Jakarta, CNN Indonesia -- Lita Anggraini sudah 22 hari mogok makan. Bukan puasa, bukan pula tanpa alasan. Ia mogok makan demi memperjuangkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) diterbitkan sebagai undang-undang.
Mogok makan tidak berarti berdiam diri. Hari ini Senin (9/3) siang misalnya, Lita ikut turun berdemonstrasi bersama puluhan buruh lainnya di halaman gedung Kementerian Tenaga Kerja, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Mereka berorasi meminta Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mendorong RUU PRT masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). RUU PRT dinilai penting untuk perlindungan PRT yang selama ini belum dianggap sebagai buruh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setidaknya, harus ada payung hukum nasional dulu," kata Lita. Sementara, urusan upah bisa diatur belakangan. Lita berpendapat selama ini PRT tidak mendapatkan jaminan kesehatan maupun jaminan ketenagakerjaan. Padahal, menurutnya, peran PRT sama pentingnya dengan buruh pabrik.
Mogok makan selama 22 hari bukanlah perkara mudah. Beberapa hari lalu, Lita harus dirawat di rumah sakit karena aksi ekstremnya tersebut. Meski rambutnya hampir memutih seluruhnya, ternyata semangatnya masih menyala.
"Saya akan terus mogok makan sampai RUU PRT masuk Prolegnas," kata Lita. Sesaat kemudian, ia menarik napas dalam-dalam. Keringatnya bercucuran, ia tidak mampu lagi berkata-kata. Lita kemudian duduk, bermaksud rehat dari aksi unjuk rasa.
"Kami menempuh jalan mogok makan karena cara lainnya tidak mempan lagi," kata Sekretaris Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Dian Septi Trisnanti kepada CNN Indonesia. Sudah bertahun-tahun, memang, mereka lakukan aksi protes.
Berbeda dengan Lita yang mogok makan terus-menerus, Dian mogok makan secara bergantian dengan buruh lainnya. Ia berharap pemerintah bisa mengabulkan desakan mereka. "Selama bertahun-tahun kami berjuang agar RUU PRT masuk Prolegnas, namun ternyata tahun ini dikeluarkan dari prioritas. Itu artinya pemerintah sudah ingkar janji," ujarnya.
Buruh perempuan rentan pelecehan seksualTuntutan lain yang diajukan adalah perlindungan buruh dari pelecehan seksual serta kekerasan seksual di tempat kerja. Dian bercerita masih banyak buruh perempuan yang mengalami perlakuan tersebut di tempat kerja. "Misalnya, salah satu kawan kami kerap kali diintip di tempat kerjanya," ujar Dian.
Selain itu, penyalur kerja juga kerap meminta imbalan berupa hubungan seksual dengan buruh perempuan. Bahkan, ada beberapa buruh perempuan yang dipaksa menikah dengan atasan pabrik agar diangkat sebagai karyawan tetap pabrik tersebut.
Karenanya, Dian meminta agar pemerintah segera membentuk posko anti kekerasan seksual. Selain itu, juga memasang papan besar bertuliskan 'Bebas Kekerasan Seksual' di pabrik untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat.
Dian juga berharap agar pemerintah mengeluarkan aturan agar perusahaan menyediakan tempat menyusui serta penitipan anak. "Selama ini, para buruh perempuan yang punya bayi terpaksa berlarian pulang ke rumah untuk menyusui anaknya ketika jam istirahat."
(pit)