Jakarta, CNN Indonesia -- “Ampun, Pak. Ampun,” ujar Nenek Asiani alias Muaris (63) sembari bersimpuh menyembah majelis hakim di Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur, pada Senin 9 Maret lalu.
Air mata sang nenek terus mengalir sehingga beberapa petugas persidangan berdatangan untuk menyeka airmata perempuan paruh baya yang mengenakan jilbab dan baju berwarna putih tersebut.
Dia tidak menyangka akibat kayu-kayu untuk tempat tidur di pelataran rumahnya, Nenek dengan empat orang anak tersebut terancam dengan hukuman lima tahun penjara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hukuman tersebut berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan.
Kejadian tersebut bermula ketika PT Perhutani melayangkan laporan ke Polsek Jatibenteng, Situbondo, pada Juli 2014.
Dalam laporan tersebut, Nenek Asiani dituduh telah mencuri tujuh gelondong kayu milik PT. Perhutani dengan diameter hingga 100 senti meter.
Menurut keterangan kuasa hukumnya dari LBH Nusantara, Supriyono, Nenek Asiani kemudian ditahan pihak kepolisian pada bulan Desember dengan status sebagai tersangka.
“Padahal kayu-kayu tersebut sudah dipotong oleh almarhum suami Asiani pada lima tahun lalu. Diameternya juga hanya 15 cm,” kata Supriyono saat dihubungi CNN Indonesia usai sidang ketiga di PN Situbondo, Kamis (12/3).
Sementara itu, tempat tinggal Asiani di desa Jatibenteng merupakan warisan bapaknya. Dia bersama suami dan anak-anaknya telah tinggal di sana selama puluhan tahun.
Supriyono menjelaskan sehari setelah ditahan kepolisian, Kepala Desa Jatibenteng berniat memediasi kisruh keduanya. Kepada PT Perhutani, Kepala Desa menunjukkan lahan di mana terdapat bonggol kayu yang ditebang oleh suami Asiani.
“Namun, pihak Perhutani tidak mau mendengarkan hingga akhirnya dilakukan penahanan pada 15 Desember tahun lalu,” ujar dia.
Presidium Dewan Kehutanan Nasional (DKN) kamar masyarakat region Jawa, Sungging Septivianto, mengatakan pihaknya akan turut hadir sebagai salah satu saksi dalam persidangan Nenek Asiani.
Sungging menilai kasus seperti Nenek Asiani sudah sering sekali terjadi di Indonesia, di mana UU yang pada intinya ditujukan untuk menjerat perusahaan nakal malah salah sasar ke masyarakat kecil.
“Kasus seperti ini sering sekali terjadi yang menimpa masyarakat desa di hutan dituduh menebang kayu ilegal. Padahal, nyatanya, mereka hanya masyarakat yang menebang kayu sendiri,” ujar dia.
Lebih jauh lagi, umumnya masyarakat tersebut mengambil kayu di hutan sekadar untuk kayu bakar dan membuat rumah serta bukan untuk tujuan komersil apalagi merusak.
“Oleh karena itu, pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum pada kasus Nenek Asiani salah sasar,” kata Sungging menjelaskan.
Pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum pada kasus Nenek Asiani salah sasarSungging Septivianto, Presidium Dewan Kehutanan Nasional |
Dia mengaku sudah mengonfirmasi ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Salah satu pejabat di kementerian, Basuki Karya Atmadja, seperti disampaikan Sungging, mengatakan UU Nomor 18 Tahun 2013 dikhususkan untuk menjerat pelaku kejahatan kehutanan seperti mafia hutan dan pembalak liar yang bertujuan mengeruk keuntungan dari sumber daya alam milik negara.
“Menurut kami ini pasal dan UU yang tidak tepat untuk menjerat masyarakat. Logikanya masak nenek tua miskin jadi mafia,” kata dia menegaskan.
Namun, hingga kini persidangan atas Nenek Asiani masih terus berlanjut. Pada Kamis ini, Jaksa Penuntut Umum, kata Supriyono, menolak semua eksepsi kuasa hukum terdakwa.
Sidang kemudian akan berlanjut lagi pada Senin (17/3) mendatang dengan agenda pembacaan putusan sidang sela di PN Situbondo.
Korupsi terkait Lingkungan Belum PrioritasKejahatan lingkungan, terutama korupsi yang berkaitan dengan eksploitasi lingkungan belum jadi prioritas.
Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga saat peluncuran Pelayanan Pengaduan Kasus Kehutanan dan Lingkungan Hidup di Jakarta, Kamis ini, mencontohkan kasus dugaan korupsi di Pulau Bangka Sulawesi Utara (Sulut) merupakan contoh kasus lingkungan hidup dan kehutanan yang membutuhkan dukungan dari banyak kementerian.
“Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup hanya bertanggungjawab pada aspek dua perizinan. Ada pihak lain yang mesti juga turun tangan atasi persoalan ini,” kata dia.
Pihak itu, katanya, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai pemberi izin, pemerintah daerah terkait Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), dan Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait izin eksploitasi di pulau terpinggir dan terluar Indonesia.
“Kasus Pulau Bangka jadi contoh kasus sumber daya alam yang tidak bisa diselesaikan hanya satu kementerian saja,” ujarnya.
Dugaan korupsi di Pulau Bangka Sulut bermula ketika izin eksplorasi tambang oleh PT Mikro Metal Perdana tetap diberikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik.
Padahal, saat itu sebelas kementerian telah melakukan moratorium penghentian eksplorasi daerah Bangka.
Tama S. Langkun dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan meskipun izin sudah keluar namun perusahaan tetap tidak membayar biaya reklamasi lahan. Oleh karena itu, negara diperkirakan merugi hingga triliunan rupiah.
“Dugaan korupsi sumber daya alam di Pulau Bangka menjadi yang paling fantastis di Indonesia,” ujar Tama.
Selain Pulau Bangka, daerah lain yang diduga nilai korupsi SDA besar adalah Aceh, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Timur.
(hel)