Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar farmasi Iwan Dwi Harsono menganjurkan agar pilot yang mengonsumsi jenis obat
pseudoephedrine untuk tidak menerbangkan pesawat. Pasalnya, obat tersebut dapat menimbulkan efek samping berupa halusinasi.
"Ada anjuran menghindari mengendarai kendaraan. Konsumsi
pseudoephedrine dalam jumlah besar menimbulkan efek halusinasi seperti melihat bayangan dikira orang," ujar Iwan saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis (1/1).
Selain halusinasi, obat tersebut dapat menyebabkan detak jantung lebih cepat dan membuat seseorang jatuh pingsan.
Jika obat batuk tersebut digunakan saat mengendarai moda transportasi, seperti pesawat terbang, akan bisa mengganggu penglihatan pilot bersangkutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam keterangan pilot senior, ketika terbang situasi antara langit dan laut sulit dibedakan," kata dia. Alhasil, visualisasi dapat terganggu oleh penggunaan obat tersebut. "Sekarang, kan, pertanyaannya berapa banyak yang mengonsumsi obat batuk jenis tersebut?"
Iwan kemudian mengatakan
pseudophedrine biasa dikonsumsi sebagai obat batuk. Obat tersebut beredar di Indonesia dalam bentuk sirup. "Dia dijadikan
precusor (obat yang kesamaan sumber molekulnya) untuk ekstaksi jenis morfin," katanya.
Obat tersebut dapat bertahan selama 24 hingga 36 jam sejak dikonsumsi dengan kadar pemakaian sebanyak 60 mg. Apabila obat tersebut dikonsumsi berulangkali, maka akan lebih lama terkandung dalam darah dan urin, yakni selama tiga hari.
Sebelumnya, Tim Balai Kesehatan Penerbangan dan Tim Direktorat Kelaikan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan menggelar tes pemeriksaan urin kepada pilot.
Tes dilakukan di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Kamis (1/1). Hasil tes menunjukkan pilot pesawat AirAsia QZ7510 berinisial FI yang saat itu baru saja menerbangkan pesawat dari Jakarta menuju Bali, positif diduga mengonsumsi narkoba jenis morfin.
(utd/sip)