Asa
Pengembara
Oleh:
Adi Maulana Ibrahim
Surat ibu tiba dengan seperangkat alat salat.
"Nak baik-baik di sana. Ingat Tuhanmu".
Semenjak rindu menjadi bahasa paling sunyi, aku gemar berkata-kata. Pergi dari keramaian, menyusuri diam.
Rindu ini enggan mengalah. Ia masih saja berlarian di pikiran dan perasaan yang membuat detak dan detik kian meresah.
Namun, harapan selalu muncul di tengah pelarian yang tak pernah aku inginkan dan keterbatasan pilihan.
Gemerlap ibu kota menyeret aku dengan paksa. Hidup serba ada jadi mimpi yang aku dan para perantauan lain bawa dari kampung halaman.
Sampai akhirnya aku mendapati dua sudut pemandangan yang tak sama: antara ekspektasi dan realita kehidupan kota.
Waktu lari demikian kencang di tanah ini. Jeda selalu terhimpit oleh lalu lalang manusia-manusia ibu kota...
...pada jalanan dan transportasi publik yang tak pernah kesepian pengunjung.
Ingar-bingar dunia malam menjadi hal yang tak bisa dipisahkan.
Ia menyeret manusia-manusia gila kerja untuk mencari pelarian demi pelarian.
Pahit manis kehidupan ibu kota aku telan mentah-mentah. "Aku ingin jadi pilot", "aku ingin jadi dokter", "aku ingin jadi presiden" dan sederet keinginan lainnya hilang seketika dalam sel-sel yang aku sebut ingatan.
Impian itu kian semu. Membuyarkan asa jadi fatamorgana.