah ternyata tak menghalangi Slamet untuk mengembangkan bakat yang mengalir dari ibu mereka. Eros selalu ingat bagaimana Slamet dengan tekun mengikuti nasihat ibunya soal rasa juga cinta, dan nasihat ayahnya soal kedisiplinan juga komitmen.

"Bisa juga ya dia," batin Eros terkagum-kagum. "Dia betul-betul berubah 180 derajat,"

"Ini kejutan luar biasa."

Aku Suka Media Ini

Seorang remaja yang masih duduk di bangku SMP melihat langit sudah berubah jadi kelam. Saat mengamati langit itu, bapaknya datang.

"Slamet, bantu bapak kuburi paman!" kata bapak.

Sebelumnya Slamet tak pernah memakamkan orang. Dengan tubuh remajanya yang kurus, rasanya mengangkat jenazah orang dewasa menjadi tidak mungkin. Namun siapa yang bisa menolak permintaan bapak.

Slamet pun turun ke liang lahat 2x1 meter itu. Saat mereka berusaha untuk menempatkan jenazah ke liang lahat, sesuatu yang ganjil terjadi. Sukar untuk memasukkan jenazah. Deru angin kencang dan langit kelam kala itu juga tak membantu.

Begitu jenazah masuk dan dimiringkan ke arah kiblat, Slamet menoleh ke langit. Bersamaan itu pula, langit menyambut tatapan Slamet dengan pancaran kilat dan gemuruh guntur.

Slamet Rahardjo merasa dirinya kecil di dalam lubang tanah itu.

"(Ingatan) Itu yang kemudian saya jadikan kamar saya di sini," kata Slamet Rahardjo, duduk santai di Teater Populer di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada suatu hari di awal Agustus 2023.

Tangan Slamet menunjuk suatu sudut di bangunan peninggalan abad ke-19 yang menyempil di tengah permukiman padat Tanah Abang. Ruangan berukuran 2x2 meter yang kini sudah berubah fungsi jadi kamar mandi itu pernah jadi 'pertapaan' Slamet Rahardjo.

Semasa Slamet muda, ia tidur di sana. Meski sempit, di ruangan itu Slamet banyak merenung.

Banyak hal ia pikirkan, termasuk soal kehidupan yang kemudian membantunya saat tampil di panggung teater. Tinggal di 'kuburan' itu membuat Slamet merasa hidup.

Slamet setia di belakang Teguh Karya ketika gurunya itu tidak hanya menggarap teater, tapi juga merambah ke medium lain, yaitu film panjang. Slamet mengakui, perubahan Teguh Karya dari teater ke film sempat membuat dirinya bertanya-tanya.

Teguh Karya pun menjelaskan kepada Slamet perbedaan teater dengan film, mulai dari soal pengadegan, alur cerita, sudut pandang, hingga dramaturgi. Slamet merasa, tak ada yang berbeda antara film dan teater selain visualisasi dan mediumnya saja.

"Lalu saya tanya, 'ya kenapa enggak di teater aja?'. [Teguh bilang] 'Enggak. Ada sajak-sajak Rendra yang bagus untuk sajak, tapi ada juga yang jadi cerpen'," kata Slamet.

Pertanyaan Slamet memang tak dijawab utuh oleh Teguh Karya. Namun seiring dengan perjalanan menjelajahi film, Slamet merasa jawabannya terkumpul satu per satu.

Dalam film, penggarapan kisah tak mesti runut karena akan disatukan dalam proses penyuntingan. Selain itu, kebutuhan stamina pemain untuk film dan teater pun berbeda. Belum lagi, pemain film dituntut untuk tetap bisa menjiwai peran meski di hadapannya adalah kamera dan kamerawan.

Namun ada satu persamaan antara teater dan film yang Slamet rasakan, yakni dramaturgi. Ia tetap bisa menceritakan indah dan buruknya kehidupan manusia, terlepas dari medium yang mereka gunakan.

"Ini semua cuma masalah di mana kita dan kendaraan kita apa. Tetapi, kontennya adalah tentang kemuliaan manusia," tuturnya.

"Oh Tuhan, aku bilang pada Teguh Karya, aku suka media ini," kenang Slamet.

