Ribuan Guru di Belu Belum Bergelar Sarjana

Lalu Rahadian | CNN Indonesia
Jumat, 29 Mei 2015 23:09 WIB
Rendahnya kualitas pengajar dan ketersediaan jumlah pengajar menjadi dua masalah utama yang menimpa pendidikan di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
Beberapa siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Lamaknen bermain sebelum mengikuti Festival Membaca 2015 yang diadakan di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Selasa (26/5). (CNN Indonesia/ Lalu Rahadian)
Belu, CNN Indonesia -- Pemerintah Daerah Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, mengatakan fokus pembangunan bidang pendidikan pada tahun 2015 ini adalah peningkatan kualitas guru. Selain persoalan ketersediaan, guru di Belu juga masih banyak yang belum bergelar sarjana.

"Pelatihan guru utamanya. Kami harapkan dari dana yang ada di dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga untuk melatih guru PAUD bisa terlaksana. Sudah ada alokasi dana untuk pelatihan tutor PAUD itu," kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bidang Sosial Budaya Kabupaten Belu NTT, Ani Hidayat, ditemui di Atambua, beberapa hari lalu.

Menurut Ani, peningkatan kualitas guru menjadi fokus karena sampai saat ini tercatat sebanyak 1.600 guru di Belu yang belum mendapatkan gelar pendidikan Strata 1 (S1). Padahal, gelar S1 merupakan salah satu syarat yang harusnya dipenuhi sebelum seseorang menjadi guru di sebuah sekolah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berdasarkan data dari Bappeda untuk tingkat Sekolah Dasar Negeri, pada tahun 2014/2015 terdapat sebanyak 212 guru berlatar belakang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), 106 guru berlatar D2, 7 guru berlatar D1, dan 11 guru berlatar D3.

Untuk guru PNS tercatat sejumlah 419 guru dan untuk non PNS sebanyak 191 guru.

Selain persoalan terbatasnya jumlah guru yang berkualitas, persoalan utama yang ada di Belu adalah ketersedian tenaga pengajar untuk lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Oleh karena itu, Ani mengatakan akan mengupayakan adanya pelatihan khusus untuk guru PAUD pada tahun ini.

Akibat minimnya ketersediaan jumlah guru PAUD dan TK, kemampuan membaca anak-anak di Belu menjadi rendah. Padahal, PAUD dan TK dibutuhkan agar akselerasi pemahaman bahasa Indonesia dalam diri anak-anak usia dini dapat terwujud.

Menyadari persoalan tersebut, pada 2013 lembaga non-profit Save The Children masuk ke Belu dan membawa program pembelajaran bahasa Indonesia kepada anak-anak di beberapa Kecamatan dan Desa di daerah perbatasan itu. Salah satu metode belajar yang digunakan Save The Children melalui reading camp atau kamp membaca juga dikatakan Ani terbukti efektif membantu anak-anak di Belu untuk menguasai bahasa Indonesia.

"Adanya reading camp itu semangat anak-anak belajar bahasa Indonesia jadi bagus. Kami harap Pemerintah melalui dinas teknis nantinya akan membuat program yang sama di tempat lain," kata Ani.

Ani berkata bahwa dirinya akan mengupayakan agar program-program yang dikenalkan oleh Save The Children selama ini dapat dilanjutkan dan dikembangkan ke dalam cakupan yang lebih luas nantinya oleh pemerintah.

Sampai 2015 ini, berdasarkan temuan dari Save The Children, ada 59,7 persen dari 700 anak berusia 8-10 tahun di Belu masih kesulitan membaca.

“Lebih dari separuh dari 700 anak terdata buta aksara, atau lebih tepatnya kesulitan membaca dalam bahasa Indonesia. Semakin mendekati perbatasan, jumlah anak yang kesulitan membaca semakin tinggi persentasenya," ujar Benny Giri dari Save The Children kepada CNN Indonesia di Atambua, Belu, NTT. (utd)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER