Upaya Warga Rembang Menjaga 'Kendi' Abadi

Gilang Fauzi | CNN Indonesia
Rabu, 18 Mar 2015 15:35 WIB
Warga Desa Tegal Dowo, Rembang masih terus berjuang menolak pembangunan pabrik milik PT Semen Indonesia karena bakal merusak sumber air abadi mereka.
Murtini, Sukinah, Giyem, dan Ngatemi, warga Desa Tegal Dowo, Rembang, di Kantor Walhi, Jakarta, Selasa (17/3). (CNN Indonesia/Gilang Fauzi)
Gerah dengan situasi yang tak kunjung membaik, warga rembang akhirnya memutuskan untuk menyambangi lembaga-lembaga di pemerintahan pusat. Pada 20 November 2014, warga Rembang berbondong-bondong bertandang ke Ibu Kota.

Mengenakan kebaya dan caping, para ibu-ibu Rembang mendatangi Komnas HAM, Mabes Polri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Komisi Pemberantasan Korupsi. Respons dari lembaga-lembaga yang bermarkas di Jakarta itu positif dan menjanjikan dukungan penuh.

Komnas HAM menerbitkan surat imbauan kepada bupati Rembang agar aparat tidak memberikan tindakan agresif kepada warga. Mabes Polri memberi tenggat dua pekan kepada pihak pabrik untuk memberikan penjelasan. KLHK menjanjikan bakal mengkaji penerbitan izin pabrik. Dan KPK menyatakan bakal mendalami aduan dugaan korupsi di balik kebijakan penerbitan izin.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tapi aksi sowan warga Rembang itu seperti tak memiliki pengaruh banyak di kampungnya sendiri. Pada 27 November 2014, warga kembali mendapat perlakuan agresif ketika menggelar aksi nembang lesungan dengan memblokir jalan sebagai bentuk luapan kesal yang tak kunjung reda. Lagi-lagi, Murtini jadi korban aparat.

"Kami dipaksa bubar dan lesung saya diambil oleh petugas. Hingga kini lesung itu tidak pernah dikembalikan," ujar Murtini.

Kendi yang Pecah

Gunung Watuputih menjadi sasaran empuk lokasi pertambangan lantaran secara fisiografis tergolong dalam tipe bentang alam karst, yang tak lain merupakan bahan baku utama pembuatan semen. Di sisi lain, Karst memiliki fungsi strategis sebagai penyimpanan cadangan air terbesar di bawah permukaan bagi wilayah di sekitar kawasan karst.

Berdasarkan hasil pendataan secara berkala yang dilakukan oleh Semarang Caver Association (SCA) dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang, terdapat 109 mata air yang tersebar di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih sebagai mata air parenial yang mengalir di sepanjang musim kemarau dan penghujan. 

"Ini mata air abadi dan telah menjadi penghidupan warga Rembang selama ini. Pendirian pabrik semen adalah ancaman bukan hanya bagi warga, tapi untuk alam itu sendiri," ujar pegiat JMPPK Aan Hidayah.

Berdasarkan data AMDAL PT. Semen Indonesia, mata air yang terbesar adalah Sumber Semen memiliki debit 600 lt/detik terletak di Desa Tahunan di bagian timur wilayah CAT Watuputih. Artinya, kata Aan, dalam sehari di satu titik lokasi mata air saja akan menghasilkan 51.840.000 liter air. Kurang dari 10 persen aliran air itu dimanfaatkan langsung untuk kebutuhan masyarakat dan sisanya terdistribusi ke lahan pertanian. 

"Kami makan nasi, bukan semen." Ngatemi, warga Desa Tega Dowo, Rembang.
Dengan jumlah penduduk lebih dari 600 ribu jiwa yang tersebar di 14 kecamatan Rembang, Aan mencatat setiap penduduk Rembang selama ini mendapatkan jatah lebih dari 20 liter air perhari. Dengan luas area 131,55 hektare penambangan yang menjadi jatah PT Semen Indonesia di kawasan CAT Watuputih, debit air berpotensi surut hingga 4.054.500 m3.

"Tapi ini bukan hanya soal air yang terkuras di Gunung Watuputih. Pegunungan Kendeng terancam rata," ujar Aan.

Aan mengatakan, Pegunungan Kendeng saat ini diapit oleh lima kabupaten. Lolosnya izin pabrik semen di Rembang saat ini menjadi semacam pintu masuk bagi pabrik-pabrik lain untuk mengajukan izin penambangan yang serupa. Terbukti, pada 8 Desember Bupati Pati Haryanto menerbitkan pemberian izin lingkungan bagi PT Sahabat Mulia Sakti selaku investor pabrik semen.

"Bisa dibayangkan jika permohonan izin tambang di kabupaten lainnya diloloskan, sumber mata air di Jawa tengah bisa berubah jadi genangan air mata," ujar Aan.

Menurut Muhnur, pemerintah tidak memiliki urgensi kuat untuk memaksakan pengeksploitasian karst di Rembang. Pasalnya, berdasarkan catatan Asosiasi Semen Indonesia, kata Muhnur, produksi semen tahun 2013 dan 2014 mengalami surplus lebih dari satu persen. hal itu diperkuat dengan menurunnya kebutuhan semen pada 2015.

"Jadi kalau pembangunan semen jadi prioritas untuk pembangunan infrastruktur negara, saya kira itu hanya akal-akalan saja," ujar Muhnur.

Menurut Ngatemi, warga Rembang yang setia menemani aksi protes Sukinah dan Murtini, sumber mata air Gunung Watuputih yang akan dijadikan lokasi tambang oleh Semen Indonesia itu ibarat sebuah kendi. "Ketika kendi itu pecah, airnya akan tumpah dan hilang begitu saja," ujarnya.

Ngatemi mengatakan, kehidupan warga Rembang bukan hanya terganggu oleh kedatangan alat berat yang menebarkan debu kegaduhan. Lebih dari itu, pendirian pabrik itu telah merusak ketenteraman warga yang kini mulai tidak rukun. Pasalnya, tak semua warga menolak kehadiran pabrik semen di Rembang.

"Mereka bilang pabrik bakal bikin makmur warga dan segala macam. Tapi saya kira kami sudah merasa dihidupi oleh alam. Kami makan nasi, bukan semen. Lagipula ini hanya menguntungkan pabrik, bukan program pemerintah," ujar Ngatemi. (hel)

HALAMAN:
1 2
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER