Jakarta, CNN Indonesia -- Polemik pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi para koruptor selalu mencuat setiap saat, terutama ketika hari raya keagamaan dan hari kemerdekaan. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengusulkan agar hak remisi dan bebas bersyarat bagi koruptor dicabut kecuali bagi koruptor yang merupakan
justice collaborator.
Justice collaborator yaitu pelaku yang mau bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar sebuah kasus korupsi. Peneliti hukum ICW Lalola Easter menilai pencabutan hak tersebut merupakan salah satu langkah progresif bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Artinya hanya koruptor yang berstatus
justice collaborator yang berhak mendapat remisi atau PB," kata Lalola dalam keterangan tertulis yang diterima CNN Indonesia, Senin (5/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Langkah progresif tersebut, menurut ICW, dapat direalisasikan dengan sejumlah upaya. Pertama, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa mengajukan tuntutan untuk mencabut hak remisi dan pembebasan bersyarat bagi terdakwa korupsi. Pencabutan tersebut dibarengi dengan tuntutan pidana penjara dan uang pengganti seperti yang selama ini telah dilakukan.
Lalola menjelaskan, dasar hukum pencabutan hak tersebut diatur dalam Pasal 18 ayat 1 huruf d Undang-Undang (UU) Pemberantasan Korupsi yang berbunyi,
selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP, sebagai pidana tambahan adalah pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah terhadap terpidana.
"Dengan pasal tersebut, maka hak hak napi koruptor seperti hak remisi dan pembebasan bersyarat bisa dicabut. Bahkan hak napi koruptor untuk mendapat pensiun apabila dia pejabat publik juga bisa dicabut," kata Lalola.
Langkah progresif kedua yaitu, masih menurut ICW, pengadilan sebaiknya menerima tuntutan pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat untuk koruptor yang diajukan KPK atau kejaksaan. Penerimaan tersebut adalah wujud dukungan bagi pengadilan untuk memberi efek jera terhadap pelaku korupsi.
Ketiga, Menteri Hukum dan HAM bersama jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan harus konsisten menjalankan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi dan bebas berysarat bagi koruptor.
Menteri Hukum dan HAM juga harus mencabut Surat Edaran Menteri tertanggal 12 juli 2013 dengan Nomor: M.HH-04.PK.01.05.06 yang mengatur pemberlakukan PP Nomor 99/2012.
"Surat edaran ini menjadi biang keladi kesimpangsiuran dan kegaduhan dalam pemberian remisi dan PB untuk koruptor selama hampir dua tahun terakhir," ujarnya.
Lalola juga menyebut, Surat Edaran itu masih membuka peluang koruptor untuk tetap memperoleh remisi dan PB.
Untuk itu, ICW juga meminta Presiden Joko Widodo sebaiknya menegur Menteri Hukum dan HAM agar memiliki komitmen memberantas korupsi dan mendukung langkah pemberian efek jera bagi pelaku.
"Di era Jokowi seharusnya tidak boleh ada koruptor yang dapat remisi dan pembebasan bersyarat kecuali koruptor berstatus justice collaborator," kata Lalola.
ICW memberikan tenggat waktu 14 hari bagi Menteri Hukum dan HAM untuk mencabut Surat Edaran tahun 2013 tersebut. Jika tidak, ICW bakal mengambil langkah hukum mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) agar Surat Edaran tersebut dicabut.
(rdk/obs)