Saya pertama kali lihat Koh Hendra itu di SMA Ragunan. Kalau gak salah, Koh Hendra itu kelas 3 SMA, sedangkan saya kelas 1 SMA. Waktu itu Koh Hendra kayaknya baru mulai masuk Pelatnas.
Terus saat saya masih di klub, saya pernah lihat juga Koh Hendra main di Tennis Indoor Senayan. Koh Hendra masuk final dan juara. Saat itu saya berpikir: "Kok masih muda mainnya sudah top begini. Ini pasti ada sesuatu yang spesial dari Koh Hendra."
Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan di Pusat Pelatihan Cipayung, Jakarta.
CNN Indonesia / Putra Permata Tegar
Akhirnya saya masuk Pelatnas Cipayung, di awal ketemu Koh Hendra, sungkanlah pasti. Tetapi Koh Hendra kan memang modelnya kalem. Jadi ada senior yang kadang-kadang suka bercanda, kalau Koh Hendra ya dari dulu memang kalem. Dia kalau ngobrol, iya-iya aja gitu.
Saya dan Koh Hendra ya bisa dibilang akrab sebagai senior-junior saja. Tetapi seiring waktu karena sudah pernah partner, sering ngobrol jadi akrab. Saat mau dipasangkan di 2012, kita juga banyak ngobrol.
Waktu awal dipasangkan, ya pasti minder. Memang kita pernah berpasangan di Sudirman Cup dan Axiata Cup. Tapi kan saat 2012 itu benar-benar yang jadi partner, ya pasti minder.
Karena Koh Hendra sudah juara Olimpiade, juara Kejuaraan Dunia, juara Asian Games. Sementara saya belum apa-apa. Tetapi Koh Hendra benar-benar membimbing, sedangkan saya juga punya tekad bahwa saya ingin membuktikan kemampuan saya.
Pasangan ganda putra Indonesia Hendra Setiawan (kiri) dan Mohammad Ahsan (kanan) mengembalikan bola ke ganda putra Denmark Kim Astrup dan Anders Skaarup Rasmussen pada penyisihan Piala Sudirman 2015 di Dongguan Basketball Center, Tiongkok, Rabu (13/5). Tim Indonesia unggul 3-2 atas tim bulu tangkis Denmark.
ANTARA FOTO / Saptono / Spt / 15
Waktu awal-awal tampil bersama di lapangan, ya agak tegang. Tetapi kan Koh Hendra lebih berpengalaman, tahu lawan-lawan. Semua sudah pernah dilawan dan dikalahkan. Dan hal itu menarik kemampuan saya.
Koh Hendra kan lebih kalem sedangkan saya modelnya yang semangat berapi-api. Jadi Koh Hendra bisa meredam, bisa seimbang semuanya.
Terus pas sudah jadi partner kan sekamar, jadi sudah lebih banyak ngobrolnya. Kalau di Pelatnas, pemain yang baru dipasangkan itu pasti sekamar. Nanti seiring berjalannya waktu, sudah mulai ganti teman sekamar. Kalau saya dan Koh Hendra, sekamar terus dari awal sampai akhir.
Sekamar sama Koh Hendra, kalau kita lagi kalah, saya bertanya bagaimana evaluasinya. Saya lebih banyak inisiatif bertanya. Saya juga lebih banyak minta koreksi. Biar ke depannya kalau main lagi bisa lebih bagus.
Kalau misal kita kalah di turnamen besar, ya saya kesal juga. Koh Hendra juga kurang lebih sama, pasti kesal juga. Tapi Koh Hendra kalau kesal karena kalah ya biasanya diam saja, gak marah-marah. Modelnya memang begitu. Gak tahu isi dalam hatinya, hahaha.
Kalau kalah, pasti kita ya gak mungkin terus terima saja. Misal kalah saat sudah unggul jauh, atau kalah saat mainnya juga gak bagus. Kita pasti kesal, tetapi ya diam saja.
Kalau sudah begitu, paling kita pergi ke mana gitu setelah pertandingan untuk menghilangkan kesal dan kecewa.
Misal kita kalah karena ada keputusan wasit yang dianggap merugikan, Koh Hendra juga enggak marah. Sekali doang dia protes tuh di Malaysia.
Posisi kita sedang ketinggalan, lalu dua kali wasit koreksi bola out. Saat itu kita ketinggalan dan kalah di gim pertama. Kita baru mau nyusul, ada-ada saja wasitnya. Bola out dibilang touch. Itu momen saya melihat Koh Hendra kesal sampai protes.
Kalau soal keputusan pensiun, saya sudah banyak ngobrol soal bagaimana kita mau ke depan. Saya bilang: "Sekarang kalau mau pasang target lagi, saya berat. Soalnya badan sudah gak kuat."
Kan kalau pertandingan berarti bukan kita hanya bersiap untuk main di pertandingan, tetapi kita harus persiapan dan kerja keras lagi di latihan. Badan saya sudah gak bisa 'dibejek' lagi.
Dulu sudah cedera pinggang, sekarang kaki kiri. Tipe saya kan beda sama Koh Hendra. Kalau saya kan tipe yang ekstrem kalau main, sedangkan Koh Hendra kan lebih efisien, lebih enak. Gak bisa saya mau ikut main kayak tipe Koh Hendra, mungkin kalau kayak gitu efeknya lebih banyak sakitnya buat saya hahaha.
Saya tanya sama Koh Hendra, "Emang Koh Hendra masih mau main tahun depan?"
"Kayaknya sih enggak juga", begitu kata Koh Hendra. Kita memang sudah banyak ngobrol soal pensiun.
Keputusan pensiun akhirnya kita ambil setelah China Masters. Kalau saya memang melihat sudah berat buat saya untuk terus lanjut. Kalau Koh Hendra waktu itu mungkin masih mau lihat hasil.
Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan tampil di China Masters 2024.
Arsip PBSI
Bicara pengandaian, mungkin kalau sekadar masuk 20 besar masih bisa. Tapi sekarang kalau terus main buat dihajar orang ya ngapain?
Kita kan punya tanggung jawab. Kita mau main gak bisa asal main. Kita punya sponsor, punya tanggung jawab dan gak bisa asal-asalan. Walau misal 20 besar masih bisa, tapi bagi saya lebih dari cukup.
Sebagai partner, Koh Hendra jelas dari segi teknik sudah tidak diragukan lagi. Dari segi non teknis, saya merasa lebih dibimbing sama Koh Hendra.
Kadang saya belajar dari Koh Hendra menghadapi momen-momen yang gak enak. Harus sabar, harus tenang dulu. Biasanya kan kalau ada sesuatu, saya kayak langsung mau menanggapi.
Kalau Koh Hendra bilang harus tenang, lihat secara objektif. Dari keseharian juga lebih banyak mengalah. Seperti kakak yang baik sama adiknya.