Saya pertama kali kenal Hendra itu saat dikenalkan oleh Koh Alvent di awal 2008. Koh Alvent itu kan sepupu saya. Waktu dikenalkan pertama kali, saya belum ada rasa, belum ada apa-apa.
Orang saya waktu pertama kali kenal saja enggak tahu ada atlet namanya Hendra. Iya saya enggak tahu, benar-benar enggak tahu.
Malah adik saya yang tahu. Itu atlet loh, sudah pernah juara ini, ini, ini. Saya kan memang enggak pernah nonton badminton ya, jadi enggak tahu. Kalau mama papa saya, itu tahu. Jadi mama, papa, adik saya tahu semua nama Hendra Setiawan.
Kalau saya memang enggak nonton badminton. Pertandingan Koh Alvent saja saya jarang nonton.
Waktu pertama kenal, ya Hendra minta nomor telepon. Dulu kan zaman-zaman masih SMS kan, jadi baru kenal satu bulan, saya langsung ditembak. Saya kan kaget.
Maksudnya gini lho, waktu pertama kali kenal sampai sebelum ditembak itu SMS-nya kaya biasa gitu loh. Kayak: "Sudah makan?", "lagi ngapain?", kayak gitu-gitu. Gak ada angin, gak ada apa-apa, tahu-tahu SMS nembak.
Waktu itu pertama kali Hendra itu nanya-nanya: "Apa kriteria cowok kamu?" Katanya gitu. Terus saya kayak, loh ini kok tahu-tahu ngomongnya aneh kayak gini.
Ya sudah terus saya jawab: "kriteria cowokku itu, aku suka yang begini, begini."
Terus lanjut-lanjut, tahu-tahu dia nembak. Saya kan kaget. "Ini beneran Hendra?"
Aku takut dikerjain soalnya kan dari awal ngomongnya biasa-biasa. Terus tahu-tahu ditelepon Hendra. Terus dia bilang.
Tapi kan saya enggak langsung terima. Soalnya kan baru kenal. Ya habis itu dia ke Surabaya, akhirnya saya terima.
Setelah pacaran, saya mulai nonton badminton, terus belajar badminton. Jadi sekarang sudah mulai tahu dikit-dikitlah.
Pas Olimpiade 2008, saya nonton Olimpiade bareng sama saudara-saudara di rumah. Waktu itu kan set pertama kalah jauh, jadi setelah itu saya enggak nonton. Saya enggak kuat, saya keluar ke teras rumah. Saya teleponan sama saudara waktu itu.
Jadi saudara saya yang ngomong: 'Waduh San, ketinggalan', kayak gitu.
Set kedua itu saya enggak nonton. Set ketiga, saudara terus cerita. Akhirnya saya masuk lagi ke rumah dan ternyata bisa juara. Set ketiga saya nonton lagi pas mau menang.
Waktu pacaran sama Hendra yang berprofesi sebagai atlet dan sering bepergian serta jarang ketemu, saya sih merasa biasa. Karena kan dari awal memang jarang bareng. Jadi memang sudah biasa LDR gitu. Pacarannya itu memang kayak dalam satu bulan, cuma sehari.
Hendra kan tiap bulan ke Surabaya. Tetapi paling ke Surabaya itu cuma Sabtu-Minggu. Sabtu habis latihan, sorenya dia ke Surabaya. Terus Minggu sore jam 5 atau 6, dia sudah balik lagi ke Jakarta karena Senin sudah latihan. Kayak begitu setiap bulan, jadi ya sudah biasa.
Selama pacaran, Hendra pasti cerita-cerita termasuk soal dia keluar Pelatnas Cipayung di 2009 itu. Karena model pacaran kami itu memang cerita. Saya pun percaya bahwa keputusan yang Hendra ambil adalah yang terbaik.
Pebulutangkis Ganda Putra Hendra Setiawan, saat berlatih pada hari-hari terakhirnya di pelatnas PBSI, Cipayung. Jakarta.
CNN Indonesia / Adhi Wicaksono
Setelah berpacaran tiga tahun, saya menerima lamaran Hendra untuk menikah. Saya lihat Hendra itu selama tiga tahun, saat saya semakin kenal, semakin tahu bahwa Hendra itu sosok yang baik. Dari awal saya sudah tahu bahwa Hendra itu baik, tetapi semakin mengenal ternyata Hendra itu justru semakin terlihat segala kebaikannya.
Pokoknya Hendra ini banyak positifnya. Saya merasa saya dan Hendra itu saling melengkapi.
Saat baru menikah, Hendra tidak lolos Olimpiade 2012. Saat itu saya melihat enggak ada perubahan dari sikap Hendra. Karena Hendra kan memang enggak terlalu banyak ekspresi juga kan. Jadi dia kalau saya lihat biasa-biasa saja.
Hendra itu soalnya kalau misalnya masalahnya bagi dia enggak parah, itu enggak terlalu kelihatan. Jadi kalau misalnya Hendra sudah ngomong dan cerita ke saya, berarti menurut saya itu baru situasinya sudah parah.
Setelah pasangan dengan Ahsan, saya lihat juga tidak banyak perubahan dari Hendra. Dia tetap semangat latihan seperti sebelum-sebelumnya, bahkan hal itu juga terus sama sampai kemarin sebelum pensiun. Yang saya lihat, Hendra lebih berapi-api gitu mungkin di lapangan dibanding sebelumnya yang lebih kalem.
