Jakarta, CNN Indonesia -- Rekayasa lelang perusahaan penggarap proyek simulator surat izin mengemudi (SIM) atau proyek pengadaan
driving simulator uji klinik pengemudi roda dua dan roda empat tahun anggaran 2011 terungkap. Hal itu terungkap dalam persidangan terdakwa korupsi Brigadir Jenderal Didik Purnomo, bekas Wakil Kepala Korps Lalu Lintas Polri.
Saksi membenarkan ada persekongkolan di antara pejabat Polri dan perusahaan penggarap. Dalam proyek tersebut, Didik bertanggung jawab sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
"Lelang direkayasa dan dikondisikan oleh Sukotjo Sastronegoro Bambang (Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia). Ada kordinasi dengan Sukotjo dan Ni Nyoman Suartini (sekretaris panitia lelang) dengan Pak Didik juga beberapa kali," ujar saksi Warsono Sugantoro alias Jumadi untuk terdakwa Didik Purnomo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (22/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jumadi merupakan pekerja lepas yang diperintahkan Sukotjo untuk mengurus dokumen lelang empat perusahaan boneka yang dipinjam benderanya. Keempat perusahaan tersebut yakni PT Bentina Agung, PT Kolam Intan, PT Digo Mitra Slogan, dan dan PT Prima Kasih Sentosa.
Jumadi diminta oleh staf PT ITI Mordechay atas perintah Sukotjo untuk mengatur kelengkapan dokumen dan berkoordinasi secara langsung dengan pejabat Korlantas Polri. Koordinasi dilakukan pada akhir tahun 2010. Untuk jasanya, Jumadi mengaku mendapat upah Rp 20 juta.
"Saya yang mengurus surat kuasa PT Digo dan PT Bentina Agung untuk pembukaan rekening," ujar Jumadi.
Namun, tanda tangan direksi dalam surat tersebut dipalsukan oleh seseorang bernama Syahroni. Pemalsuan dilakukan di Bandung. Keempat perusahaan tersebut sengaja diikutseratakan dalam proses lelang untuk kalah.
Didik selaku PPK didakwa menunjuk langsung perusahaan pemenang lelang PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT CMMA) milik Budi Santoso. Padahal pelelangan tak pernah dilakukan meski ada empat perusahaan boneka. Sementara itu, proyek justru digarap oleh PT Inovasi Teknologi Indonesia (PT ITI).
"Pak Sukotjo punya ambisi memenangkan PT CCMA tapi pelaksanaannya PT ITI," ujar Jumadi.
Beberapa kali Jumadi mengaku turut dalam proses seleksi kelengkapan administrasi perusahaan. Padahal seleksi dan evaluasi dilakukan di ruang tertutup yang tak sembarang orang bisa masuk.
Jaksa Haerudin dalam sidang pembacaan dakwaan pada 11 Desember 2014 menyebutkan, Didik menikmati duit panas senilai Rp 50 juta dan memperkaya orang lain yakni Djoko Susilo (mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri) sebesar Rp 32 juta, serta Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Santosa sebesar Rp 93,381 miliar.
Selain itu, pihak lain yang diindikasikan menerima duit panas yaitu Direktur Sukotjo Sastronegoro Bambang sebesar Rp 3,9 miliar, Bagian Keuangan Mabes Polri Darsian senilai Rp 50 juta.
Proyek tersebut nilainya mencapai Rp 200 miliar. Namun, atas tindak pidana yang dilakukan Didik dan pihak lain, negara merugi Rp 121,83 miliar.
Didik dinilai telah lalai melaksanakan tugas. Sejumlah pekerjaan tak ia lakukan sebagai PPK, yaitu tidak menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang menyebabkan penggelembungan anggaran. HPS justru dibuat oleh pihak rekanan, Sukotjo.
Atas tindak pidana tersebut, Didik dijerat Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 dan 56 KUHP. Ancaman hukuman bagi Didik yakni 20 tahun penjara.
(rdk/rdk)