Cilacap, CNN Indonesia --
“Setiap orang pasti akan mati. Ayah sudah ikhlas, Ayah sudah ridho."Begitulah pesan terpidana mati Zainal Abidin atau Pak Ci, begitu ia disapa, kepada anak perempuannya melalui sambungan telepon, Selasa (28/4) petang.
Saat itu, seorang rohaniawan menemani Pak Ci di hari-hari terakhir menjelang maut menjemput. Hasan Makarim namanya. Kepada CNN Indonesia, Hasan bercerita detik-detik Pak Ci melewatkan malam terakhir dalam hidupnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pak Ci, yang beragama Islam, melakukan salat Isya untuk terakhir kalinya di sebuah ruangan di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) Besi, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Saat itu, suasana dan kondisi di lapas tak gaduh.
Pak Ci memakai baju koko berwarna kalem dan celana putih serta wewangin yang harum semerbak, pemberian Hasan. Di tangannya, terdapat sebuah tasbih yang terbuat dari kayu berwarna cokelat kehitaman.
"Dia selalu berdzikir. Tak pernah lepas tasbih dari tangannya," kata Hasan. Pak Ci terus merapalkan doa dan dzikir. Ia terus memuji Tuhan dan memohon ampun, begitu cerita Hasan.
Sementara itu, di sebelah Pak Ci, duduk terpidana mati lainnya yang sama-sama menanti kereta maut, yakni Martin Anderson asal Nigeria. Martin didakwa mati akibat tertangkap atas kepemilikan 50 gram heroin pada November 2003. Vonis mati Martin dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juni 2004.
Di ruangan itu, keduanya bersimpuh dan berdoa, ditemani Hasan, memohon ampun atas kesalahan-kesalahan yang telah mereka lakukan dalam hidup.
Usai salat, Pak Ci memutuskan untuk berbicara dengan putrinya melalui telepon genggam. Dia beruntung. Sang putri menjawab teleponnya. Sebelumnya, selepas Zuhur, dia mencoba menghubungi putrinya. Namun, gagal. Telepon tak digubris oleh anaknya. Kali ini, pesannya pun tersampaikan.
"Kuat ya nak, sabar ya nak," ujar Pak Ci seperti ditirukan oleh Hasan.
 Zainal Abidin (CNN Indonesia/ Tim Infografis) |
Penggalan percakapan tersebut menjadi pesan terakhir Pak Ci. "Zainal (Pak Ci) cukup tegar memberi nasihat layaknya bapak ke anaknya," kata Hasan mengenang.
Pak Ci juga berpesan kepada Hasan untuk menyerahkan kitab Al Quran yang menemaninya di dalam sel isolasi, kepada anaknya.
Hidangan TerakhirHasan memutuskan tak menghidangkan makanan berat untuk kedua terpidana mati Muslim, Pak Ci dan Martin. Alasannya, supaya keduanya terlihat segar menjelang eksekusi. Begitu pula kondisi jenazahnya ketika disemayamkan.
Hasan lantas memberikan buah kurma, penganan khas Timur Tengah. "Dia makan kurma banyak masih di ruangan salat," ujarnya.
Pak Ci mengunyah buah berwarna cokelat tersebut dengan lahap. Begitu pula rekannya, Martin. Setelah menikmati kurma, Pak Ci memutuskan meminum madu dan air putih, yang diberikan oleh Hasan.
Pilihan santapan terakhir bervariasi antara satu terpidana mati dengan yang lainnya. Pada eksekusi mati gelombang pertama, terpidana mati asal Cianjur, Jawa Barat, Rani Andriani, memutuskan untuk memakan sop buatan Kepala LP Tangerang, Cipriana Murbihastuti. Hidangan tersebut menjadi hidangan berbuka puasa sekaligus penutup akhir hayatnya.
Berwudhu Sebelum EksekusiSebelum eksekusi mati dilaksanakan, Pak Ci mengambil air wudhu untuk menyucikan dirinya. Ia membasuh kedua muka, tangan, rambut, dan kakinya. Satu setengah jam sebelum ditembak regu tembak, ia menunaikan sholat tahajud dan hajat.
"Saat sujud, Zainal (Pak Ci) mengungkapkan doa-doa permohonannya," kata Hasan.
Selepas salat, Pak Ci kembali melantunkan puji-pujian kepada Tuhan. "Ya Hayyu Ya Qayyum (Wahai Dzat Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri)," ujar Hasan menirukan Pak Ci.
Selain puji-pujian, Pak Ci juga mengucapkan puluhan doa, yang bisa membantunya untuk mempermudah jalan ruh ketika saat-saat terakhir ruh meninggalkan raganya.
Akhirnya, jam menunjukkan tepat pukul 23.10 WIB, satu-persatu terpidana mati diambil dari sel isolasi dan dibawa ke lokasi eksekusi, Lapangan Tembak Limus Buntu. Salah satu dari delapan terpidana mati yang dibawa ke lokasi eksekusi adalah Pak Ci. Dia dikawal oleh petugas dan digiring masuk menuju mobil
"Menjelang berangkat, semua menunjukkan ketegaran," kata Hasan.
Luka Itu Masih MengangaDor! Rabu (29/4) dini hari, tembakan berdentum keras dan terdengar dari Dermaga Wijayapura, Cilacap. Dermaga ini berseberangan dengan Limus Buntu. Lapangan berbentuk segi empat dengan sembilan tiang eksekusi berada di tengah.
Jaksa Agung Prasetyo menuturkan eksekusi telah dilaksanakan pada pukul 00.35 WIB.
Timah panas menghujam langsung ke jantung Pak Ci. Darahpun bercucuran deras. Petugas medis memeriksa denyut nadi Pak Ci. Ia tak lagi bernyawa. Menutup luka, tubuh lelaki itu segera dijahit.
Setelah itu, jenazahnya dibawa ke ruang pemandian yang letaknya bersebelahan dengan lapangan tembak.
Namun, berdasarkan keterangan petugas yang memandikan jenazah Pak Ci, darah tak henti-hentinya mengucur. Bahkan, hingga ke liang lahat, di daerah Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karang Suci, Desa Donan, Cilacap.
"Saya sempat membuka tali pocongnya. Lukanya tembus, dari jantung di dada sebelah kiri sampai ke punggung belakang. Darah ngalir terus," ujar penggali kubur sekaligus pengubur jenazah Pak Ci, Suparmeka, kepada CNN Indonesia.
Maka, Suparmeka segera menutupi luka tersebut dengan tanah di dalam peti. Pun seluruh tubuh Pak Ci. “Agar darahnya tidak mengalir kemana-mana," ujarnya.
Setelah semua dirapikan, Suparmeka dan enam orang lainnya segera mengubur peti Pak Ci dengan gundukan tanah. Hasan pun mengucapkan doa.
"Semoga Zainal (Pak Ci) khusnul khotimah. Semoga Allah mengampuni dosanya. Al Fatihah," begitulah doa yang mengantar kepergian Pak Ci, di sebelah timur TPU Karang Suci. Saat itu, matahari baru saja terbit di langit barat Cilacap.
(utd)