Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Yenti Garnasih mengkritik proses seleksi hakim ad hoc tindak pidana korupsi. Pasalnya, ditemukan sejumlah hakim ad hoc tipikor yang terlibat dalam suap menyuap. Salah satunya, makelar kasus yang berkedok hakim di Pengadilan Negeri Medan.
"Seharusnya seleksi hakim Tipikor yang benar dan ketat. Jangan menerima orang yang biasa pindah-pindah pekerjaan. Konsep seleksi hakim Tipikor ini lagi-lagi diuji. Dulu, pernah ada yang kasus hakim di Semarang dan Bandung," ujar Yenti ketika dihubungi CNN Indonesia, Rabu (11/2).
Penelusuran rekam jejak dinilai menjadi salah satu kunci penyeleksian hakim ad hoc Tipikor. Aspek latar belakang pendidikan dan perilaku saat bekerja di tempat sebelumnya juga menjadi pertimbangan. Selain itu, paparan usia juga menjadi faktor penting untuk melihat kedewasaan berpikir. "Mereka (MA dan KY) sendiri yang bisa tahu dimana kelemahannya," ucapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selasa (10/2), Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang digelar Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) memutus Hakim Pengadilan Negeri Medan, Kemas Ahmad Jauhari, bersalah. Kemas terbukti menawarkan duit Rp 500 juta kepada tiga hakim Pengadilan Tinggi untuk mempengaruhi putusan terdakwa korupsi bernama Faisal.
Ketika menjadi hakim anggota sidang Faisal, Kemas berbeda pendapat dengan hakim lain. Kemas menganggap Faisal tak terbukti bersalah melakukan korupsi dan mengusulkan untuk membebaskan Faisal. Kendati demikian, majelis tetap menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 1,5 tahun bagi Faisal.
Tak puas, ia berupaya untuk melobi hakim tinggi. Lobi dilakukan untuk meminta penguatan putusan Pengadilan Negeri atau bahkan membebaskan Faisal. Untuk itu, Kemas menawarkan duit Rp 500 juta.
"Hakim kok mengajari untuk menyuap itu bagaimana? Biasanya, pihak terpidana yang menyuap hakim tinggi. Ini, kok, bisa langsung hakimnya? Ini bobrok sekali, padahal dia hakim Tipikor," ujar Yenti menanggapi kasus Kemas.
Menurut Yenti, baik Mahkamah Agung (MA) maupun Komisi Yudisial (KY) juga mempertimbangkan aspek nilai, etika, dan moral ketika menyeleksi calon hakim. "Etika dan moral melarangnya. Itu hukum yang hidup. Letaknya lebih tinggi daripada Undang-Undang (UU). Kita harus mendorong negara ke arah itu. Kita, kan, negara hukum, bukan hanya UU," katanya.
Rekam Jejak BurukAnggota majelis sekaligus Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi KY Eman Suparman ketika dikonfirmasi CNN Indonesia pada Selasa (10/2), menjelaskan Kemas memiliki rekam jejak yang buruk saat menjadi hakim ad hoc tipikor.
"Kemas dulu pernah disidang (MKH) sekali dan diberi sanksi ringan. Dia pernah mengubah status terdakwa dari tahanan rutan ke tahanan kota, tetapi tidak melalui pembacaan di sidang," ujar Eman.
Kemas pun juga pernah dimutasi ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. "Kalau yang kejadian menyuap itu saat dia di PN Medan. Ini sudah kedua kalinya MKH menyidang," ujar Eman. Sebelum menjadi hakim ad hoc, Kemas tercatat menjadi seorang advokat.
Sementara itu, Ketua Bidang Rekrutmen Hakim KY Taufiqurrahman Syahuri menyangkal Kemas meupakan hakim pilihan KY. Pasalnya, saat perekrutan Kemas pada tahun 2012, KY belum dilibatkan dalam proses seleksi rekam jejak oleh MA.
"Yang pilihan KY belum ada masalah," ujar Taufiq kepada CNN Indonesia, Selasa (10/2). Menurutnya, KY sangat selektif dalam memberikan rekomendasi nama calon hakim tipikor.
(utd)