Jakarta, CNN Indonesia -- Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Perkawinan yang mengatur tentang batas usia minimum perempuan untuk menikah digelar di Mahkamah Konsitusi (MK) Kamis (16/10) ini dengan menghadirkan empat saksi ahli. Pengujian tersebut diajukan oleh Koalisi Indonesia untuk Mengakhiri Pernikahan Anak Usia Dini atau dikenal dengan Koalisi 18+ sebagai pemohon.
"Tadi kami membawa empat saksi ahli untuk memberikan argumentasi mereka pada majelis Hakim MK," kata Supriyadi Widodo Eddyono dari Koalisi 18+ saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis (16/10). Sidang tersebut merupakan sidang ketujuh yang dijalani oleh pemohon.
Empat saksi ahli tersebut adalah ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Yuniyanti Chuzaifah, Komisioner dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Rochiatul Aswidah, Erlinda perwakilan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) serta Fransisca Handy Agung selaku dokter anak yang merupakan ahli kesehatan anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Koalisi Indonesia Untuk Penghentian Perkawinan Anak (Koalisi 18+) adalah inisiatif gerakan sosial yang berinisiatif untuk melakukan edukasi publik menghentikan perkawinan usia anak dan melakukan advokasi secara langsung maupun tidak langsung untuk mendukung perubahan regulasi.
"Secara garis besar mereka memaparkan alasan mengapa pernikahan di bawah usia 18 tahun itu berdampak buruk bagi anak perempuan," katanya. "Pada prinsipnya sidang kali ini tetap sama yakni, permohonan untuk menaikkan batas usia kawin pada perempuan dan mempersempit celah dispensasi perkawinan anak.
Selanjutnya, dia mengatakan ada beberapa pasal dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dikritisi oleh Koalisi 18+ seperti diantaranya pasal 7 ayat (1) dan ayat (2). Kedua ayat tersebut dinilai pemohon bertentangan dengan hukum serta diskriminatif terhadap pemenuhan hak antara anak-anak laki dan anak perempuan.
Menurut UU Perkawinan, usia minimum bagi seorang perempuan (bukan anak) untuk menikah adalah 16 tahun. Sementara itu, sesuai dengan UU Perlindungan Anak, yang dirujuk sebagai anak adalah 'setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun kecuali berdasarkan uu yang berlaku untuk anak-anak kedewasaan telah dicapai lebih cepat'.
Tak hanya itu, Andi mengatakan bahwa anak perempuan yang menikah juga mesti mengenakan alat kontrasepsi dan mengandung anak. Dengan usianya yang masih dini, kesempatannya untuk mengaktualisasikan dirinya secara utuh menjadi terbatas.
Sementara itu dihubungi terpisah, Fransisca selaku salah satu saksi ahli mengatakan ada beberapa konsekuensi yang akan dihadapi oleh anak bersangkutan ketika menikah dalam usia dini, yakni adanya resiko besar tertular penyakit menular seksual seperti HIV, Hepatitis B, Sifilis dan Kanker dari pasangannya. Tak hanya itu, anak perempuan tersebut juga berpotensi terkena masalah gangguan pada kehamilan, persalinan dan kesehatan bayinya.
"Dari aspek mental, kondisi anak perempuan juga bisa terganggu karena beban pernikahan," kata Fransisca.
Atas pertimbangan tersebut, Andi mengatakan perkawinan usia anak, yang merujuk pada 18 tahun, mesti dihapuskan karena memiliki dampak yang buruk bagi anak bersangkutan, terutama dari aspek kesehatan. "Kami akan terus menghadirkan saksi ahli hingga adanya keputusan dari majelis hakim tentang UU Perkawinan," ujar dia.
Untuk sidang ke delapan, yang rencananya digelar pada akhir Oktober ini, Koalisi 18+ rencananya akan menghadirkan tokoh-tokoh agama untuk memberikan keterangan mereka mengenai perkawinan usia dini, pada majelis hakim MK.