Dimabuk
Jakarta
Oleh:
Adhi Wicaksono
Suatu ketika tokoh kita Gatot jatuh cinta. Pada ibu kota yang terkenal seksi, kaya, dan penuh pesona.
Di kota yang dicintai tokoh kita, jarum jam seperti kelebihan tenaga. Semua ketergesaan melebihi kebiasaannya ketika tinggal di desa. Gedung-gedung bertingkat berlomba membawa raja-raja kecil sampai di atas angin.
Gatot beserta jutaan warga lainnya saling beradu untuk mengubah garis tangan dan menjadi penakluk ibu kota. Tak perlu bertanya modal dan kemampuan mereka. Niat yang utama!
Obat penenang, alkohol, adrenalin ataupun cinta dalam doa bahkan tak akan mampu meredakan halusinasi mabuk ibu kota.
Lupakan saja ratusan triliun dana desa yang sudah mengalir. Gatot pernah berujar, puluhan kali ibu-desa operasi plastik pun tak bisa membuatnya berpaling kembali.
Jika cinta itu buta, maka cinta berbalut nafsu itu bisa jadi gangguan jiwa.
Apa boleh dikata. Cinta tokoh kita Gatot dan jutaan lainnya hanya berubah jadi deretan angka-angka: permukiman liar, masalah lingkungan seperti sampah, banjir, dan polusi, serta kriminalitas.
Data statistik menyebutkan, pada 2020 lebih dari separuh (56,7 persen) penduduk Indonesia ada di perkotaan. Jumlahnya diproyeksikan jadi 66,6 persen pada 2035.
Jangan kaget jika harga tanah dan bangunan-bangunan di atasnya semakin meroket. Setiap jengkal ibu kota perlu dipagari tinggi-tinggi dari para pemburunya.
Maka memiliki nisan di ibu kota pun jadi pencapaian luar biasa, apalagi jika bertetangga dengan nisan-nisan papan atas. Demikian kata tokoh kita Gatot, merencanakan mimpi terakhirnya.