10 TAHUN TSUNAMI

Aceh dan Kesempatan Emas yang Terancam Hilang

nezarpatria | CNN Indonesia
Jumat, 26 Des 2014 18:05 WIB
Setelah satu dekade dihantam bencana maha dahsyat tsunami, Aceh kini telah jauh lebih baik. Tapi mengapa investor masih ragu?
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Setelah satu dekade, sulit mencari bekas fisik bahwa Aceh pernah remuk redam dihajar maha bencana tsunami 26 Desember 2004. Setidaknya, mereka yang melawat ke Banda Aceh hari ini misalnya, setuju ibukota propinsi itu telah berubah wajah. Kota itu, dalam beberapa segi, tumbuh melebihi dari apa yang dicapai sebelum bencana dahsyat itu terjadi.

Jalan-jalan lebih banyak dan mulus. Gedung baru bermunculan. Di sejumlah jalan protokol macet terjadi jika siang hari pertanda warga yang kian bertambah. Di pinggir kota, ada bandara apik tingkat internasional dengan arsitektur yang membanggakan.

Setiap 26 Desember, Aceh dan dunia mengenang peristiwa dahsyat itu. Sekitar 120 ribu orang tewas, dan hampir seratus ribu orang hilang. Bagai pisau cukur raksasa, tsunami membabat separuh dataran kota Banda Aceh. Rumah, gedung, tiang listrik, apa saja yang tegak baik benda hidup dan mati tersapu bersih. Jalur pantai barat hancur, kota-kota kecil seperti Calang nyaris hilang dari peta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bencana itu membuat dunia berkabung. Derita di Aceh menjadi berita utama di sejumlah media internasional. Kedahsyatan tsunami hadir dengan gambaran mengerikan di lima benua. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Collin Powell, saat itu sempat berkunjung ke Aceh setelah sepuluh hari tsunami menghantam daerah itu. Ia menyebutkan derajat kehancuran di sana “melebihi perang dan berbagai bencana yang pernah dia saksikan”.

Saya berada di Aceh selang sehari setelah tsunami itu terjadi, dan menyaksikan kehancuran yang tak terbayangkan. Ribuan mayat masih tergeletak di jalan-jalan di tengah kota. Kota gelap gulita pada malam hari. Krueng Aceh, sungai yang membelah kota Banda Aceh itu, penuh mayat mengambang. Sejumlah tubuh mati itu terbawa arus sampai ke daerah Aceh Besar, dan tersangkut di sejumlah jembatan kampung.

Dunia segera jatuh hati melihat Aceh yang tersungkur oleh tragedi itu. Ia meluas ke Eropa dan empat benua lain. Saya ke Helsinki, Finlandia, setelah enam bulan peristiwa itu terjadi. Di kota Eropa yang jaraknya lebih dari 10 ribu kilometer dari Banda Aceh itu, masih terlihat graffiti di berbagai tembok di tengah kota: “Tsunami. Save Aceh!”, dan sejumlah coretan sama dalam bahasa Finlandia.

Bantuan dunia ke Aceh memang mengalir deras. Tak sampai sepekan, Bandara Iskandar Muda, yang pada waktu itu hanya bandara nasional, didarati oleh ratusan pesawat dari mancanegara, dan juga nasional. Saya pernah menghitungnya, lebih dari 170 pesawat landing dan take off dalam waktu 24 jam setiap hari, selama pekan-pekan arus bantuan di awal bencana itu. Mereka datang dari penjuru dunia, dan juga nusantara.

Solidaritas kemanusiaan yang mengalahkan batas-batas negara, agama, dan ras dipertunjukkan dengan mengharukan di Aceh. Para relawan dari pelbagai belahan dunia datang ke kota yang hancur itu. Dari Indonesia lebih banyak lagi. Tua dan muda berduyun-duyun ke Aceh. Dari sipil sampai tentara bergerak tanpa henti membantu para korban dan memperbaiki berbagai kerusakan.

Aceh pun menjadi pusat perhatian dunia. Sebelumnya nama daerah ini muncul dalam berita dunia saat pasang surut konflik bersenjata. Tapi ia tak pernah menjadi magnet demikian kuatnya seperti saat didera bencana. Sekitar Rp 80 triliun disiapkan oleh puluhan negara untuk membangun kembali daerah itu lewat Multi Donors Trust Fund. Pemerintah membentuk Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh untuk memulihkan kembali Aceh.

Tsunami, selain sebagai maha bencana , ia seperti membawa rahasia alam yang lain. Tak terbayangkan bahwa konflik bersenjata di Aceh akan selesai seturut hantaman bencana itu. Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang telah angkat senjata hampir tiga puluh tahun saat Aceh dihajar bencana itu, bersedia berdamai dengan Pemerintah Republik Indonesia. Maka, urusan pembangunan kembali Aceh adalah hal tak mudah. Ia tak sama dengan daerah bencana lainnya.

Selain soal bencana alam, bagi Jakarta, Aceh juga merupakan “bencana” politik. Aceh harus diurus dengan cara khusus. Itu sebabnya, Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh, selalu mempertimbangkan dimensi pasca-konflik dalam agenda membangun kembali Aceh. Setelah sepuluh tahun, kini kita menyaksikan Aceh yang baru. Program pembangunan BRR telah kelar dalam rentang lima tahun setelah bencana itu.

Politik Aceh juga berubah setelah perjanjian damai GAM dan Pemerintah RI diteken di Helsinki pada Agustus 2005. Dalam rentang sepuluh tahun itu, Aceh telah dua kali mengalami pilkada langsung. Kedua pemilu itu menghasilkan para bekas pimpinan kombatan GAM di pucuk pemerintahan Aceh. Irwandi Yusuf menjadi Gubernur Aceh pertama pada masa transisi. Dia bekas juru bicara dan perunding GAM. Pada 2012, posisinya digantikan dr Zaini Abdullah sebagai gubernur dan bekas Panglima GAM Muzakkir Manaf sebagai wakil. Zaini adalah mantan pemimpin GAM di Swedia.

Memang, banyak kritik muncul bahwa Aceh seperti berjalan di tempat setelah BRR pergi. Nyaris tak ada pertumbuhan yang berarti. Seorang tenaga periset Aceh yang bekerja di World Bank, Muslahuddin Daud mengatakan warisan BRR kurang dirawat dengan baik oleh pemerintahan Aceh kini. Ada yang susah payah dibangun tapi tak terpakai. Belum lagi soal iklim politik lokal yang tak ramah bagi investor, berkembangnya rent seeking economy, membuat Aceh tak menarik di mata para penanam modal.

Padahal daerah ini kaya sumber daya alam. Lahan di Aceh cukup subur bagi industri pertanian, belum lagi sumber daya minyak, gas dan mineral. Di wilayah pantai barat Aceh, ada banyak potensi pertambangan emas. Saya cukup kaget dengan fakta yang diajukan oleh Muslahuddin, bahwa “ada 170 kesepakatan investasi masuk ke Aceh namun gagal. Hanya 3 atau 4 yang berhasil”.

Apalagi berkah buat Aceh sebetulnya belum surut. DIPA Aceh untuk 2015 sekitar Rp 26,9 triliun. Menurut Badan Pusat Statistik Aceh, pada 2013, pendapatan domestik regional bruto bagi Aceh sekitar Rp 38 triliun, naik sekitar Rp 1,5 triliun dibanding 2012. Soal investasi, BPS Aceh punya catatan menarik. Investasi dalam negeri ke Aceh sekitar Rp 3,5 triliun, investasi asing sekitar US$ 26 juta. Tapi porsi untuk investasi itu kalah dibandingkan konsumsi rumah tangga yang mencapai Rp 14,7 triliun.

Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh juga menganalisis salah satu penyebab anjloknya pertumbuhan ekonomi di Aceh adalah akibat rendahnya realisasi serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2014 senilai Rp13,3 triliun lebih. Ada banyak sebab lain mengapa investasi ke Aceh terlihat lebih selow. Kapasitas pemerintahan menjadi salah satu kunci dalam menarik dan melayani para penanam modal. Stabilitas politik dan keamanan lokal, meskipun kekerasan jauh berkurang, masih jadi alasan yang membuat para investor enggan menabur duit ke negeri itu.

Aceh betapapun telah mendapat modal dasar infrastruktur yang dibangun semasa BRR. Tentu ada yang kurang, dan tak sempurna. Tapi setidaknya Aceh yang memar dan roboh akibat bencana, bisa berjalan tegak kembali hari ini. Tugas rakyat Aceh selanjutnya, setelah satu dekade bencana itu, untuk memastikan terciptanya pemerintahan lokal yang kuat, mantap, dan cerdas. Tak kalah penting sumber daya manusia yang cakap.

Rakyat Aceh lah yang berkorban semasa konflik dan bencana yang harus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi ini. Jika tidak, Aceh akan dicatat sejarah sebagai daerah yang malang. Ia membiarkan kesempatan emas untuk melaju dan sejahtera lewat begitu saja, dan sia-sia.

Nezar Patria, Wakil Pemimpin Redaksi CNNIndonesia.com.
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER