Memindai
Semesta
Oleh:
Safir Makki
Hidup di masa kini berarti terbiasa berdampingan dengan QR Code (kode respons cepat).
Kotak-kotak kecil hitam dan putih dalam bingkai persegi ini memang telah menjamur dalam 4-5 tahun terakhir. Cukup memindainya menggunakan ponsel pintar, maka kita akan mengetahui “identitas” suatu benda atau pun makhluk hidup (manusia, hewan, tumbuhan) tanpa harus bersentuhan langsung.
Tidak hanya berfungsi sebagai media informasi suatu produk atau sistem pembayaran digital, QR Code juga sudah meluas menjadi sebuah medium industri.
Penyebarannya kemudian dipercepat ketika Pandemi Covid-19 melanda ke berbagai belahan Indonesia dan manusia harus menjaga jarak.
Kotak-kotak yang lahir di Jepang pada 1994 ini menjadi sebuah kewajiban untuk dipindai oleh masyarakat saat memasuki tempat perkantoran, pusat bisnis, bandara, stasiun, atau ketika membayar.
Ia kemudian mulai menjalar dan berkembang hingga ke undangan pernikahan, transaksi perbankan, menu makanan-minuman di kafe atau restoran, loket tempat wisata, atau iklan komersial. Bahkan tanaman dan pohon di taman kota pun tak ketinggalan disematkan QR Code.
Dalam satu hari, saya bisa menjumpai 7-12 QR Code di ruang publik, mulai dari warung makan hingga di ke kotak amal. Ia menjadi visual baru dan berulang yang dijumpai di kota Jakarta selain kemacetan, banjir, lalu lalang warga yang bergegas memburu waktu.
Saya membayangkan akankah 10-30 tahun ke depan kita sebagai manusia tak akan saling mengenal secara langsung dan tak harus berkomunikasi untuk mengetahui segala sesuatu di semesta ini?
Bahwa semua yang ada di dunia, mulai dari tubuh manusia, binatang, bahkan mungkin hingga benda angkasa bisa dipindai melalui ponsel pintar.
Bahwa dunia akan dipenuhi kotak-kotak yang tak teratur susunannya, tak ada suara komunikasi langsung antar makhluk, semua mengandalkan pemindaian untuk saling tahu dan mengenali.