Perjalanan dan perjuangan Slamet dalam film pun membuahkan hasil. Ia diganjar berbagai penghargaan atas penampilannya. Pertama kali, ia dinobatkan sebagai aktor terbaik dalam ajang Aktor-Aktris Terbaik PWI berkat Cinta Pertama pada 1974.

Kemudian ia meraih lagi kategori itu berkat Ranjang Pengantin pada 1975. Pada film yang sama pula, Slamet Rahardjo meraih Piala Citra pertamanya dalam kategori Pemeran Utama Pria Terbaik pada 1975.

“(Beda teater dan film) Ini semua cuma masalah di mana kita dan kendaraan kita apa. Tetapi, kontennya adalah tentang kemuliaan manusia.”

- Slamet Rahardjo -

Kebahagiaan Slamet memenangi kategori itu tak disambut sama meriahnya oleh sang guru, Teguh Karya. Dia ingat, ketika melaporkan dirinya menang piala pada dekade '70-an, Teguh Karya justru menyuruhnya membuang sampah.

"Pak Teguh, saya dapat piala tadi. Saya aktor terbaik." kata Slamet muda.

"Ya, terus kenapa?" balas Teguh.

"Ya, aku aktor terbaik." jawab Slamet.

"Sudahlah. Tolong tuh, aku enggak bisa menulis. Sampah tuh bau." kata Teguh.

"Maksudnya?" balas Slamet.

"Ya tolong buang sampahlah," perintah Teguh.

"Pak Teguh, aku best actor!" jawab Slamet.

"Ya hubungannya best actor sama sampah apa? Buang!"

Slamet menggerutu sepanjang dirinya mendorong gerobak dengan sampah bersama mendiang Riantiarno menuju kali di kawasan Tanah Abang. Ia kesumat dengan Teguh, sakit hati kemenangannya dianggap angin lalu.

Di tengah gerutu dan sumpah serapah untuk Teguh, Slamet dihampiri sekelompok warga sekitar yang usai melihat berita kemenangan dirinya di Dunia dalam Berita.

"Waduh hebat lo, Met, luar biasa! Bintang film best actor masih mau buang sampah. Lo orang besar!" kata mereka.

Pujian itu rupanya membuat api kekesalan Slamet Rahardjo untuk Teguh Karya padam. Slamet Rahardjo paham, tak sepatutnya pujian menutupi indranya dari nilai-nilai kehidupan yang ia pahami dari panggung teater dan Teguh Karya.

"Teater mengajarkan aku untuk membuka mata, membuka telinga, membuka rasa tentang masalah-masalah kehidupan," kata Slamet di tengah Jakarta yang terik dan berpolusi.

Popularitas Slamet Rahardjo terus menanjak. Ia pun mengembangkan sayap menjadi sutradara lewat Rembulan dan Matahari pada 1979. Film yang ia tulis sendiri dan jadi debut sebagai sutradara itu diganjar Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 1979.

Tahun demi tahun, karya demi karya, baik sebagai aktor maupun sutradara, nama Slamet Rahardjo pun tertancap makin dalam di dunia perfilman Indonesia. Namun, tak sedikit pula yang kaget ia adalah kakak dari Eros Djarot, aktor dan musisi yang juga populer pada dekade '80-an.

Slamet memang berhati-hati dalam menjaga namanya, baik sebagai Slamet Rahardjo ataupun sebagai bagian dari keluarga Djarot. Keduanya, bagi Slamet, punya makna teramat mendalam.

Dulu kala, kakek Slamet pernah memberikan pesan kepadanya untuk menjadi orang yang hebat dan baik. Bahkan, kakeknya tak ragu menyumpahinya bila menjadi orang yang tak membawa manfaat.

"Kalau kamu nanti melakukan hal-hal yang merugikan masyarakat, mencuri, korupsi, dan sebagainya, namamu saya ganti! Hardjo Ora Slamet!" kata Slamet menirukan ucapan kakeknya.

Sementara alasan tidak menggunakan nama Djarot bagi Slamet lebih personal, ketimbang soal perkara tak diwajibkan.

"Djarot itu bagi saya kemuliaan. Enggak sembarangan saya pakai Djarot," kata Slamet.

"Ngapain gue pakai nama Djarot? Siapa tahu gue jadi laki-laki yang enggak jelas, jadi suami yang brengsek, kan malu juga pakai nama Djarot," selorohnya.

