Akan Jadi Kekuatan Besar jika SBY dan Mega Dekat

Helmi Firdaus | CNN Indonesia
Minggu, 10 Mei 2015 13:21 WIB
Pengamat politik LIPI Indria Samego menilai hanya Megawati yang tahu mengapa dirinya masih belum bisa menerima ajakan "berdamai" SBY
Presiden Joko Widodo, Wapres Jusuf Kalla, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, dan Menko PMK Puan Maharani pada pembukaan Kongres IV PDI di Hotel Inna Grand Bali Beach, Bali, Kamis (9/4).(ANTARA/Andika Wahyu)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terus saja melakukan pendekatan ke Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Jika keduanya sepakat “berdamai” akan jadi kekuatan besar di poltik Indonesia.

Pengamat politik dari LIPI Indria Samego saat berbincang dengan CNN Indonesia, Minggu (10/5) menilai, SBY terus berusaha mencairkan hubungannya dengan Mega karena dua hal. Yang pertama, ini berkaitan dengan kepentingan pribadi SBY.

SBY, sebut Indria, adalah orang yang ingin diterima semua orang, atau istilahnya SBY ingin menyenangkan semua pihak. Ini, papar Indria, bisa dilihat dari jargonnya yang menyebut “Seribu kawan kurang, satu musuh sudah berlebih.” (Baca juga: Megawati Belum Jawab Undangan Kongres Demokrat)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Kalau dengan jargon itu, SBY akan terus berusaha untuk mencairkan hubungannya dengan Mega. Maka saya kira, dia dengan berbagai cara akan berusaha agar hubungannya dengan Mega bisa harmonis,” papar dia.

Tetapi Indria menegaskan, apakah jargon SBY tu benar-benar diterapkan dalam hubungannya dengan Megawati, hanyalah Megawati sendiri yang tahu. Mega, tutur Indria, pasti memiliki alasan yang sangat kuat mengapa dia belum juga bersedia untuk membangun hubungan yang lebih dekat dengan SBY.

Selain itu, lanjut Indria, SBY tengah membangun tradisi agar sesama mantan presiden bisa dekat. Ini adalah upaya dia agar Indonesia memiliki tradisi untuk sesama mantan presiden saling berhubungan baik secara personal. Indria mencontohkan Amerika Serikat di mana setiap mantan presiden tetap berhubungan baik.

“Ini kan bisa dilihat dari SBY yang tidak ingin foto-foto mantan presiden diturunkan dari Istana. Berbeda dengan Pak Harto (Soeharto) yang saat jadi presiden, foto Soekarno tidak ada. Itu juga ditunjukkan dengan museum mantan presiden di Bogor,” tuturnya.

Alasan yang kedua, sebut Indria, lebih bersifat politis. PDIP adalah partai nasionalis yang terbesar di Indonesia. Jika kedua partai ini - Partai Demokrat dan PDIP - bisa bekerja sama, maka itu akan jadi kekuatan besar di politik Indonesia. Kedua partai, sejak pemilu langsung selalu masuk empat besar partai. 

Pada Pemilu Legislatif 2009, PD berada di peringkat pertama dengan 20,85 persen dan PDIP di posisi ketiga dengan 14,03 persen. Sementara di Pileg 2014 kemarin, PDIP di peringkat pertama dengan 18,95 persen dan PD di peringkat keempat dengan 10,19 persen.

“Saya kira, SBY perlu juga untuk merangkul kekuatan nasionalis dan itu ada di PDIP. Kalau mereka bisa dekat, jadi kekuatan yang besar, baik itu di DPR atau nanti di pilkada,’ paparnya.

Menurut Indria, Partai Demokrat mulai memainkan perang yang penting di politik Indonesia. Para kadernya juga sudah mulai matang dalam berpolitik. Secara garis ideologis partai, tidak ada perbedaan yang signifikan antara Partai Demokrat dengan PDIP.

PDIP, papar Indria, masih bergantung kepada Mega sebagai perekat, sebagai mana SBY masih jadi perekat buat Partai Demokrat. Masih belum bisa dekatnya kedua partai ini, tutur Indria semata-mata karena SBY dan Mega belum bisa mencairkan hubungan antar mereka berdua. Jika keduanya berhasil, para konstituen yang dibawah otomatis akan ikut serta.

Harapan bahwa SBY ingin sekali hubungannya dengan Mega cair, tampak dari cuitan dia usai utusan khusus PD menemui Mega untuk mengundang hadir di Kongres Demokrat pada Senin (11/5) mendatang.

Dalam salah satu cuitan di akun Twitternya @SBYudhoyono, ”Sungguh indah jika konstituen Ibu Megawati & konstituen saya tidak terus “berjarak” & bisa bersatu demi kepentingan bangsa & negara”.

Hubungan antara SBY dan Megawati memang dalam situasi yang tegang. Ketegangan itu bermula sejak SBY mengundurkan diri sebagai Mentamben di era Megawati. Usai mengundurkan diri itu, SBY kemudian maju Pilpres di 2004 bersama Jusuf Kalla yang kemudian mengalahkan Mega yang waktu itu berpasangan dengan Hasyim Muzadi.

Salah satu orang yang terus berusaha untuk “mencairkan” hubungan antara Mega dengan SBY adalah almarhum Taufik Kiemas yang tak lain adalah suami Mega sendiri sekaligus Ketua MPR. Sayang, hingga Taufik wafat, hubungan antara Mega dan SBY tak kunjung mencair juga. (hel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER