Jakarta, CNN Indonesia --
DPR melalui rapat paripurna 8 Juli 2014 mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi Undang-Undang (UU MD3 Nomor 17 tahun 2014). DPR dan Pemerintah sepakat bahwa UU ini bukan sekedar perubahan, tapi mengganti UU MD3 yang lama, yaitu Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (UU 27/2009).
"Kehendak DPR yang ingin berubah lebih baik ternyata tidak nampak dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 ini,” kata Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Roland Rofiandri dalam siaran pers yang diterima CNN Indonesia, Kamis (4/9).
Melalui UU MD3 yang baru, DPR menambah kewenangannya tanpa menyediakan ruang pengawasan yang memadai. Selain itu, kata Roland tidak terlihat pula kesungguhan DPR untuk bersikap transparan dan akuntabel yang mana DPR menghapus kewajiban fraksi melakukan evaluasi kinerja dan melaporkan kepada publik. Tidak hanya itu, kewajiban DPR melaporkan pengelolaan anggaran kepada publik dalam laporan kinerja tahunan (sebagaimana diatur sebelumnya dalam Pasal 73 ayat 5 UU No 27 Tahun 2009) turut dihapus.
Roland mengatakan, seharusnya UU 17/2014 direvisi kembali oleh DPR periode 2014-2019 dan DPR periode 2009-2014 tidak memaksakan diri untuk menyusun Tata Tertib (Tatib) DPR yang baru. Namun, penelusuran Roland pada halaman 4 dari dokumen Naskah Pidato Ketua DPR pada Rapat Paripurna DPR Pembukaan Masa Sidang I Tahun Sidang 2014-2015, Jum’at, 15 Agustus 2014 mengejutkan publik.
"Fraksi dalam koalisi Merah Putih telah menyampaikan surat kepada pimpinan DPR (pada masa reses lalu) perihal usulan perubahan Tatib. Bahkan rencana pembahasan perubahan Tatib makin dikonkretkan malalui pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Perubahan Tatib DPR,” ungkap Roland.
Adanya kekhawatiran fraksi-fraksi di DPR tentang keberlanjutan kerja DPR dan menghindari potensi stagnasi pada periode awal keanggotaan DPR yang baru, sesungguhnya tidak beralasan kuat. Selain sebagian materi UU 17/2014 sudah bisa memandu kerja anggota DPR (setelah dilantik), maka, lanjut Roland, akan lebih tepat dan relevan pihak yang sepantasnya menyusun dan mengesahkan Tatib adalah anggota DPR periode 2014-2019.
Sikap ngotot DPR untuk tetap menyusun Tatib yang baru patut dipertanyakan, terutama di saat banyak pihak mengajukan judicial review (JR) UU 17/2014 ke Mahkamah Konstitusi. Beberapa diantaranya adalah PDIP, DPD, sejarawan JJ Rizal, LBH Jakarta, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan beberapa aktivis dan organisasi perempuan terkait dihapuskannya klausul tentang keterwakilan perempuan pada komposisi pimpinan alat kelengkapan DPR. Tidak kurang KPK dan Kejaksaan pernah mempertanyakan sejumlah ketentuan dalam UU 17/2014 terkait potensi diskriminasi dalam pemanggilan dan pemeriksaan anggota DPR.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT