Jakarta, CNN Indonesia -- Pendirian pabrik semen milik PT Semen Indonesia di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, hingga kini belum mendapat restu dari masyarakat setempat. Terhitung sejak 16 Juni 2014, masyarakat setempat yang didominasi ibu-ibu rumah tangga masih setia menggelar tenda di sekitar lokasi tapak pabrik. Mereka tak rela sumber mata air dan penghidupannya di Gunung Watuputih, Pegunungan Kendeng, dirampas korporasi.
Mulainya PerlawananKala itu, Ahad malam, 15 Juni 2014, Sukinah, warga Desa Tegal Dowo, Kecamatan Gurem, mendapatkan informasi bakal ada acara peletakan batu pertama pendirian semen yang lokasinya tidak jauh dari kediamannya. Malam itu juga Sukinah dan warga setempat berkumpul untuk berembuk menggelar aksi protes.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keesokan harinya, ketika fajar merekah, warga secara berkelompok mulai mendatangi lokasi tapak pabrik. "Rencana aksi kami rupanya telah mendapat hadangan dari aparat kepolisian," ujar Sukinah saat menceritakan kembali kronologis aksi protes warga Rembang kepada CNN Indonesia di Jakarta, Selasa(17/3).
Pihak aparat menyatakan saat itu tidak ada acara peletakan batu pertama, melainkan hanya kegiatan doa bersama untuk kelancaran operasi pendirian pabrik semen. Alih-alih membubarkan diri, Sukinah dan puluhan warga desa memilih bertahan dan memblokir jalan di depan pintu masuk gerbang pabrik.
Situasi mulai menegang. Pihak kepolisian mendapat bantuan personel pengamanan dari TNI yang mulai berdatangan ke lokasi aksi. Satu truk tambahan berisi aparat militer yang menyusul didatangkan tetap tidak menggoyahkan warga. Malah, warga lainnya mulai berdatangan dan ikut melebur dengan barisan massa yang telah berkumpul sebelumnya.
"Dari situ aparat mulai membentaki kami dan mengusir warga untuk pulang ke rumah masing-masing," ujar Sukinah.
Bentrokan fisik mulai terjadi. Murtini, kawan sekampung Sukinah, didorong-dorong badannya oleh seorang aparat. Murtini berontak, tapi tak berdaya. "Saya diangkat oleh empat petugas dan dilempar ke sebuah lahan yang tak jauh dari lokasi aksi. Saya pingsan," ujarnya.
"Bisa saya katakan, 16 Juni adalah hari paling mencekam bagi warga Rembang." Sukinah, warga Desa Tegal Dowo, Rembang. |
Bukan hanya Murtini yang mendapat kekerasan fisik dari para aparat. Sukinah mengatakan, hampir semua peserta aksi kala itu mendapat perlakuan yang sama. Ketegangan itu terus bergulir hingga petang. "Bisa saya katakan, 16 Juni adalah hari paling mencekam bagi warga Rembang," ujar Sukinah.
Hingga hari berganti berganti malam, warga masih tetap bertahan di sekitar lokasi tapak pabrik. Sempat kembali terjadi ketegangan ketika warga lainnya berniat mengirimkan logistik dan alat penerangan kepada para peserta aksi yang masih bertahan. Namun setelah negosiasi alot dan gelar zikir warga, aparat TNI-Polri akhirnya memperbolehkan logistik bantuan masuk.
Malam itu, warga tetap bertahan di lokasi aksi dengan mendirikan tenda sebagai tempat istirahat. "Sampai saat ini tenda itu masih berdiri. Genap 273 hari kami bergantian berjaga di sana dan masih akan terus bertahan hingga izin pabrik dicabut," ujar Sukinah.
Bukan Usaha Pendirian yang PertamaUpaya pendirian pabrik milik PT Semen Indonesia di Jawa Tengah bukan kali pertama. Perusahaan pelat merah yang sebelumnya bernama PT Semen Gresik itu sempat tidak mendapat restu dari Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang pada 2009 ketika hendak mendirikan pabrik di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.
Izin penambangan dan pembangunan mereka dianggap tidak sah lantaran dianggap tidak memilik analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Tak mau menyerah, mereka lantas menggeser izin lokasi pabrik di rembang dengan rencana melakukan penambangan di Kawasan Gunung Watuputih Kabupaten Rembang. Nilai proyek mereka ditaksir mencapai Rp 3,7 triliun.
Setelah mendapat izin usaha penambangan (IUP) dan SK pemberian izin lokasi dari Bupati Rembang Moch Salim pada 2011, Amdal PT Semen Gresik lantas diloloskan oleh Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo pada 2012. "Tapi mereka tidak pernah melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang akan terkena dampak," ujar Manager Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi, Muhnur Satyahaprabu.
Sebagai kuasa hukum yang mewakili suara penolakan warga Rembang, Muhnur menganggap pendirian pabrik semen di Rembang terkesan dipaksakan karena tidak memerhatikan unsur Amdal. Alih-alih memberikan sosialisasi yang konstruktif kepada warga, kata Muhnur, pihak pejabat dan orang-orang pabrik malah memberikan sembako dan bantuan pangan kepada masyarakat.
"Rupanya pemberian bahan makanan itu mereka anggap sekaligus sebagai bentuk pemberian restu dari masyarakat untuk pembangunan pabrik," ujar Muhnur.
Atas ketidakberesan tersebut, Muhnur lantas mengajukan sidang gugatan kepada PTUN Semarang pada November 2014. Menurut Muhnur, pemberian izin pendirian pabrik semen PT Semen Indonesia bersifat a quo karena bertentangan dengan undang-undang yang mengatur tentang sumber daya air, penataan ruang wilayah nasional, pengelolaan lingkungan, dan penetapan cekungan air tanah.
Proses PTUN hingga kini masih bergulir. Muhnur mengatakan persidangan telah berjalan lebih dari 10 kali. "Sidang berikutnya akan menghadirkan saksi ahli dari pihak tergugat," ujarnya.
Gerah dengan situasi yang tak kunjung membaik, warga rembang akhirnya memutuskan untuk menyambangi lembaga-lembaga di pemerintahan pusat. Pada 20 November 2014, warga Rembang berbondong-bondong bertandang ke Ibu Kota.
Mengenakan kebaya dan caping, para ibu-ibu Rembang mendatangi Komnas HAM, Mabes Polri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Komisi Pemberantasan Korupsi. Respons dari lembaga-lembaga yang bermarkas di Jakarta itu positif dan menjanjikan dukungan penuh.
Komnas HAM menerbitkan surat imbauan kepada bupati Rembang agar aparat tidak memberikan tindakan agresif kepada warga. Mabes Polri memberi tenggat dua pekan kepada pihak pabrik untuk memberikan penjelasan. KLHK menjanjikan bakal mengkaji penerbitan izin pabrik. Dan KPK menyatakan bakal mendalami aduan dugaan korupsi di balik kebijakan penerbitan izin.
Tapi aksi sowan warga Rembang itu seperti tak memiliki pengaruh banyak di kampungnya sendiri. Pada 27 November 2014, warga kembali mendapat perlakuan agresif ketika menggelar aksi nembang lesungan dengan memblokir jalan sebagai bentuk luapan kesal yang tak kunjung reda. Lagi-lagi, Murtini jadi korban aparat.
"Kami dipaksa bubar dan lesung saya diambil oleh petugas. Hingga kini lesung itu tidak pernah dikembalikan," ujar Murtini.
Kendi yang PecahGunung Watuputih menjadi sasaran empuk lokasi pertambangan lantaran secara fisiografis tergolong dalam tipe bentang alam karst, yang tak lain merupakan bahan baku utama pembuatan semen. Di sisi lain, Karst memiliki fungsi strategis sebagai penyimpanan cadangan air terbesar di bawah permukaan bagi wilayah di sekitar kawasan karst.
Berdasarkan hasil pendataan secara berkala yang dilakukan oleh Semarang Caver Association (SCA) dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang, terdapat 109 mata air yang tersebar di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih sebagai mata air parenial yang mengalir di sepanjang musim kemarau dan penghujan.
"Ini mata air abadi dan telah menjadi penghidupan warga Rembang selama ini. Pendirian pabrik semen adalah ancaman bukan hanya bagi warga, tapi untuk alam itu sendiri," ujar pegiat JMPPK Aan Hidayah.
Berdasarkan data AMDAL PT. Semen Indonesia, mata air yang terbesar adalah Sumber Semen memiliki debit 600 lt/detik terletak di Desa Tahunan di bagian timur wilayah CAT Watuputih. Artinya, kata Aan, dalam sehari di satu titik lokasi mata air saja akan menghasilkan 51.840.000 liter air. Kurang dari 10 persen aliran air itu dimanfaatkan langsung untuk kebutuhan masyarakat dan sisanya terdistribusi ke lahan pertanian.
"Kami makan nasi, bukan semen." Ngatemi, warga Desa Tega Dowo, Rembang. |
Dengan jumlah penduduk lebih dari 600 ribu jiwa yang tersebar di 14 kecamatan Rembang, Aan mencatat setiap penduduk Rembang selama ini mendapatkan jatah lebih dari 20 liter air perhari. Dengan luas area 131,55 hektare penambangan yang menjadi jatah PT Semen Indonesia di kawasan CAT Watuputih, debit air berpotensi surut hingga 4.054.500 m3.
"Tapi ini bukan hanya soal air yang terkuras di Gunung Watuputih. Pegunungan Kendeng terancam rata," ujar Aan.
Aan mengatakan, Pegunungan Kendeng saat ini diapit oleh lima kabupaten. Lolosnya izin pabrik semen di Rembang saat ini menjadi semacam pintu masuk bagi pabrik-pabrik lain untuk mengajukan izin penambangan yang serupa. Terbukti, pada 8 Desember Bupati Pati Haryanto menerbitkan pemberian izin lingkungan bagi PT Sahabat Mulia Sakti selaku investor pabrik semen.
"Bisa dibayangkan jika permohonan izin tambang di kabupaten lainnya diloloskan, sumber mata air di Jawa tengah bisa berubah jadi genangan air mata," ujar Aan.
Menurut Muhnur, pemerintah tidak memiliki urgensi kuat untuk memaksakan pengeksploitasian karst di Rembang. Pasalnya, berdasarkan catatan Asosiasi Semen Indonesia, kata Muhnur, produksi semen tahun 2013 dan 2014 mengalami surplus lebih dari satu persen. hal itu diperkuat dengan menurunnya kebutuhan semen pada 2015.
"Jadi kalau pembangunan semen jadi prioritas untuk pembangunan infrastruktur negara, saya kira itu hanya akal-akalan saja," ujar Muhnur.
Menurut Ngatemi, warga Rembang yang setia menemani aksi protes Sukinah dan Murtini, sumber mata air Gunung Watuputih yang akan dijadikan lokasi tambang oleh Semen Indonesia itu ibarat sebuah kendi. "Ketika kendi itu pecah, airnya akan tumpah dan hilang begitu saja," ujarnya.
Ngatemi mengatakan, kehidupan warga Rembang bukan hanya terganggu oleh kedatangan alat berat yang menebarkan debu kegaduhan. Lebih dari itu, pendirian pabrik itu telah merusak ketenteraman warga yang kini mulai tidak rukun. Pasalnya, tak semua warga menolak kehadiran pabrik semen di Rembang.
"Mereka bilang pabrik bakal bikin makmur warga dan segala macam. Tapi saya kira kami sudah merasa dihidupi oleh alam. Kami makan nasi, bukan semen. Lagipula ini hanya menguntungkan pabrik, bukan program pemerintah," ujar Ngatemi.