RUU PRT Tak Masuk Prolegnas, DPR Dinilai Pro Perbudakan

Utami Diah Kusumawati | CNN Indonesia
Rabu, 11 Feb 2015 11:34 WIB
Pemerintah dinilai tidak memiliki sensitifitas atas perlindungan PRT menyusul tidak masuknya RUU Pekerja Rumah Tangga dalam Prolegnas Prioritas DPR 2015.
Kapolda Sumut Irjen Pol Eko Hadi Sutedjo (kanan) berbincang dengan dua pembantu rumah tangga (PRT) korban penyiksaan majikan, ketika dilakukan gelar kasus, di Mapolresta Medan, Sumut, Jumat (28/11). (AntaraFoto/ Irsan Mulyadi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tidak masuknya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Dewan Perwakilan Rakyat (Prolegnas DPR) pada 2015 membuat aktivis dan penggiat advokasi perlindungan PRT geram. Mereka menilai pihak DPR tidak memiliki sensitifitas atas perlindungan Pekerja Rumah Tangga serta mendorong perbudakan moderen dengan mengabaikan hak-hak PRT. 

Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Lita Anggraini, mengungkapkan kekecewaannya atas penghapusan RUU PPRT dari Prolegnas Prioritas 2015. Dia menilai penghapusan tersebut merupakan ketakutan anggota DPR atas pemenuhan hak-hak PRT.

"Penghapusan RUU PPRT dari Prolegnas 2015 menunjukkan ketakutan dari anggota DPRT karena sebagai majikan mereka nantinya mesti memenuhi hak-hak PRT yang bekerja di rumahnya. Nampak DPR lebih berwajah sebagai majikan pro perbudakan," kata Lita kepada CNN Indonesia, Rabu (11/2). 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lita mengatakan RUU PPRT telah diperjuangkan oleh beberapa organisasi penggiat hak-hak dan perlindungan PRT sejak 2004. Organisasi tersebut termasuk JALA PRT, Komite Aksi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (KAPPRT) dan Buruh Migran (BM). RUU PPRT ini telah ditawarkan ke DPR selama dua periode dan saat ini memasuki tahun ke-11. Namun, dalam pembahasan Prolegnas DPR 2015, RUU PPRT malah tidak dibahas dan juga disahkan. 

"Tanggapan DPR baik dari Komisi IX dan Baleg dalam beberapa pertemuan yang menyatakan tekad untuk memberi perlindungan PRT melalui penetapan RUU PPRT sebagai Prioritas Prolegnas 2015 hanya kebohongan publik, janji palsu yang merupakan sandiwara politik tak bertanggungjawab dari keberpihakan atas rakyat kecil," ujarnya.

Lita mengatakan desakan kepada pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Perlindungan PRT semakin menguat terutama pada bulan November 2014 di mana masyarakat dikejutkan oleh terjadinya kasus kekerasan terhadap sejumlah PRT. Berdasarkan data yang dihimpun JALA PRT, kekerasan dan penyiksaan terjadi di Medan Timur untuk yang ketiga kalinya sejak tahun 2011.

Kemudian pada saat yang bersamaan dan beruntun terjadi kasus kekerasan PRT di Tangerang Selatan dimana PRT Nuryati selama 5 bulan ini disiksa majikannya dan gaji sebesar Rp.300.000 tidak dibayar. Lalu, ada juga kekerasan terhadap PRT Sri Dewi di Medan yang disekap dan disiksa majikannya dan kekerasan terhadap PRT Rohayati di Bekasi yang mengalami siksaan dan penyekapan selama 1 tahun terakhir ini. Kemudian pada 20 Desember 2014 3 PRT, yakni Yani,Casti dan Resti yang dianiaya oleh majikannya di Sunter.

"Penghapusan RUU PPRT menunjukkan bahwa kasus-kasus Kekerasan PRT di dalam negeri, suara Ibu Wagini sebagai PRT beserta 17500 ribu warga negara tidaklah menjadi pertimbangan anggota Dewan yang mengikuti rapat saat itu," kata Lita. 

Meski telah dihapus, Lita mengatakan pihaknya bersama dengan organisasi penggiat perlindungan PRT akan terus mendesak DPR dan pemerintah untuk bersepakat mengesahkan RUU PPRT sesuai dengan Ratifikasi Konvensi ILO 189 Situasi Kerja Layak PRT. 

"Kami akan tetap bergerak dan bergerak untuk tercapainya perlindungan menyeluruh bagi PRT melalui UU Perlindungan PRT dan Ratifikasi Konvensi ILO 189 Kerja Layak PRT," ujar dia. 

Saat ini, DPR sedang membahas 37 RUU Prolegnas Prioritas 2015, diantaranya adalah RUU KUHAP, RUU Larangan Minuman Beralkohol dan RUU tentang Radio Televisi Republik Indonesia. 

(utd/sip)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER