Jakarta, CNN Indonesia -- Mundurnya Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok, dari Partai Gerindra sangat mungkin disebabkan karena tidak adanya
chemistry antara Ahok dengan Gerindra selama ini.
Hal tersebut diungkapkan oleh pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia Effendi Gazali. Dia mengatakan, selain karena nama Ahok yang sedang mendapatkan dukungan publik yang cukup besar, ketegasan Ahok untuk mundur dari Gerindra sangat mungkin terjadi karena Ahok tidak merasa ada ikatan dengan partainya.
“Ahok kan belum begitu lama jadi anggota Gerindra, jadi belum ada
chemistry. Dalam berbagai hal, pasti dia agak
awkward menanggapi sikap atau pernyataan Gerindra yang belum tentu sama dengan sikap pribadinya,” ujar Effendi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (10/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak sepakatnya Ahok dengan keputusan Gerindra yang mendukung wacana rancangan UU Pilkada oleh DPRD, juga dianggap sebagai salah satu strategi atau jalan keluar bagi Ahok dari ketidaknyamanannya bersama Gerindra.
“Jadi soal RUU Pilkada ini, hanya semacam salah satu katup atau jalan keluar bagi Ahok, yang sekaligus tepat untuk memanfaatkan simpati publik, yang menolak RUU Pilkada dipilih DPRD. Pasti Ahok harus mencari
exit strategy dari persoalan disonansinya dengan Gerindra,” kata penyandang gelar Profesor dari Radboud Nijmegen University, Belanda, ini.
Effendi menilai, penolakan Ahok atas RUU Pilkada oleh DPRD merupakan bentuk sikap Ahok yang konsisten, dan dapat dinilai juga sebagai sikap Ahok yang kerap mengusung semangat reformasi.
Meski dinilai positif, aksi mundur Ahok dari partai, dianggap oleh Effendi sebagai hal yang harus dipelajari dengan serius. Alasannya, belum ada contoh kasus seperti yang dilakukan oleh Ahok. Effendi menduga, aksi Ahok saat ini adalah sebuah preseden dari hasil pemilihan langsung di Indonesia yang ingin ditunjukkannya.
“Apakah sudah ada preseden, bahwa Wagub atau Gubernur, atau bahkan Presiden, yang anggota partai dan diusung partai, dapat keluar begitu saja? Apakah partai bisa melakukan sesuatu? Atau apakah Ahok sedang membuat preseden bagi praktek hasil pemilihan langsung di Indonesia? Saya juga tidak bisa menduga-duga.” papar Effendi.