Slamet hanya pernah satu kali menggunakan nama aslinya yang lengkap dalam satu kesempatan. Yaitu, ketika meminang Mira Surianegara menjadi istrinya pada 1984 silam.

"Melalui perkawinan itu, aku lengkap menjadi laki-laki." tegasnya.

Perenungan Slamet

Jakarta siang itu terik. Slamet Rahardjo tak menunjukkan tanda-tanda ia bosan mendongengkan memorinya yang tersimpan selama beberapa dekade saat berbincang dengan kami.

Suasana Teater Populer siang awal Agustus itu begitu tenang dan teduh, kontras dengan Tanah Abang di luar yang gersang dan bikin naik darah. Slamet masih duduk nyaman di kursi dengan potret gurunya, Teguh Karya, sebagai latar.

Selama beberapa hari dalam satu pekan, Slamet tinggal di bangunan yang dulunya kediaman Teguh Karya itu. Sepeninggal Teguh Karya, Slamet kini menakhodai komunitas beserta bangunan milik sutradara legendaris tersebut.

Ia tampak mengemban tugas tersebut dengan legawa. Baginya, apalagi setelah pensiun, tinggal di tempat yang jadi rumah semasa muda dan bertumbuh bagaikan meditasi sembari menikmati kehidupan senja.

Bangunan itu pun bukan semata-mata jadi memorabilia Teguh Karya, tapi juga 'gudang' Piala Citra yang diraih Teguh dan Slamet. Keduanya memang bukan cuma sutradara-aktor ataupun guru-murid, sudah karib bin konco kentel.

"Inilah Teguh cuma bilang, 'Met, kalau aku pergi, enggak ada yang bisa memimpin ini kecuali kamu'. Aku enggak jawab iya, aku enggak jawab enggak," kata Slamet.

Nyatanya hanya beberapa bulan setelah Teguh Karya berpulang, Slamet kembali pulang ke Teater Populer. Jabatan Ketua Karyawan Film dan Televisi dan Dewan Film pun ia lepas. Termasuk meninggalkan gaji bulanan.

“Ada pepatah yang mengatakan, jangan tenggelamkan orang yang mengajari kamu berenang. Teguh mengajari saya berenang,” ucap Slamet soal keputusannya.

Keputusan Slamet kembali ke Teater Populer juga diterima oleh istri serta keluarganya. Sang adik, Eros Djarot, mengakui kakaknya itu memang terlihat bahagia menghabiskan sebagian pekannya di bangunan tua itu.

Usai mengalami masa gemilang keemasan dalam industri film, Slamet Rahardjo sempat mengabdikan diri menyebarkan ilmunya sebagai dosen di Institut Kesenian Jakarta. Slamet bagai menunaikan amanat kakeknya untuk jadi orang yang bermanfaat.

Namun Slamet sudah pensiun sebagai dosen sejak beberapa tahun lalu, meninggalkan ratusan anak didik yang beberapa di antara mereka berhasil mengikuti jejaknya memenangkan Piala Citra. Sama seperti Slamet mengikuti Teguh dulu kala.

Slamet pun masih menerima tawaran bermain film sesekali. Kepiawaian Slamet baik sebagai aktor ataupun sutradara memang bukan kaleng-kaleng di kala rambutnya sudah memutih karena uban.

Maka tak heran, Slamet Rahardjo masih saja menang Piala Citra sebagai aktor di usianya yang kepala tujuh. Terakhir kali, ia menang untuk kategori Pemeran Pendukung Pria Terbaik berkat penampilannya di Cinta Pertama, Kedua & Ketiga (2021).

Kini, dengan statusnya sebagai seorang bapak dua anak, dan kakek sejumlah cucu, Slamet Rahardjo masih memiliki perenungan mendalam akan kehidupan dan sebuah pertanyaan dalam benak.

"Kalau Slamet sudah lewat masanya, nanti siapa yang meneruskan Teater Populer? Saya sendiri belum mendapatkan Slamet Rahardjo seperti Teguh Karya menemukan aku," kata Slamet Rahardjo Djarot.

"Tetapi aku mungkin memiliki sebuah langkah yang tidak sama dengan Teguh Karya. Enggak tahu nanti apa yang terjadi, tapi semua... semua hal itu harus saya selesaikan."