Setelah Olimpiade 2016, saya memang mikir bahwa waktu itu Hendra ambil keputusan yang agak berat. Mau pisah sama Ahsan agak berat. Hendra mikirnya agak lama waktu itu, lebih dipikir-pikir sebelum ambil keputusan.
Waktu itu saya sendiri sudah pasrah. Maksudnya pasrah itu saya pikir mungkin memang kariernya Hendra paling sebentar lagi selesai.
Saya cuma tanya waktu itu, "Yakin ya mau keluar PBSI?"
"Ya, yakin". Begitu kata Hendra waktu itu.
Terus waktu itu saya bilang lagi, "Kalau kokoh [Hendra] keluar PBSI sekarang ini, berarti siap ya enggak bakal main beregu lagi?"
Padahal waktu itu saya tahu Hendra masih punya impian ingin juara beregu, baik itu Thomas Cup atau Sudirman Cup.
Karena itu saya sama sekali gak nyangka kalau ternyata Hendra balik lagi sama Ahsan. Terus masih dikasih kesempatan main di Thomas Cup dan juara. Jadi, impiannya Hendra semuanya tercapai sebelum pensiun.
Soal rencana pensiun, Hendra memang masih bilang mau main selepas Olimpiade 2020 di 2021. Saat itu Hendra tidak berpikir membidik Olimpiade 2024. Hendra cuma masih mau main dan belum ada kepikiran untuk pensiun.
Dia masih mau main, masih mau juara. Masih mau terus mencoba. Eh kok ternyata sampai 2024. Memang pada akhirnya Hendra pengin masuk Olimpiade 2024 tetapi ternyata enggak lolos. Tapi kalau bicara dari 2021, Hendra itu gak langsung pasang target main sampai 2024, tetapi pilih fokus per tahun.
Setelah enggak lolos Olimpiade 2024, Hendra mulai ada pikiran untuk pensiun. Seperti bilang, "Apa memang sudah waktunya pensiun ya". Kayak begitu, tetapi sampai benar-benar yakinnya itu kira-kira bulan sepuluh atau sebelas.
Saat dengar Hendra mau pensiun, saya perasaannya campur-campur. Perasaannya ada senangnya, ada sedihnya.
Senangnya, Hendra akhirnya di rumah, enggak ditinggal-tinggal lagi. Jadi bisa banyak kumpul-kumpul sama keluarga
Sedihnya, saya sama Hendra kan dari awal kenal memang sudah begitu kehidupan Hendra di badminton. Nah, sekarang mau pensiun, mau berhenti, jadi pasti ada yang hilang. Pasti kayak bakal kangen nonton pertandingan.
Sebagai seorang ayah, nomor satu dari Hendra itu adalah sabar. Ke anak-anak kayak ngemong, ngeladenin anak-anak. Tetapi ya tetap tegas. Misal sekolah gak boleh terlambat.
Sebagai suami, Hendra baik dan sabar juga. Nggak pernah marah, sama anak-anak juga sama saya. Malah saya yang marah-marah.
Sebagai istri yang sering ditinggal suami bertanding, sebenarnya gak ada yang susah soalnya sudah biasa. Tetapi pernah sekali waktu itu ada kejadian.
Hendra ini orangnya kalau pertandingan itu harus dijaga hatinya. Maksudnya, kalau dia lagi main, jangan sampai di rumah itu ada masalah. Karena itu bikin Hendra kepikiran.
Jadi waktu itu, pas Hendra ada pertandingan di Australia, Richard sakit. Richard sakit panas sudah beberapa hari, tetapi saya nggak ngomong soalnya Hendra masih main.
Entah dia kayak punya perasaan atau gimana, dia itu tanya terus: "Anak-anak gak apa-apa?" Terus saya bilang anak-anak nggak apa-apa, padahal si Richard nangis-nangis badannya panas.
Waktu Hendra selesai main di final, baru saya ngomong kalau anaknya panas tapi nggak apa-apa. Besoknya Hendra pulang ke rumah kaget, lihat pipinya Richard gede, akhirnya masuk rumah sakit.
Sebagai istri atlet, saya lebih nyaman nonton di TV. Soalnya kalau di TV itu lebih jelas kelihatan. Tetapi karena lebih jelas, justru lebih tegang kalau nonton di TV. Kan kelihatan jelas ekspresinya Hendra, soalnya di-zoom.
Tapi kalau bicara lebih senang, lebih senang nonton langsung. Lebih kerasa atmosfernya.
Setelah berkeluarga, saya juga kebanyakan nggak berani nonton terus-terusan kalau Hendra main. Soalnya kadang sakit perut gitu loh. Kadang sakit perut jadi nggak berani lihat. Kalau sekarang di rumah, saya nonton sama anak-anak, terutama Richelle yang sering nonton, nanti dia yang kasih tahu. Poinnya begini, begini.
Setelah Hendra pensiun, harapannya semoga sekarang Hendra bisa lebih bersantai dan menikmati hidup. Soalnya yang saya lihat, kemarin-kemarin saat Hendra masih aktif sebagai atlet, kehidupan atlet itu tuh kayak berat. Latihan terus kayak enggak ada waktu untuk diri sendiri rasanya.
Kayak pas latihan, terus main turnamen, harus fokus enggak bisa diganggu. Jadi saya sebagai orang yang bukan atlet, ngelihat Hendra itu kayak: "Aduh kok susah ya jadi atlet". Nah makanya sekarang harapannya Hendra bisa lebih santai, lebih enjoy.
Selain itu, harapan saya juga Hendra kan sudah mulai ada beberapa bisnis. Semoga bisnisnya lancar.